Gus Baha: Haji atau Umrah Didahulukan?

569 dibaca

Ulama ahli tafsir Al-Qur’an, Gus Baha (KH. Ahmad Bahauddin Nursalim), pernah ditanya seorang jamaah mana yang didahulukan, berangkat Haji atau Umrah? Berikut jawaban Pengasuh Ponpes Tahfidzul Qur’an LP3IA Kragan, Rembang, Jateng, itu dalam satu kajian bersama santrinya.

Pertanyaan jamaah ini cukup menarik dan Gus Baha pun memberi jawaban luar biasa. Dilansir dari portal Islam iqra.id, Gus Baha menerangkannya dengan bahasa yang mudah dicerna. Berikut penjelasannya:

“Suatu hari ada orang bertanya, ‘Gus saya punya uang Rp25 juta, baiknya umrah apa haji dulu?”

“Kamu jenis orang saleh yang sungguhan atau tidak?”

Orangnya kebetulan setengah saleh setengah pelit. Kan terlihat dari wajahnya. (hehehe)

Ini memang penting. Dia bilang, “Saya milih haji. Tidak boleh uang 25 juta ini taqdimussunnah alal-fardhi.”

Pikirannya dia, kalau umrah itu taqdimussunnah (mendahulukan sunnah). Pikirannya dia ya setengah goblok, kan sebenarnya umrah juga wajib juga bukan bisa dibilang sunnah.

Tiba-tiba menstatuskan umrah sunnah itu dari apa coba? Kadang kan ada masyarakat, “Aku umrah apa haji?” Ya harus haji, umrah kan sunnah.”

Bilang umrah sunnah itu dari mana dalilnya? Ada tidak dalil madzhab kita yang mengatakan umrah itu sunnah? Tidak ada kan? Tapi, yang mengatakan seperti itu banyak tidak? Banyak!

Akhirnya saya tanya, “Kamu saleh apa tidak?”

“Ya, saleh.”

“Tidak. Tidak terlalu saleh. Satu, kalau kamu saleh beneran kangen Kanjeng Nabi, saya wajibkan umrah. Bagaimanapun kangen itu tidak ada hukumnya. Kangen Nabi, mati-matian sudah tidak berpikir haji wajib atau tidak. Kalau yang gampang umrah ya umrah.”

Saya 2009, saya punya uang 16 juta rupiah. Zaman itu haji masih 21 juta rupiah. Saya kangen Nabi, saya buat daftar umrah.

Dalam hatiku seperti ini, “Wes gampang, umrah ketemu Nabi, berdoa di depan Nabi kan mustajab”.

Tak akali. Saya berangkat umrah. Saat di Raudhoh saya berdoa. Umumnya orang berdoa di tempat ini mustajab. “Pokoknya saya pengen haji, kalau tidak berarti ada rada yang salah.” (Hehehe)

Pada tahun 2011, saya punya uang sekitar Rp 30 juta, istri saya daftarkan haji. “Dek, kamu daftar haji.”

“Lha, jenengan, Gus…?”

“Hubungan Allah sama aku itu biasanya tidak repot-repot.”

Tidak sampai sekian hari saya bisa Haji plus. Berarti sesuai perjanjian di Raudhoh. (Hehehe)

Padahal saya tidak kaya, tapi haji saya haji plus. Karena itu tadi, kangen Nabi terus saya turuti. Sebenarnya agak salah, tapi kangen itu tidak ada hukumnya.

Makanya, saya tanyai dia, kalau kamu saleh beneran, kangen Nabi tak suruh umrah sekarang. Tapi kalau kamu masih perhitungan, “Sowan Nabi atau tidak?”

Mau sowan Nabi kok begitu! Ciri utama orang senang itu tidak mikir, lha ini masih mikir umrah dulu apa haji dulu. Kalau masih mikir, salehnya pas-pasan.

Kalau awalnya dia bilang begini, “Gus, saya kangen Nabi, tapi uang saya cuma Rp25 juta bagaimana?”

Maka, saya wajibkan umrah. Saya ajarkan doa saya. Nah dia tidak seperti itu. (Hehehe)

Misalnya dia daftar haji, secara lahir umurnya tidak cukup. Kalau daftar sekarang berarti kapan bisa haji? Menunggu 25 tahun, berarti haji (sekitar) tahun 2040. Zahirnya umur 60 tahun. Kira-kira dia sudah taqabalallah?

Andaikan saya jadi orang itu, mesti daftar dua-duanya, ya daftar haji. Tapi, kalau ada orang yang mondok di Makkah, saya akan memakdubkan diri.

Dalam arti, saya akan daftar haji menunggu sesuai Pemerintah karena harus loyal negara. Tetapi, kalau saya punya uang saya takdubkan.

Kalau ada fatwa yang berbeda dengan saya itu tidak apa-apa. Hal tersebut sebagai pengingat bahwa kebaikan itu:

وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ

Ternyata kalau ngeramati sampai musim haji, ya haji lagi.

Kalau ada bunyi yang bilang, “Kok rugi, haji dua kali?” Pelit berarti.

Masalahnya, fatwa menghadapi orang pelit itu repot. Saya bolak-balik fatwa ketemu orang pelit. Repot! Cinta Allah kok pakai perhitungan.**(ais/kmp)