Ngaji Gus Baha: Sunan Kalijaga Pelopor Jawanisasi Islam

204 dibaca

KH Ahmad Bahauddin Nursalim
(Gus Baha), dalam kajiannya menjelaskan bahwa strategi dakwah Sunan Kalijaga terkadang tak seirama dengan para wali lainnya. Sunan Kalijaga lebih mengedepankan jawanisasi Islam untuk berdakwah pada masyarakat awam.

“Cara-cara Sunan Kalijaga seringkali ditentang para wali lainnya, termasuk Sunan Kudus ,” tutur kiai bernama lengkap KH Ahmad Bahauddin Nursalim ini dalam kanal Kyaiku di jaringan YouTube.

Menurut Gus Baha, Sunan Kudus sangat pro syariat sehingga menentang salawat yang diajarkan Sunan Kalijaga. Sedangkan bagi Sunan Kalijaga yang penting rakyat waktu itu mengenal Islam, lalu memeluk Islam. Perintah kewajiban sholat, misalnya, tidak menjadi hal yang dipentingkan. Maka ada istilah sholat di dalam hati. Sedangkan Sunan Kudus sebaliknya. Beliau menghendaki sesuai syariat Islam. Islam nggak salat ya kafir.

Ini strategi dakwah Sunan Kalijaga untuk wilayah Jawa bagian selatan yang kala itu baru mengenal Islam. “Nyatanya wilayah itu sekarang banyak orang Islam. Mereka juga banyak yang sholat,” tutur Gus Baha.

Sunan Kudus kiai fikih sehingga menentang praktik dakwah Sunan Kalijaga. “Saya dapat cerita dari para kiai, Sunan Kalijaga sering berantem dengan Sunan Kudus. Yang satu ingin berdakwah dengan wayang golek yang lainnya mengharamkan. Akhirnya dibuatlah wayang kulit seperti yang sekarang ini,” kata Gus Baha.

Sunan Kalijaga mengedepankan jawanisasi Islam sehingga menolak mengatakan syahadatain dengan lebih memilih sekaten. “Bilang kalimat sahadat tidak mau dan lebih memilih kalimasada saking jawanisasi Islam,” jelasnya.

Selain itu, Sunan Kalijaga lebih memilih mengenakan pakaian hitam padahal pakaian warna putih itu sunnah. “Semua foto Walisongo itu putih, kecuali Sunan Kalijaga,” tandasnya.

Pentingnya Kearifan itu
Di sisi lain, Gus Baha mengatakan zaman dulu ulama tak segan-segan bergaul dengan preman bahkan kaum pencoleng. Begitu juga Walisongo. Ini dilakukan agar para ulama itu memiliki ruang berdakwah buat mereka.

“Kalau mereka dijauhi tak ada kesempatan untuk mengajak mereka bertobat,” jelasnya. “Artinya apa? Kalau kita ekstrim hak ban batil mereka malah lari,” tambah Gus Baha.

Gus Baha menekankan, kearifan ini penting. “Saya beri contoh tentang seorang preman. Jadi, ketika Nabi Isa jalan-jalan dengan khawariyyin atau kaum-kaum pilihan, preman ini spontan ingin bergabung bersama Nabi Isa dan khawariyyin,” kata Gus Baha.

Tapi, khawariyyin tersebut mempercepat jalannya karena beliau tidak mau sejajar dengan preman. Sedangkan si preman memperlambat jalannya karena tidak ingin setara dengan kaum khawariyyin, dia merasa tidak pantas berjalan dengan orang saleh.

Saat itu juga Allah kemudian memberikan wahyu kepada Nabi Isa, “Wahai Isa bilang ke santri kamu itu yang khwariyyin, semua kebaikannya saya hapus. Dan bilang sama yang preman semua keburukannya saya hapus”.

Jadi, kata Gus Baha, yang khawariyyin dihapus kebaikannya karena angkuh, yang preman dihapus kejelekkanya karena tawadu. Kata Allah, keduanya harus mulai dari nol untuk menjadi orang baik.

“Sehingga dari cerita-cerita kitab Ihya Ulumuddin seperti ini, saya menyaksikan sendiri guru saya KH Maimoen Zubair atau dari bapak saya bahwa bertetangga dengan siapapun itu tidak masalah. Karena, ada orang yang sedang fasik atau sedang preman. Jadi, itu dibahasakan sedang. Dan Sedang itu artinya tidak ada jaminan kalau dia akan berakhir dengan seperti itu,” tutur dia.

Jadi bagian dari kearifan kiai-kiai dalam berbangsa dan bernegara karena tidak pernah menstigmasi bahwa orang lain itu lebih buruk ketimbang diri sendiri.

“Sehingga kita nyaman saja, nyaman berteman dengan siapa saja karena kita tidak pernah merasa lebih baik,” kata dia.

Alasan para kiai kita itu fleksibel berteman dengan berbagai kelompok karena tidak pernah merasa lebih baik, atau dalam bahasa terkenalnya disebut tawadu.

Jadi, ketika orang merasa lebih baik maka akan ada keangkuhan, keangkuhan ini kemudian melahirkan sentimen, dan sentimen ini lama-lama menjadikan sosial yang tidak sehat atau bisa chaos.

“Nah, dari pelajaran itu akhirnya cara bernegara atau cara bersosialisasi kita juga itu nyaman-nyaman saja. Karena, Allah SWT itu membuat status sebenarnya itu di akhir, yang disebut dengan husnul khatimah atau su’ul khatimah,” paparnya.

Jadi banyak dicerita dari orang-orang dulu, misalnya orang yang niatnya nyantri tapi tidak menjadi wali. Tapi, Sunan Kalijaga yang pertama kali kenal Sunan Bonang ingin merampok atau begal, justru menjadi santrinya dan menjadi wali.**(zi)