MERENUNGI DESA LEGETANG LENYAP TERKENA AZAB ALLAH

141 dibaca

▪︎Oleh: Zubairi Indro

DUKUH LEGETANG sebuah dukuh berjarak 3 kilometer dari Kawah Sileri, kawah di dataran tinggi Gunung Dieng. Dieng merupakan dataran paling tinggi kedua di dunia, tingginya mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut.

Lokasi Dukuh Legetang ada di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Jadi, desa ini berada di dalam kompleks gunung berapi. Dukuh tersebut termasuk kawasan sangat subur. Tapi mengapa tiba-tiba desa dan warganya lenyap dalam semalam?

Kisah lenyapnya Dukuh Legetang dan warganya dalam waktu semalam patut menjadi renungan dan pelajaran semua orang. Desa yang dulunya sangat makmur menjadi hancur lebur rata dengan tanah.

Seperti kawasan gunung berapi lainnya, warga Dukuh Legetang Dieng harus selalu siap tinggal di kawasan yang seperti bom waktu. Gunung bisa meledak kapan saja, apalagi Dieng memiliki banyak kawah, bukan hanya Kawah Sileri.

Kawah di sekitar Dieng pasti mengalami erupsi, pada umumnya disertai dengan gempa. Merupakan kawasan gunung berapi, tentu area di sekitar Desa Legetang Dieng ini amat sangat subur. Meski begitu, warga sebenarnya nggak diperbolehkan untuk bercocok-tanam di kawasan yang lereng, karena sangat berbahaya memicu erupsi. Bukan hanya di Dukuh Legetang saja, penduduk di desa sekitarnya juga sayangnya masih banyak yang memanfaatkan lahan berbahaya untuk cocok tanam.

▪︎Berpenduduk 450 Jiwa

Pada tahun 1955, tercatat Dukuh Legetang Dieng dihuni sekitar 450 jiwa. Warganya kebanyakan mencari mata pencaharian dengan cara bercocok tanam. Selain itu, anak dari warganya ada juga yang merantau ke desa atau kota lain, meskipun jumlahnya nggak banyak.

Pada tanggal 17 April 1955, tepatnya di malam hari saat turun hujan, Dukuh Legetang Dieng mengalami bencana tanah longsor yang dahsyat. Longsornya berasal dari Gunung Pengamun-amun. Saking dahsyatnya, seluruh penduduk desa hingga desanya itu sendiri tertimbun.

Nggak ada yang selamat dari bencana ini. Jadi kisahnya hanya diceritakan dari mulut ke mulut oleh keturunan yang saat itu nggak tinggal di Dukuh Legetang. Selain itu, warga yang saat itu tinggal di sekitar Dukuh Legetang juga menceritakan apa yang mereka tahu terkait peristiwa mengenaskan tersebut.

Suara gemuruh seperti benda besar jatuh. Suara ini terdengar sampai ke desa-desa sekitarnya. Lantas, bunyi gemuruh itu menarik perhatian meski hujan lebat dan gelap. Sayangnya, tak ada warga yang berani mendekat untuk mengidentifikasi gemuruh yang menerpa Legetang. Ketika terang pagi menjelang, dukuh itu dilaporkan menghilang!

Dukuh malang itu hilang seketika, rata dengan tanah, tertimbun tanah longsor yang diduga berasal dari Gunung Pengamun-amun di dekatnya. Gunung itu rompal seakan hilang sebagian. Permukaan dukuh bukan saja tertimpa, tapi berubah menjadi sebuah bukit yang mengubur seluruh dukuh beserta warganya.

Dukuh Legetang yang semula berupa lembah, kini tak ubahnya sebuah gundukan tanah yang menyerupai bukit. Bencana mengerikan ini diperkirakan telah mengubur semua warga yang ada di Dukuh Legetang. Hanya menyisakan satu orang, dan cerita tentang orang yang selamat ini pun masih simpang siur.

Menariknya, di balik kemalangan yang menimpa dukuh ini, narasi berbau misteri berbalut keagamaan menyelimuti kisahnya. Dukuh Legetang, Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Dieng Kulon, diisukan terkena azab akibat tindak rakyatnya yang menyimpang.

Narasi tentang bencana Dukuh Legetang dikaitkan dengan azab kemaksiatan di Legetang. Walaupun kebenarannya tidak diyakini, masyarakat sekitar mendengar cerita gethak tular (dari mulut ke mulut).

Kisah itulah yang menjadikan kita untuk merenungkan diri, dukuh yang dulu subur, damai tiba-tiba lenyap dalam semalam.

▪︎Budaya Homoseksual dan Miras

Kisah tentang Duku Legetang cukup miris. Dikisahkan duku tersebut mempunyai budaya tentang homoseksual, prostitusi, dan perjudian adalah berita yang marak diisukan terjadi di Dukuh Legetang, bak kaum sodom.

Tersebar cerita bahwa langgar atau musala Dukuh Legetang sudah digunakan untuk hal menyimpang, dipakai sebagai tempat judi. Banyak masyarakat dataran tinggi Dieng meyakini bahwa cerita inilah yang benar,.

Tragedi Dukuh Legetang itu mirip dengan sejarah Kota Pompeii yang hancur oleh Gunung Vesuvius. Kisahnya juga kerap disandingkan dengan narasi longsornya Gunung Pengamun-amun di Dieng.

Menurut ceritanya, terdapat beberapa perilaku menyimpang yang dilarang dalam perspektif agama Islam seperti marak perjudian, penyimpangan seksual (homoseksual) dan kurangnya praktik keagamaan di sana. Tidak hanya itu, warga Dukuh Legetang juga suka melakukan hubungan sedarah. Bapak menzinai anak perempuannya, sedangkan si ibu berhubungan badan dengan anak lelakinya.

Kisah miris Dukuh Legetang hampir setiap malam warganya mengadakan tarian erotis dan diakhiri dengan orientasi seksual menyimpang di antara mereka, dan pada malam bencana, mereka melakukan kegiatan yang dilarang tersebut.

Kebanyakan warga Dukuh Legetang di sana memercayai dan meyakini bahwa dukuh itu terkutuk. Sebab, antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat jurang dan sungai yang cukup dalam.

Namun, pada kenyataannya longsoran yang dikirim dari gunung itu seakan melompati sungai dan langsung menjatuhi Dukuh Legetang. Inilah yang memperkuat narasi azab yang menimbun dan menghilangkan “Dukuh Sodom”, Legetang dalam semalam.

Banyak kesaksian yang menyebut bahwa di antara kaki gunung sampai ke perbatasan kawasan pemukiman di Dukuh Legetang, sama sekali tidak tertimbun longsoran, padahal jaraknya beberapa ratus meter.

▪︎Fakta Dukuh Legetang Dieng

Ada berbagai fakta menarik seputar Dukuh Legetang Dieng yang diceritakan dari mulut ke mulut. Nggak perlu penasaran lagi, ini dia 7 fakta menarik tentang desa di dekat Kawah Sileri ini:

Dukuh Legetang diberkahi dengan tanahnya yang amat sangat subur. Bercocok tanam di desa ini hampir selalu berhasil. Tanahnya gembur, tanah yang pasti sangat disukai oleh para petani. Hanya saja tanahnya masih sangat labil, jadi memang nggak disarankan untuk bercocok tanam dalam skala besar. Kalau untuk keperluan rumah tangga di sekitar rumah sebenarnya masih aman-aman saja.

Sama seperti kehidupan di desa dan dusun sekitar Dataran Tinggi Dieng, banyak warganya yang bercocok-tanam sendiri. Entah itu untuk kebutuhan rumah tangganya sendiri atau dijual kembali. Ada banyak jenis tanaman yang dibudidayakan, tapi salah satu yang paling banyak ditemukan di desa-desa sekitar Dieng adalah kentang. Begitu halnya juga dengan Desa Legetang.

Meski pada saat desa tersebut masih ada, Dataran Tinggi Dieng belum menjadi destinasi wisata yang populer seperti sekarang. Hasil buminya pun belum terkenal seperti sekarang, tapi warga Legetang juga sudah menanam kentang.

Ternyata warga sekitar Dukuh Legetang saat itu cukup heran dengan bencana longsor yang begitu parah. Pasalnya, jarak Gunung Pengamun-amun ke Dukuh Legetang adalah ratusan meter. Selain itu, ada parit yang memisahkan antara gunung dan desa tersebut. Bahkan desa lain yang lebih dekat nggak terkena longsoran. Ini masih menjadi rahasia alam hingga kini.

Penasaran ingin berkunjung ke Dukuh Legetang Dieng?Sayangnya, dukuh ini sekarang tinggal nama saja. Sejak terjadinya musibah tanah longsor di tanggal 17 April 1955, dusun yang berisi 450 jiwa itu benar-benar luluh lantak. Dusunnya sudah rata dengan tanah, jadi sekarang nggak bisa dikunjungi lagi.

Dataran Gunung Dieng sekarang, sebenarnya masih bisa melihat sisa-sisa keberadaan dukuh ini. Di bekas dukuh itu berada, didirikan tugu beton yang tingginya mencapai 10 meter. Tujuannya adalah untuk mengingatkan warga akan keberadaannya dan bahwa dulu pernah ada bencana tanah longsor di sana.

Tugu yang didirikan di tengah ladang kentang milik salah seorang warga di sana itu seolah menjadi pengingat agar warga tetap berhati-hati setiap harinya selama masih tinggal di kawasan Dieng. Sebaiknya hindari hal-hal yang berbahaya dan tahu apa yang harus dilakukan kalau gunung api mulai aktif.***