Benarkah Prabowo, Sosok Satria Piningit – Ratu Adil versi Jangka Jayabaya (1)

134 dibaca

▪︎Oleh : Danar S Pangeran
(Jurnalis posmonews.com di Lamongan, Jatim)

GELARAN Pesta Demokrasi atau Pemilu 2024 telah usai dengan hasil yang mencengangkan, diluar dugaan dengan hasil sementara Quick Qount di atas 50 persen untuk pasangan 02, Prabowo-Gibran mengungguli paslon lainnnya yakni Anies – Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.

Sambil menunggu hasil Real Qount yang akan diumumkan oleh KPU nantinya, euforia kemenangan telah digaungkan oleh pasangan ini ke penjuru NKRI dan dirayakan okeh pendukungnya.

Menariknya, penulis mencermati jejak perjalanan pasangan ini secara penelusuran metafisika dan spiritual dengan narasumber tokoh-tokoh winasis yang sejak lama menyimpulkan bahwa pasangan ini akan mengungguli paslon lain di kontestasi merebut Kursi Keprabon dan Wahyu Kenegaraan.

Namun fakta sebelumnya penulis mencatat bahwa sebelum munculnya Prabowo di bursa Capres itu sosok yang lebih dijagokan adalah Ganjar Pranowo. Karena dari pandangan para tokoh sepuh Jawa, bahwa Wahyu Keprabon atau yang akan menduduki kursi RI-1 masih berhubungan dengan liturgi Jawa, dengan ciri “nama” suara nglegena “O”, seperti sosok presiden RI sebelumnya : Soekarno, Soeharto, Soesilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo. Maka dari pandulum Ini sosok Ganjar Pranowo dan selanjutnya muncul Prabowo Subianto adalah tokoh yang disebut-sebut sebagai Satria Piningit yang akan menggantikan kedudukan Joko Widodo.

Masyarakat tradisional Jawa percaya saat ini merupakan zaman edan atau era kegelapan seperti yang diramalkan Jayabaya. Karena itu akan datang Satria Piningit atsu Ratu Adil yang membawa negeri ini menuju masa kejayaan baru. Lalu siapakah sosok Satria Piningit dan Ratu Adil itu?

Seperti yang kita ketahui bahwa Jayabaya yang merupakan Raja Kediri era 1135-1157 pernah dijuluki sebagai Ratu Adil dan Satria Piningit. Memiliki gelar Sri Maharaja Sri Wameswara Madhusudana Watarandita Parakrama Digjoyottunggadewama Jayabhalancana, sosoknya digambarkan sebagai pemimpin yang adil dan visioner di masanya.

Jayabaya yang naik tahta di masa-masa sulit mampu menyatukan rakyat yang sempat terpecah di masa kepemimpinan Raja Airlangga kemudian berhasil membawa Kerajaan Kediri ke puncak kejayaan. Jayabaya juga masyhur akan ramalannya yang sampai sekarang masih sering dipelajari.

Penulis mengutip dari salah satu media di kota Solo sebagaimana dinukil dalam karya ilmiah dan literasi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Bali berjudul “Ratu Adil Satria Piningit dan Zaman Edan”, secara harfiah, Satria Piningit diartikan sebagai ksatria yang masih tersembunyi oleh zaman. Sedangkan Ratu Adil diartikan sebagai pemimpin yang bijak dan adil.

Masyarakat zaman dulu beranggapan, sebutan Satria Piningit dan Ratu Adil adalah satu kesatuan, padahal tidak demikian. Seorang pemimpin yang dipandang sebagai Satria Piningit belum tentu menjadi Ratu Adil. Sebab untuk menjadi Ratu Adil harus bersikap adil dan peduli kepada seluruh rakyat yang dipimpinnya, tidak hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok dan golongan yang mendukungnya.

Anggapan makna gelar yang sama antara Satria Piningit dan Ratu Adil muncul dari istilah Jawa yang berbunyi Satria Piningit sinisihan wahyu ratu adil yang menjadi pedoman dalam mencerminkan karakter seorang pemimpin. Dari ciri, sifat, dan karakter yang disebutkan lebih merujuk kepada model kepemimpinan dari suatu negara yang pemimpinnya mampu menegakkan keadilan.

Mengupas Rahasia Ramalan Jayabaya, Ranggawarsita dan Sabdapalon
Merujuk pada Kitab Musarar dari Sunan Giri Prapen yang berisi ramalan-ramalan Jayabaya, juga menunjukan konsep ketatanegaraan yang apabila diterapkan mampu menghasilkan masyarakat adil dan makmur sebagai penggambaran Ratu Adil. Demikian juga dalam penggambaran Satria Piningit (Ksatria penolong yang tersembunyi) ditandai dengan munculnya Ratu Adil.

Dalam kitab tersebut, terdapat bait yang berbunyi “Prabu tusing waliyulah, kadhatone pankekaling ing Mekah ingkah satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, prenahe iku kaki, perak lan gunung Perahu, sakulone tempuran, balane samya jrih asih, iya iku ratu rinenggeng sajagat.”

(Raja keturunan waliyulah, berkedaton dua di Makkah dan Tanah Jawa, letaknya berada dekat dengan Gunung Perahu sebelah barat tempuran (pertemuan dua sungai), dicintai pasukannya, memang Raja yang terkenal di dunia)

Gunung Perahu adalah simbol dari Bukit Siguntang yang merupakan datarang tinggi di wilayah Kota Palembang. Sementara ‘tempuran’ merupakan tempat pertemuan antara Sungai Musi dan Sungai Ogan yang lokasinya tidak jauh dari Bukit Siguntang. Sebelah barat terdapat Masjid Muara Ogan. Bukit Siguntang merupakan simbol kejayaan Kesatuan Sriwijaya yang ditandai ditemukannya prasasti Kedukan Bukit di kaki Bukit Suguntang.

Demikian halnya, tempuran sungai Ogan dan Musi melambangkan persatuan masyarakat Nusantara. Berabad-abad yang lampau pernah berkumpul 20.000 bala tentara pimpinan Dapunta Hyang Jayanasa. Simbolisasi tersebut menunjukan, Jayabaya memiliki hubungan historis dengan Sriwijaya di mana raja pendahulunya, Raja Airlangga menikah dengan Putri Kerajaan Sriwijaya bernama Wijayatunggawarman.

Dari perkawinan tersebut menurunkan Sri Bameswara yang menikah dengan Putri Panjalu yang menurunkan Jayabaya sebagai Raja Kerajaan Kediri. Jayabaya dalam ramalannya juga mengatakan terkait kemunculan sang Ratu Adil dan Satria Piningit di masa yang akan datang yang akan membawa kembali masa kejayaan.

Ramalan Jayabaya tentang Kemunculan Sang Ratu Adil, tertulis sang Ratu Adil di masa yang akan datang adalah orang Jawa dari keturunan Kerajaan Majapahit yang akan muncul saat kendaraan besi dapat berjalan tanpa kuda, dan kapal dapat menjelajah langit dan angkasa. Dalam ramalan itu juga dikatakan Ratu Adil akan menghadapi masa sulit, penghinaan dan kemiskinan. Namun, masa itu akan terlewati karena ketulusan dan keteguhan hatinya. (Bersambung). ****