Masjid Agung Banten Akulturasi Budaya Jawa – Cina dan Eropa

830 dibaca

▪︎BANTEN-POSMONEWS.COM,-
MASJID Agung Banten merupakan peninggalan Kerajaan Banten di wilayah Desa Banten, Kecamatan Kasemen, Kabupaten Serang, Banten. Dalam catatan sejarah masjid dibangun abad ke-16, masa Pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570).

Saat itu raja pertama Kesultanan Banten, dijabat Sultan Maulana Hasanuddin, putra dari Sunan Gunung Jati. Sedangkan Masjid Agung Banten menjadi salah satu bukti sejarah kejayaan Kota Pelabuhan Banten hingga saat ini.

Hampir setiap hari, Masjid Agung Banten ramai dikunjungi peziarah dan wisatawan. Pengunjung dapat menikmati peninggalan bersejarah kerajaan Islam di Banten serta melihat keunikan arsitekturnya, yang merupakan bentuk akulturasi budaya Hindu Jawa, Cina, dan Eropa.

▪︎Sejarah Masjid Agung Banten

Masjid Agung Banten pertama kali didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin.
Pembangunan kemudian dilanjutkan putranya, Sultan Maulana Yusuf, raja kedua Kesultanan Banten. Pada periode ini, Masjid Agung Banten dibangun dengan gaya arsitektur Jawa.

Sebuah pawestren (ruang untuk salat wanita), berada di samping kemudian ditambahkan pada masa pemeritahan raja ketiga, Sultan Maulana Muhammad (1580-1596).

Sedangkan serambi selatan masjid diubah menjadi makam berisi sekitar 15 kuburan. Pada 1632, sebuah menara setinggi 24 meter dirancang oleh arsitek Cina bernama Cek Ban Cut (Tjek Ban Tjut) ditambahkan ke kompleks masjid. Kemudian dibangun pula tiyamah (paviliun) bergaya Eropa dirancang oleh Lucaasz Cardeel, orang Belanda yang masuk Islam.

▪︎Akulturasi Masjid Agung Banten

Kompleks Masjid Agung Banten terdiri dari bangunan masjid, serambi pemakaman, tiyamah di sisi kanan dan kirinya, menara, serta tempat pemakaman di halaman sisi utara.

Bangunan Masjid berdiri di atas pondasi dengan ketinggian satu meter dan menghadap ke timur.
Bangunan utama masjid memiliki ciri-ciri sebagaimana masjid Jawa kuno lainnya.

Salah satu ciri khususnya adalah terdapat gapura pada keempat arah mata angin. Sisi menarik lainnya dari bangunan utama masjid adalah atapnya yang tumpuk lima, mirip dengan pagoda Cina. Bagian ini dirancang oleh Cek Ban Cut, juga merancang menara Masjid Agung Banten.

Menara setinggi 24 meter dengan diameter 10 meter ini dapat dimasuki sampai ke atas dengan menaiki 83 tangga di dalamnya.
Catatan Dirk van Lier dari tahun 1659 menyebut bahwa menara ini dulunya digunakan sebagai tempat mengumandangkan azan dan penyimpanan senjata.

Arsitek lain turut berperan memperindah Masjid Agung Banten adalah Lucaasz Cardeel.
Pada masa kekuasaan Sultan Haji, Lucaasz Cardeel mengusulkan pembangunan tiyamah yang berfungsi sebagai tempat musyawarah dan kajian-kajian keagamaan.

Perpaduan antara budaya Islam dan Eropa pada Masjid Banten ditunjukkan dengan adanya tiyamah atau paviliun tambahan di sisi selatan bangunan inti ini. Bangunan tiyamah berbentuk segi empat panjang dan bertingkat dua lantai.

Perpaduan unsur Jawa, Eropa, dan Cina menyatu sempurna pada arsitektur Masjid Agung Banten.
Keunikan arsitektur inilah membedakan Masjid Agung Banten dengan masjid-masjid kuno lainnya.

▪︎Aktivitas Sosial Budaya

Terdapat tiga area utama pada kompleks Masjid Agung Banten, bangunan masjid, tiyamah, dan area pemakaman. Di masjid ini terdapat kompleks pemakaman sultan-sultan Banten serta keluarganya, seperti makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar.

Pada sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad dan Sultan Zainul Abidin, dan lainnya. Kompleks pemakaman ini memiliki pengaruh paling besar terhadap aktivitas sosial dan budaya.

Banyak pengunjung hadir dengan tujuan berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanuddin dan keluarganya. Jadi, pengunjung yang datang tidak hanya jamaah hendak menjalankan salat saja, tetapi juga bertujuan berziarah.▪︎[ZA/ALAMS]