Simbol Toleransi Hindu-Islam

234 dibaca

Dermaga kayu sungai Kuin Banjarmasin Utara terasa luar biasa. Para muda-mudi, tua-muda sedang berkumpul dengan wajah ceria di sepanjang sungai yang bersih dengan air jernih. Dari seberang dermaga terlihat bangunan khas bercungkup bersaf berwarna coklat kehitaman, Bergaris hijau khas, bersilouet sinar sunset, berkilau sinar disela-sela pohon palem yang menjuntai. Itulah masjid berbahan kayu ulin. Masjid Suriansyah Banjarmasin.

DARI seberang sungai berdemaga kayu ulin, bersama menyeberang menuju masjid menggunakan perahu kayu yang hilir mudik. Alhamdulillah, kali ini posmonews.com bisa berkunjung ke sana ditemani pemuda Banjarmasin,  Laode Fahmi dan anak lelakinya Arda Fahmi Laode. Dari data liputan, ternyata dua wartawan posmo dulu pernah ke sana, Danar S Pangeran dan Sulthonul Hadi Seta juga berkesempatan mengunjungi masjid ini pada tahun 2002. Subhanallah, saat memasuki tempat ini sesuai berwudhu, sulit membayangkan keagungan, keindahan serta kedamaian berada di tempat nan suci ini.

Ya, inilah Masjid Sultan Suriansyah yang diklaim merupakan masjid tertua di tanah Lambung Mangkurat didirikan tahun 1526 M diperkirakan berusia 491 tahun, terletak di Jalan Alalak Utara RT 5, Kelurahan Kuin Banjarmasin dengan membentang Sungai Kuin. Merasakan eksotisnya masjid yang seluruh pirantinya dari bahan kayu khas Kalimantan, kayu ulin yang kuat, serat spesial dan mengagumkan. Apalagi cuaca sore ini luar biasa bagusnya, saat sunset ada bayangan mengagumkan sepanjang Sungai Kuin ini, gambar sesungguhnya dan bayangan di bawahnya sungguh menakjubkan.

Setelah memasuki dalamnya masjid, terpampang pemandangan luar biasa, lukisan ukir dan pewarnaan yang khas,  mulai mihrabnya hingga pernak-pernik lampu dalam masjid semua masih original, dan dipertahankan keasliannya. Ornamennya ciri khas Banjar, baik corak Hindu maupun Islamnya.

“Semua yang ada di sini semua masih orisinil, masjid ini dibuat dari kayu pilihan, walau pernah direnovasi tapi tetap dijaga keasliannya dan tetap menggunakan kayu Ulin dan ini merupakan masjid panggung bersaf empat lho”,  tutur Laode.

Selanjutnya, di dalam ini penuh ukiran filosofis Hindu dan Islam, antara Banjar dan Demak Bintara. Maklum masjid ini dibuat karena persekutuan antara Pangeran Samudera dengan Kasultanan Demak, saat terjadi perang antara Pangeran Samudera dengan Pangeran Tumenggung, pamannya sendiri.

Filosofi Nanas, Manggis

Tidak lengkap kiranya kalau kita yang merasa kagum terhadap rumah Allah ini lalu tidak mengerti asal-usul Masjid Sultan Suriansyah. Ada pemandangan di serambi masjid, sekelompok orang tua masih mempertahan budaya leluhur, makanan jajanan khas legit manis seperti apem.

Dikisahkan sebelumnya, kalau di tanah Banjarmasih sebelum menjadi Banjarmasin dipimpin oleh Maharaja Sukarama dengan nama Kerajaan Negara Daha, ini masih bisa dibuktikan dengan situs yang masih disimpan Amuntai di Kabupaten Hulu sungai Utara Kalimantan Utara. Dalam regenerasi estafet kepemimpinan kerajaan, sang Maharaja Sukarama berniat mengangkat cucunya Pangeran Samudera, namun ditolak anak pertamanya yang mengaku berhak sebagai penggantinya. Akhirnya kerajaan terjadi sengketa. Pangeran Tumenggung mengganti nama Kerajaan menjadi Negara Dipa, dan Pangeran Samudera minggat lalu menyamar sebagai nelayan sampai kearah barat, karena dikejar-kejar oleh pengikut Pangeran Tumenggung.

Kerajaan Hindu yang awalnya aman tenteram terjadi perang saudara, antara Pangeran Tumenggung dengan Pangeran Samudera yang dibantu patih Patih Masih yang suka dengan perangai dan tingkah laku pewaris takhta dari kakeknya ini. Pangeran Samudera minta bantuan Sultan Demak Bintara, dan setuju syarat yang diajukan, apabila nanti menang, maka Pangeran dan pengikutnya harus meninggalkan agama lamanya dan menganut agama Islam.

Sungguh luar biasa filosofi Masjid Sultan Suriansyah ini, bisa menjadi tauladan di negeri ini yang kini banyak intoleransi. Kita mungkin tak terkejut dengan Indonesia dan  Pancasilais. Namun filosofi di masjid ini mengajarkan kita bahwa Islam adalah damai, Islam adalah anugerah. ARIFIN KATIQ