Laksamana Cheng Ho orang kepercayaan dari Kerajaan Ming melakukan perjalanan laut ke Jawa untuk misi perdamaian. Ia menggunakan armada yang terdiri dari 62 kapal besar, 255 kapal kecil, dengan awak kapal lebih dari 27.800 personel. Berikut ini kisahnya.
Laksamana Cheng Ho mendarat pertama kali di Nusantara pada tahun 1405 M, di Tuban. Ketika Cheng Ho mendarat di wilayah Jawa Timur itu sedang terjadi perang saudara cukup besar di Kerajaan Majapahit. Raja, ketika itu Prabu Wikrawardana yang bertahta di Blambangan. Akibat dari situasi peperangan itu, sekita 170 personil Cheng Ho terbunuh. Namun Cheng Ho yang membawa pasukan yang besar tidak melakukan serangan balasan.
Atas nama Kaisaran Cina, Cheng Ho menanyakan kejadian itu kepada Raja Majapahit itu. Merasa kesalahan ada di pihaknya, Prabu Wikrawardana kemudian mengirim utusan ke Cina, yang ketika itu diperintah oleh Kaisar Cheng Zu (Dinasti Ming). Semula Raja Majapahit itu hanya diminta membayar ganti rugi sebesar 60 ribu tali emas-dan sudah dibayarkan 10 ribu tali emas. Namun denda itu akhirnya dibebaskan oleh Kaisar Cheng Zu, karena raja Jawa itu telah mengakui kesalahannya.
Hal inilah yang menjadikan raja dan rakyat Majapahit menyukai Laksamana Cheng Ho. Ekspedisi kedua Laksamana Cheng Ho datang ke Rembang Jawa. Tapi kondisi kerajaan Majapahit telah bubar. Karena yang berkuasa du wilayah Pantai Utara Jawa adalah Kesultanan Demak Bintoro, sebuah kerajaan Islam yang pertama di Jawa.
Laksamana Cheng Ho melabuhkan jangkar dan kapalnya di Rembang hingga pesisir Tuban. Dua daerah tersebut masuk ke dalam wilayah Sunan Bonang, sebagai pusat penyebaran agama Islam. Bahkan juga sebagai tempat tinggalnya. Kehadiran Laksamana Cheng Ho dengan 100 kapal sempat terjadi kesalahpahaman dengan tentara Kesultanan Demak Bintoro. Sehingga terjadi peperangan di tengah laut dan daratan. Panglima Kesultanan Demak Bintoro waktu itu adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Dalam peperanagan itu preajurit yang dipimpin Sunan Bonang lebih unggul. Sejumlah kapal miliki kerajaan Ming dapat di hancurkan. Bukti-bukti kemenagan itu adalah sejumlah Jangkar kapal yang kini dapat dilihat di Pantai Kartini Rembang. Peperangan itu dapat berakhir setelah Laksamana Sam Po Kong mengumandangkan takbir dan membacakan ayat-ayat suci Alqur’an. darisinilah akhirnya prajurut Kesultanan Demak Bintoro yang dipimpin Sunan Bonang tersadar bahwa yang diperangi itu adalah orang islam dari Tiongkok kerajaan Dinasti Ming.
Sunan Bonang pun akhirnya memerintahkan prajuritnya untuk menghentikan peperangan. Laksamana Sam Po Kong yang selama peperangan itu lebih memilih bertahan untuk tidak melakukan pembunuhan terhadap prajurit Kesultanan Demak Karena menganggap sesama muslim. Setelah peperangan berakhir, kedua prajurut dari Kesultanan Demak dan Dinasti Ming berpelukan dan bersalaman serta saling memaafkan. Mayat-mayat yang ada dikubur secara Islam.
Kemudian Sunan Bonang memberikan kemudahan kepada Laksamana Sam Po Kong untuk berlayar di Pulau Jawa dan bertempat tinggal cukup lama. pemberian izin tersebut dimanfaatkan untuk membentuk komunitas Tionghoa Islam di berbagai tempat di tepi pantai Pulau Jawa. Seperti di Surabaya dan Semarang. Juga membangun garis politik yang digariskan oleh Kerajaan Ming, dengan membentuk pusat perencanaan hubungan dagang dan politik Jawa.
Beri Pelajaran Mengukir
Selanjutnya, Laksamana Sam Po Kong banyak menyebarkan ilmu pengetahuan baru kepada penduduk lokal di tempat yang disinggahinya. Yaitu di Jepara dan Kudus memberikan pendidikan mengukir. Di Semarang memberikan pelajaran membuat Mie Ayam.
Di masyarakat pantai pantai Jawa Timur, armada cheng Ho mengajarkan cara bercocok tanam, berternak, kesenian-mulai dari seni ukir hingga seni arsitektural-hingga cara membuat alat bajak dari besi..Peninggalan berupa bangunan fisik yang masih tersisa hingga saat ini adalah Kelenteng Gunung Batu atau yang populer disebut Kelenteng Sam Po Kong di Semarang. Kelenteng Talang di Cirebon dan lelenteng Ancol di Jakarta. Dan peninggalan dari berkesenian adalah seni ukir di Jepara, banyak pengerajin ukiran kayu di Jepara hingga sekarang.
Namun sayangnya peninggalan-peninggalan Laksamana Sam Poo Kong telah berubah menjadi tempat peribadatan Tri Dharma bagi warga Cina. Tapi masyarakat Islam menjadikan sebagai tempat wisata. karena dulunya tempat ibadah tersebut merupakan peninggalan jendral dari kerajaan Ming yang beraga Islam. HUSNU MUFID