SARUNGKU TERTINGGAL DI PESANTREN

486 dibaca

▪︎POSMONEWS.COM,-
SELURUH masyarakat Indonesia memperingati Hari Santri Nasional tanggal 22 Oktober 2022. Bahkan, peringatan tersebut dihelat setiap tahun. Hampir pondok pesantren di tanah air menggelar upacara Hari Santri Nasional.

Mendengar kata “pesantren” penulis teringat masa-masa indah saat mondok. Penghuni pesantren tidak bisa lepas dari sarung dan kopyah hitam selalu menemani setiap langkah sang santri.

Berbagi cerita dengan sarung, berbagi pengalaman yang mengesankan berkaitan dengan sarung. Bau sarung pun mempunyai ciri khas sendiri sesuai dengan pemiliknya.

Para santri pun seakan-akan sudah mengenal…”Oh….ini sarung di Ahmad…Oh itu sarung Tajudin…dan seterusnya. Para santri pun enggan memakai sarung senbarangan. Apa lagi mencuri sarung santri lainnya, pasti ketahuan.

Soal sarung memang sidikit bingung untuk berbagi cerita bukan lantaran tidak pernah bersentuhan dengan sarung. Justru sebaliknya, terlalu sering memakai sarung, sehingga jadi bingung mana pengalaman paling mengesankan bersama sarung.

Sejak kecil hampir semua anak-anak di pedesaan terbiasa menggunakan sarung. Apalagi di “Kota Santri” Gresik, Jawa Timur. Anak kecil, pemuda, orang tua pasti bersarung bila sudah mendengar adzan Ashar. Kalau tidak bersarung bisa-bisa dicap anak “urakan”.

Saat keluar ke sekitar rumah, terutama saat menjelang sore atau malam hari, sarung pun menjadi pilihan utama. Mulai dari membeli sesuatu di warung samping rumah, nongkrong di rumah tetangga, dan ngopi juga pakai sarung.

Begitu juga ketika remaja. Kehidupan di pondok pesantren justru tidak pernah bercerai dengan sarung dan kopyah. Lataran saking terbiasanya menggunakan sarung, di rumah sarung telah menjadi pakaian utama.

Di wilayah Gresik, Jatim, sarung menjadi ciri khas utama warga Kota Pudak. Jangan heran bila orang Gresik lebih bangga pakek sarung dari pada pakek celana jeans. Mengapa demikian? Harga sarung lebih mahal dibangkan celana jeans.

Setiap kali mengikuti kegiatan di alam bebas pun sarung tidak pernah tertinggal, pastinya menjadi salah satu barang wajib masuk dalam carrier (tas rangsel). Meskipun memakai celana panjang plus sleeping bag, sarung tetap menjadi teman tidur di alam bebas.

“Lho…gak bawa sarung? Maaf sarungku tertinggal di pesantren,” kelakar Ahmad, saat teman-temannya melihat ranselnya tidak ada sarungnya.

“Jangan lupa, selalu pakai peci-mu di mana pun kamu berada”.
Kata-kata seperti ini sering dijumpai dalam tradisi Pondok Pesantren, sekalipun tidak semua santri memaknai kata-kata dimaksud dalam pengertian yang sama.

Awalnya, bisa jadi pengertian didapat atas artikulasi kata-kata di atas adalah pengertian bersifat harfiyah, artinya bahwa peci (penutup kepala berbahan beludru warna gelap dengan ketinggian antara 6-12 cm, dan berbentuk lancip di kedua ujungnya) itu adalah sesuatu yang harus selalu dipakai di mana pun, tidak hanya di ruang belajar, musalla, asrama, ruang makan, semuanya wajib pakai sarung dan peci.

Salah seorang kiai di suatu pondok pesantren. Jangan coba-coba sowan tanpa memakai peci, mengapa? Karena akan disuruh pulang, atau setidaknya dipertanyakan. Pemakaian peci ini lumrah dijumpai di kehidupan para santri yang mondok di pesantren.

Akhirnya, peci dan sarung menjadi identitas mutlak dalam kehidupan pesantren, terutama pesantren-pesantren bernuansa salafi. Lambat laun, pemaknaan bersifat harfiyah seperti halnya ilustrasi di atas mulai mengalami pergeseran manakala santri sudah menyelesaikan upaya “nyantri” (belajar agama)-nya di suatu pondok pesantren tersebut mulai bersentuhan dengan dunia luar.▪︎(zubairi indro)