Ditinggal Ayahnya Wafat, Hanya dapat Warisan Buku Agama

809 dibaca

* Mengenang Sosok KH. Ahmad Maimun Adnan Pendiri Ponpes Al Islah, Gresik, Jatim (1)

SIAPA yang tidak kenal sosok KH. Ahmad Maimun Adnan (alm). Semasa hidupnya ulama satu ini terkenal murah senyum. Walaupun sudah tiada, fatwa-fatwanya tetap dikenang para santri-santrinya.

Pondok Pesantren Al Ishlah, Bungah, Gresik, Jawa Timur, Sabtu 11 Desember 2021, memperingati HAUL KH. Ahmad Maimun Adnan ke-7. Ribuan santri dari berbagai penjuru tanah air memadati kompleks ponpes di Jl. Kramat Makam Santri No. 1 Bungah, Gresik, Jatim.

Sepeninggal KH. Ahmad Maimun Adnan, Ponpes Al Ishlah sekarang diasuh oleh KH. Ahmad Thohawi Hadin atau yang lebih dikenal dengan Gus Mad–merupakan putra KH. Ahmad Maimun Adnan. Lantas bagaimana sepak terjang KH. Ahmad Maimun Adnan, semasa hidupnya? Berikut POSMONEWS.COM akan mengupas secara bersambung.

KH. Ahmad Maimun Adnan lahir pada tanggal 22 Juli 1933 di Desa Tanggungan, Baureno, Bojonegoro, Jawa Timur. Beliau merupakan putra ketiga dari delapan bersaudara, dari pasangan KH. Adnan dan Nyai Robi’ah.

Kedelapan saudara KH. Maimun–sapaan akrab KH. Ahmad Maimun Adnan, di antaranya; Abdul Hamid, Umamah, Ahmad Maimun Adnan, Abdul Majid, Sholihah, Zaenah, M. Chozin dan Choiroh.

Ayah beliau merupakan seorang guru ngaji sekaligus pedagang tembakau yang sukses di desanya. Meskipun ayahnya sosok yang berpengaruh di Desa Tanggungan, tidak menjadikan Maimun kecil dikenal sebagai pribadi sombong, sebaliknya ia dikenal sebagai pribadi lembut, mudah bergaul dan suka mengajak ngaji teman-teman sepermainannya.

Seperti waktu itu, ketika Maimun tengah bermain kelereng di depan rumahnya dan mendengar suara adzan dari saung yang dibangun oleh Kiai Adnan, ia langsung berdiri.“Ayo wes saiki awakmu melok aku sembayang sek, ben engkok aku diolehi dulin maneh ambek bapakku”.

Teman-teman Maimun hanya mengangguk dan mengikuti langkah Maimun dari belakang. Kemudian di lain waktu, Maimun juga mengajak teman dekatnya yang bernama Abu Darda’ untuk ikut mengaji dengannya. Ketika itu di Desa Tanggungan terdapat pagelaran pencak silat yang diisi dengan acara-acara pemujaan, Maimun dilarang untuk keluar oleh orang tuanya sehingga para teman-temannya mencari keberadaan Maimun saat itu.

Abu Darda’ teman Maimun mengetuk pintu rumah Maimun untuk mengajak keluar dan menonton, namun Maimun menolak dan berkata. “Melok aku ngaji ae nak deso kidul kono, engkok mulene ayo dolen maneh”.

Di desa ini memang masih memegang tradisi turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga saat itu Kiai Adnan yang salah satu dari alumni dari pondok pesantren ingin merubah kebiasaan dari masyarakat sekitar.
Beliau mendirikan sebuah saung (langgar) yang mana tempat ini diisi ngaji Alquran setelah habis Subuh dan Ashar.

Di saung ini Kiai Adnan mempunyai sepuluh santri yang semuanya dari luar Desa Tanggungan. Di tempat ini juga pendidikan agama pertama Maimun kecil dilakukan.
Selain sebagai pribadi yang ramah dan mudah bergaul, di keluarga Maimun juga dikenal sebagai pribadi penurut, tidak banyak berbicara sehingga diantara para saudara-saudaranya, Maimun adalah anak yang sering diajak oleh Kiai Adnan ketika mengisi pengajian di luar Desa Tanggungan.

Kemudian usia 13 tahun, Maimun remaja harus berlapang dada menerima kenyataan bahwa ayah yang selama ini menjadi teman dan sekaligus gurunya meninggal dunia.

Usia dimana ketika ia menjadi satu-satunya kakak laki-laki tertua yang harus menggantikan posisi ayahnya. Disaat ia masih merasakan kesedihan, Maimun harus sudah siap menggantikan posisi ayahnya sebagai penanggung jawab atas adik-adik serta ibunya. Dikarenakan kakak perempuan tertuanya telah menikah dan kakak laki-lakinya meninggal dunia.

Diusia ini juga ia harus mampu membagi pikirannya untuk nasib dirinya sendiri dan keluarganya. Sehingga Maimun memutuskan untuk menunda keberangkatannya ke pondok pesantren, ia ingin membantu ibu nya terlebih dahulu mulai dari pengasuhan adik-adik nya sampai pada menggantikan ayah nya untuk turut serta menjual tembakau bersama Ahmad, paman dari Maimun.

Sementara saat itu perekonomian pasti keluarga Maimun hanya bergantung pada hasil pertanian, peternakan, serta tanaman bambu Kiai Adnan yang dikelolah oleh ibu Nyai Robi’ah.

Pendidikan

KH. Ahmad Maimun Adnan Keberadaan seorang kiai yang mempunyai kharisma tinggi dihadapan santri maupun di mata masyarakat, tidak pernah terpisah dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kiai tersebut.
Wibawa dari seorang kiai di mata para santri dan masyarakat sering dikaitkan dengan sisi keilmuannya.

Demikian pula KH. Ahmad Maimun Adnan, sebelum beliau merintis Pondok Pesantren Al-Ishlah, beliau terlebih dahulu belajar ilmu agama diberbagai pondok pesantren. Dari usia delapan tahun, Maimun kecil sudah diperkenalkan ilmu agama salah satunya adalah ilmu shorof.

Ilmu shorof adalah bagian dari ilmu nahwu yang menekankan kepada pembahasan bentuk kata meliputi cara pembacaannya, menulis sampai menghafal. Pembelajaran ini dilakukan secara langsung oleh ayah Maimun yaitu, Kiai Adnan.

Menurut Kiai Adnan, ilmu shorof merupakan dasar dari ilmu-ilmu agama, sehingga jika Maimun dapat memahami ilmu shorof sama saja seperti Maimun juga memahami ilmu agama yang lain.
Menginjak usia sembilan tahun, Kiai Adnan mulai membatasi pergaulan Maimun kecil, dikarenakan kondisi Desa Tanggungan saat itu masih banyak kemaksiatan, mulai dari percaya akan ilmu-ilmu perdukunan, minum-minuman keras serta terjadi pelecehan dimana-mana sehingga Kiai Adnan merasa khawatir jika Maimun akan terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya.

Untuk itu, pengasuhan nilai-nilai keagamaan sangat di tekankan oleh Kiai Adnan kepada keluarganya, tak
terkecuali Maimun. Untuk menarik rasa simpati Maimun, Kiai Adnan mempunyai cara tersendiri dalam pembelajaran, dimulai dengan seringnya Maimun diajak berkeliling ketika Kiai Adnan diundang untuk mengisi pengajian sambil menyelipkan beberapa kata yang akan dihafalkan oleh Maimun atau dengan cara mengajak serta Maimun saat akan menjual tembakau ke kota dengan catatan Maimun harus mau untuk belajar kitab shorof.

Namun diusia 13 tahun, Maimun harus kehilangan sosok ayah sekaligus teman yang telah menemaninya selama ini. Kiai Adnan wafat, Maimun remaja harus dihadapkan dengan dua pilihan yaitu yang pertama ia membantu ibu untuk mengasuh adik-adik serta menggantikan sosok ayah bagi keluarganya dan yang kedua ia harus memenuhi amanah Kiai Adnan yang disampaikan kepada Nyai Robia’ah bahwa Maimun harus pergi menuntut ilmu ke pondok pesantren.

“Nak, bapak sampean tidak mewariskan harta, hanya buku-buku inilah yang ditinggalkan bapakmu. Lalu, jika kamu tidak bisa membaca, lalu siapa yang akan membaca?”

Setelah memikirkan hal tersebut keputusan Maimun remaja adalah membantu ibu nya terlebih dahulu untuk mengasuh adik-adiknya dan turut mengurus hasil pertanian, peternakan peninggalan Kiai Adnan untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari.

Kemudian di tahun 1948 menginjak usia 15 tahun akhirnya Maimun remaja dengan berat hati harus meninggalkan ibu serta adik-adiknya untuk pergi belajar ilmu agama, pesantren pertama yang dipilih adalah Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur, pada saat itu tengah di pimpin KH. Abdul Hadi.

KH. Abdul Hadi sendiri teman seperjuangan dari Kiai Adnan ayah dari Maimun selama menuntut ilmu di Pondok Pesantren Maskumambang, Dukun, Gresik, Jawa Timur. Selama menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Langitan, Maimun menjalaninya dengan pulang pergi yang mana pada saat itu perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki dari rumah dan menyebrangi Bengawan Solo untuk sampai di pondok pesantren.

Ketika itu jarak yang ditempuh antara Desa Tanggungan dengan Pondok Pesantren Langitan adalah 65,2 Km. Kegiatan ini berlangsung hinggga Maimun menyelesaikan pendidikan MI selama 4 tahun.

Setelah kelulusannya, Maimun memutuskan untuk menginap di Pondok Pesantren Langitan guna menyelesaikan pembelajaran kitab kuning yang tertinggal selama ia harus melakukan perjalanan pulang pergi. Sehingga setelah kelulusannya ia hanya pulang di hari kamis dan menginap dihari sabtu.

Kegiatan ini dinilai unik oleh salah satu guru Maimun di pondok pesantren, sehingga Maimun diberikan julukan Mislituko.

Mislituko adalah julukan khusus yang diberikan KH. Anwar Jasri kepada Maimun yang saat itu sebagai santri sering tidur namun berprestasi. Menurut KH. Anwar Jasri, Maimun adalah sosok yang bekerja keras bukan hanya untuk dirinya saja melainkan juga untuk keluarganya.

Seperti pernah KH. Anwar Jasri sampaikan kepada Maimun.“Masio wujud badane nak pondok, tapi ati lan pikirane tetep keri nak omah. Atine alus, dadi mesti ancen dikarekno gak digowo. Ibukmu pasti sehat lak awakmu yo sehat, ibukmu pasti seneng lak awakmu seneng, lan ibukmu pasti terus ndungakno masio awakmu lali ndungakno”.

Memang betul apa yang telah disampaikan oleh KH. Anwar Jasri bahwa Maimun adalah sosok yang mencintai keluarganya terbukti ketika masih menjadi santri Maimun sangat bekerja keras untuk tetap membantu ibu nya dengan cara membawa telur dari rumah yang akan ia jual terlebih dahulu di pasar, yang nantinya hasil penjualan telur itulah yang menjadi uang saku untuk Maimun ketika berada di pondok pesantren.

Selain itu ia juga sering kali membawa bekal jeruk nipis dan bunga melati untuk biaya membayar tambangan menyebrang Bengawan Solo demi menghemat biaya pengeluaran ibunya. KH. Anwar Jasri sangat bersimpati kepada Maimun karena kecerdasan dan ketanggapan nya dalam memahami suatu pelajaran, ia juga sangat memegang teguh nilai-nilai ketawadhu’an nya sebagai santrisehingga KH. Anwar Jasri menyuruh Maimun menggantikan beliau untuk mengajar kitab Imrithi yang saat itu telah mencapai bab Na’at.

Menurut KH. Anwar Jasri, Maimun telah berhasil memberikan pemahaman kepada santri-santri yang diajarnya. Karena keberhasilannya itu, KH. Anwar Jasri kembali memberikan Maimun beberapa kitab untuk menjadi guru di Jeramba komplek Pondok selatan, adapun kitab yang diajarkan Maimun diantaranya adalah Kitab Imriti, Kitab Alfiyah, Kitab Uqudul Juman, Kitab Ushul Fiqih.

Di tahun berikutnya, tepatnya tahun 1956 setelah menyelesaikan belajar mengajar selama delapan tahun di Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban, Maimun merasa bahwa pengetahuannya belum cukup sehingga ia memutuskan untuk kembali belajar, kali ini lokasi yang dipilih cukup jauh tepatnya di Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem Jawa Tengah yang saat itu tengah dipimpin oleh KH. Ma’sum.

Tujuan dari memilih Pondok Pesantren Al-Hidayah adalah untuk memperdalam pengetahuannya mengenai ilmu alat dan juga ilmu tasawuf. Dalam perjalanan ini Maimun tidak sendiri melainkan bersama dengan Mohammad Kholil Kuro yang merupakan sahabatnya yang telah bersamasama dari awal masuk pondok pesantren Langitan Widang Tuban Jawa Timur.

Di Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem, Ahmad Maimun Adnan berguru kepada tiga ulama besar Lasem sekaligus yaitu Syekh Masduki, KH. Baidhowi dan KH. Ma’sum. Ahmad Maimun Adnan belajar kitab-kitab kecil berupa Bidayatul Hidayah, dan Sulam Taufiq, kepada KH. Ma’sum setelah salat Ashar.

Kemudian belajar kitab Jam’ul Jawami kepada KH. Baidhowi setelah salat Dhuhah. Dan yang terakhir beliau belajar kepada Syekh Masduki mengenai kitab Ushul Fiqih, Balaghoh, Mantiq, Al-Hikam dan Kitab Tafsir, yang dilakukan hampir setiap hari.

Karena KH. Ahmad Maimun Adnan mengakui bahwa beliau sangat mengidolakan sosok Syekh Masduki. Setelah lima tahun di Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem dan berhasil mengkhatam kan kitab-kitab yang menjadi impiannya, perjalanan Maimun kembali dilakukan guna menambah pengetahuan keagamaannya.

Kali ini pondok pesantren yang dipilih adalah Pondok Pesantren Poncol- Beringin, Salatiga, Jawa Tengah, karena menurutnya pondok pesantren ini terkenal pengajian kilatan kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sehingga ia tertarik karena dengan waktu singkat ia dapat mengkhatamkan dua kitab hadist tersebut.

Sehingga ia hanya butuh waktu satu tahun untuk mengkhatamkan kitab hadist Shahih Bukhori dan Shahih Muslim kepada guru beliau yang bernama KH. Ahmad Asy’ari di tahun 1961. Setelah perjalanan panjang yang di lalui oleh KH. Ahmad Maimun Adnan, beliau memutuskan kembali ke Desa Tanggungan yang mana di desa kelahirannya tersebut terdapat pondok pesantren yang telah dirintis oleh Kiai Adnan.

Sebagai penerus pemimpin pondok pesantren, KH. Ahmad Maimun Adnan harus ekstra mencurahkan tenaga serta pikiran demi kemajuan pondok pesantren ayahnya yang bernama Tanwirul Qulub.

Saat KH. Ahmad Maimun Adnan masih belajar di pondok pesantren kepempinan digantikan oleh KH. Abu Darda’ yang tidak lain adalah paman ipar beliau, suami dari bibi nya yang bernama Choiroh. Perubahan pertama yang KH. Ahmad Maimun Adnan lakukan adalah dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyyah dan mendirikan pondok putri di Pondok Pesantren Tanwirul Qulub.

Keluarga

Pada tahun 1962 Nyai Robi’ah kedatangan saudaranya dari Desa Bungah, Gresik, yaitu KH. Chudlori beserta istrinya, yaitu Nyai Aisyah. KH. Chudlori ini suami dari Nyai Aisyah yang merupakan ponakan dari Nyai Robi’ah. Mereka datang ke Desa Tanggungan dengan tujuan meminta KH. Ahmad Maimun Adnan untuk bisa diambil menantu dan dinikahkan dengan Siti Hawwa.

Nyai Robiah menjelaskan bahwa Siti Hawwa adalah sosok yang hafal Alquran, sehingga beliau memutuskan untuk menerima lamaran dari KH. Chudlori yang merupakan sepupu ipar dari KH. Ahmad Maimun Adnan.

Kemudian tepat pada tanggal 15 Agustus 1962 bertepatan dengan tanggal 14 Maulud 1894 KH. Maimun Adnan dan Ibu Siti Hawwa menikah di Pondok Pesantren Qomaruddin, Bungah, Gresik. Dari pernikahan tersebut KH. Ahmad Maimun Adnan dikaruniai 13 orang anak.
**(zi)