KH. Abdullah Faqih, pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur, telah berpulang ke rahmatullah, Rabu maghrib tanggal (29/02/2012) lalu.
KH. Abdullah Faqih yang dikenal sebagai kiai khos di kalangan kaum Nahdhiyin (NU) ini meninggal dalam usia 79 tahun. Beliau wafat setelah maghrib sekitar pukul 18.30 WIB. Kabar wafatnya Kiai Faqih diumumkan secara resmi oleh Ponpes Langitan dalam situs resminya, Langitan.Net. tentunya kabar tersebut membuat kaum NU terkejut.
“Keluarga besar Pondok Pesantren Langitan Berduka Cita atas wafatnya KH. Abdullah Faqih, pada Rabu 29 Februari 2012, dan beliau meninggal Pukul 18.30 Wib dan Insya Allah akan dimakamkan besok (Kamis, 1 Maret 2012, pukul 12.00 WIB,” tulis situs Langitan.Net pada halaman berandanya.
Biografi Singkat
KH. Abdullah Faqih lahir pada tanggal 2 Mei 1932 di Dusun Mandungan, Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH. Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia sempat nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Kiai Faqih pernah tinggal di Makkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan.
Keberadaan Kiai Faqih tidak bisa lepas dari keberadaan pesantren Langitan di Tuban, Jawa Timur. Melalui pesantren tua di Jawa Timur yang didirikan tahun 1852 oleh KH. Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan, itulah Kiai Faqih mengabdikan dirinya di jalan dakwah. Pesantren Langitan merupakan pesantren tempat pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan pernah nyantri.
Kiai Faqih merupakan generasi kelima yang memimpin Pesantren Langitan sejak 1971, menggantikan KH. Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH. Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.
Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Beliau tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam salat lima waktu misalnya, Kiai Faqih selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan.
Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Alquran (TPA). Dalam hal penggalian dana, beliau membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.
Kesederhanaan Kiai Faqih sangat nampak dari tempat tinggalnya. Kiai Faqih tinggal di sebuah rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri dan rumah pengasuh lain.
Kuai Faqih tetap tinggal di rumah kayu itu meskipun ada bangunan berlantai dua di belakang rumah itu. Gedung berlantai dua itu untuk tinggal putri-putrinya. Kiai Faqih sendiri tetap memilih tinggal di rumah kayu berukuran sekitar 7×3 meter.
Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj. Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat.
Di antaranya KH. Faqih mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya salat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.
Di kalangan NU Kiai Faqih dikenal sebagai kiai khos atau kiai utama, meskipun Kiai Faqih sendiri menolak disebut sebagai kyai khos atau kiai utama. Kiai Faqih dianggap mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Kiai Faqih kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, terutama menyangkut kepentingan publik.
ton/zub