Jurnalisme Presisi

154 dibaca

• Oleh: Machmud Suhermono

Ketika pertama kali muncul berita “Direktur TV Swasta Lokal di Jawa Timur Ditangkap” banyak yang telpon dan Whatsapp (WA) saya, mencari info, siapa sebenarnya terduga pelaku tersebut.

Nah inilah masalahnya. Frasa “Direktur Televisi Swasta Lokal” itulah yang membikin heboh. Sebab, jumlah televisi lokal di Jawa Timur, tidak banyak. Sehingga hampir pasti cepat diketahui.

Nah di sinilah ada kekurang tepatan pengunaan frasa. Sebab, ternyata tersangka berinisial A adalah Direktur Televisi Kabel atau istilah dalam UU Nomor 32 Tahun 2002, adalah Lembaga Penyiaran Berlangganan, PT Bondowoso Salam Visual Nusantara Satu (BS TV).

Sehingga BS TV itu bukan TV lokal terrestrial atau Free To Air (FTA) yang bisa kita lihat dengan gratis, hanya dengan menggunakan antene UHF.

Sedangkan BS TV itu baru bisa dilihat, kalau kita berlangganan dengan membayar sesuai tarifnya dan dihubungkan dengan kabel.

Sementara itu frasa “Televisi Swasta Lokal” adalah televisi FTA alias gratis, yang harus punya IPP (Izin Penyelenggaraan Penyiaran) dan ISR (Izin Siaran Radio) dan masuk ranah pengawasan KPID.

Sehingga judul Direktur TV Swasta Lokal di Jatim adalah kurang tepat, sebab tersangka adalah Direktur Televisi Berlangganan alias TV kabel.

Kalau televisi swasta lokal akan menjadi anggota ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia). Sedangkan televisi berlangganan punya asosiasi sendiri.

Selain itu konten yang disangkakan melanggar hukum, bukan yang tayang di media televisinya, namun di platform media sosial.

Itulah perlunya jurnalisme presisi. Ketepatan dengan melakukan verifikasi, validasi dan klarifikasi pada lembaga yang kompeten dan berwenang, misal ke KPI atau KPID.***