Polemik Suara Kumandang Azan, Ini Penjelasan Kemenag

160 dibaca

Suara kumandang azan di masjid atau musala melalui pengeras suara (toa), masih menjadi pelemik di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri juga menjadi sorotan.

Menanggapi polemik tersebut, Dirjen Bimas Islam, Komaruddin Amin, menjelaskan bahwa kumandang suara azan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk menunaikan salat. Hal itu dinyatakan Komaruddin menanggapi pemberitaan media asal Prancis, Agency France-Presse (AFP) yang menyoroti kerasnya suara azan di Jakarta.

Menurut Komaruddin, karena digunakan sebagai panggilan ibadah, tentunya kumandang azan dilakukan sesuai waktu salat.

“Durasi azan juga tidak lama,” ujar Kamaruddin Amin, dikutip dari Suara.com, Minggu (17/10/2021).

Menyoal penggunaan pengeras suara Kementerian Agama telah menerbitkan Instruksi Dirjen Bimas Islam tahun 1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di masjid, langgar dan musala.

Komaruddin berujar, Instruksi Nomor Kep/D/101/1978 diterbitkan seiring meluasnya penggunaan pengeras suara oleh Masjid, Langgar, Musala di seluruh Indonesia, baik untuk azan, iqamah, membaca ayat Alquran, membaca doa, peringatan hari besar Islam, dan lainnya.

Penggunaan pengeras suara selain untuk menimbulkan kegairahan beragama dan menambah syiar kehidupan keagamaan, pada sebagian lingkungan masyarakat dikatakan Komaruddin terkadang pengeras suara justru menimbulkan ekses rasa tidak simpati disebabkan pemakaiannya kurang memenuhi syarat.

“Agar penggunaan pengeras suara oleh masjid, langgar, musala lebih mencapai sasaran dan menimbulkan daya tarik untuk beribadah kepada Allah, saat itu, tahun 1978, dianggap perlu mengeluarkan tuntunan pengeras suara untuk dipedomani oleh para pengurus masjid, langgar, musala di seluruh Indonesia,” kata Komaruddin.

Adapun Instruksi tersebut mengatur tentang penggunaan pengeras suara ke luar dan ke dalam tempat inadah. Untuk kumandang azan menggunakan pengeras suara ke luar. Sebab, azan merupakan panggilan.

“Sementara itu untuk kegiatan salat, kuliah atau pengajian dan semacamnya menggunakan pengeras suara ke dalam,” kata Komaruddin.

Ia menegaskan, bahwa aturan pengeras suara melalui instruksi tersebut sampai kini juga masih relevan. Aturan itulun juga berlaku untuk masjid, langgar dan musala di perkotaan yang masyarakatnya cenderung majemuk dan heterogen.

Sedangkan untuk masyarakat di pedesaan yang cenderung homogen, ujar dia bisa berjalan seperti biasa dan disesuaikan dengan kesepakatan masing-masing daerah.

“Jadi dalam instruksi yang usianya lebih 40 tahun ini sudah diatur, kapan menggunakan pengeras suara ke luar, kapan ke dalam,” imbuh dia.**(ist)