Misteri Penemuan Petirtaan Zaman Majapahit di Gresik

208 dibaca

Penemuan Patirtaan (tempat pemandian suci para tokoh-tokoh kerajaan) era Kerajaan Mapahit, di Kabupaten Gresik, menimbulkan banyak spekulai. Benarkah tempat pemandian itu merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit?

Beragam analisis sempat muncul, setelah muncul temuan yang diduga petirtaan atau kolam pemandian era Kerajaan Majapahit tersebut.

Temuan diduga petirtaan itu berlokasi di Dusun Rejosari, Desa Sumberame, Kecamatan Wringinanom, Gresik.
Menurut warga desa setempat, lokasi penemuan dulunya merupakan sendang.

Kepala Seksi Sejarah dan Purbakala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Gresik, Khairil Anwar, mengungkapkan dirinya tidak menyangsikan bila temuan tersebut berasal dari zaman Kerajaan Majapahit. Hal itu diketahui setelah dirinya melihat struktur bebatuan bata kuno di lokasi itu.

“Kalau saya melihatnya itu lebih pada drainase, seperti kanal air, yang dulunya dibuat untuk irigasi pertanian di kawasan setempat. Sebab kalau petirtaan itu kan lebih pada mata air yang disucikan, seperti yang ditemukan di Mojokerto,” ujar Khairil, Rabu (15/9/21).

Selain itu, tidak jauh dari lokasi, sudah pernah ditemukan batu bata kuno yang tertata rapi. Tepatnya di lereng perbukitan Desa Kepuhklagen, Kecamatan Wringinanom, pada tahun 2011 silam.

“Melihat karakter batu bata yang ditemukan, kita berani menyebut bila itu tinggalan zaman Majapahit. Apalagi 10 tahun lalu di Desa Kepuhklagen kan sudah pernah ditemukan batu bata kuno, yang itu merupakan dari era Majapahit,” ucap Khairil.

Khairil menuturkan, mulanya warga dan Pemdes setempat berinisiatif untuk membangun wisata desa di lokasi. Mereka kemudian mendatangkan alat berat, untuk mengeruk lokasi yang rencananya bakal dibangun menyerupai kolam.

“Jadi teman-teman dan warga ingin membangun desa wisata, di situ (lokasi temuan) akan digunakan sebagai wahana seperti kolam. Ketika alat berat melakukan pengerukan, terangkatlah bebatuan itu,” kata dia.

Tunggu Kajian BPCB

Disparbud Gresik sudah menjalin komunikasi dengan pihak desa dan warga setempat, untuk tidak melanjutkan proyek pengerukan di lokasi temuan. Warga diminta berkoordinasi dan menunggu kajian dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB).

“Intinya kami mendukung inisiatif mereka membangun desa wisata. Tapi kami juga mengimbau di sekitar lokasi agar tidak dikerjakan dulu, karena khawatir justru akan merusak struktur dan nilai sejarah yang ada, bilamana ada penelitian lebih lanjut dari BPCB,” tutur Khairil.

Sebelumnya, kepala Desa Sumberame Sueb Wahyudi sempat mengatakan, lokasi temuan diduga petirtaan tersebut sebelumnya merupakan sendang.
Sendang ini sudah diketahui sejak lama, kendati tatanan batu bata kuno terstruktur baru terlihat mulai jelas saat dilakukan pengerukan.

“Di lokasi itu memang ada sendang, sudah ada sejak dulu. Tapi tampak menyerupai petirtaan seperti peninggalan zaman Majapahit itu, ya setelah dilakukan pengerukan,” ujar Sueb, Selasa (14/9/21).

Sueb menjelaskan, lokasi sendang tersebut dikenal warga telah turun-temurun, dengan debit air yang ada dikatakan tidak pernah surut kendati saat musim kemarau. Bahkan, warga setempat memang sudah sempat curiga jika di lokasi penemuan terdapat benda bersejarah.

“Sudah tampak sedikit, namun mulai lebih jelas lagi ya saat dilakukan pengerukan itu. Sebab di sekitar lokasi, warga juga sempat menemukan seperti lumpang dan kalung kuno. Tapi itu sudah lama sekali, mungkin saat saya masih anak-anak,” kata Sueb.

Pada tahun 2011 silam, warga Desa Kepuhklagen juga sempat menemukan tumpukan bata merah kuno, sekitar 400 meter dari tempat penemuan Pithecanthropus mojokertensis pada 1936.

Lokasi temuan berada di dekat sumber air Kali Kedungbanteng, Kedung Kemaron dan Jurang Bedhes.**(za/kmp)