In Memoriam Almarhum Ki H. Mantep Sudarsono Wariskan Kreativitas Pakeliran Modern

195 dibaca

• Oleh: Koesmoko

Innalillahi wainna ilaihi rojiun. Sampun kapundut wonten ngarsanipun Gusti Allah SWT, almarhum Bp. Ki H. Mantep Sudarsono (dalang) pukul 09.45 WIB, Jum’at (2/7/2021).

“Sudah meninggal, kembali ke hadapan Allah SWT, almarhum Bapak Ki Haji Mantep Sudarsono (dalang)”. Kabar lelayu (duka) itu kemarin menyebar di media sosial begitu cepat.

Semula dikabarkan meninggal akibat terpapar Covid-19. Namun menurut keluarganya, Ki Mantep meninggal di rumahnya di Dusun Sekiteran, Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, bukan karena virus Corona. Menurut dokter yang menanganinya, dalang berusia 73 tahun itu meninggal akibat penyakit paru-paru. Semasa hidupnya, meski mengidap penyakit paru-paru, masih sering terlihat Pak Mantep merokok sigaret.

Menurut anak pertamanya, Medhot Sudarsono, sesuai dengan wasiat almarhum, saat pemakaman jenazahnya supaya ditemani dengan wayang kulit Bima (Werkudara), wayang kesayangannya jika dibawa ke kuburan. Saat petugas berpakaian APD lengkap memasukkan peti jenazah ke ambulans, ada seorang petugas membawa wayang Bima berukuran tinggi 1,5 meter. Wayang lawas itu hanya mengantarkan sampai ke tempat peristirahatan yang terakhir.

Penulis pun punya kenangan khusus dengan almarhum. Saat itu Ki Mantep Sudarsono ditanggap oleh Harian Karya Darma – Jawa Pos Group kerja sama dengan Pemkab Nganjuk. Pada perayaan ulang tahun surat kabar/koran masuk desa tersebut di Stadion Anjuk Ladang, pada tahun 1992. Dengan bintang tamu pesinden ngetop Nyi Sunyahni. Pada kegiatan tersebut, penulis mendapat tugas menulis sinopsis lakon wayang yang digelar “Banjaran Bima”, yang dibagikan kepada para undangan.

Pertemuan berikutnya penulis dengan almarhum, saat Ki Mantep ditanggap dalam rangka perayaan HUT ke-50 Harian Jawa Pos di halaman Gedung Graha Pena Surabaya. Saat itu mengambil lakon “Bima Suci”. Ki Mantep tampil bergantian dengan Ki Margiono dan Ki Suparno Wonokromo. Pertunjukan wayang dimulai oleh tampilan CEO Jawa Pos, Dahlan Iskan yang memainkan gunungan, menandai dimulainya pergelaran.

Memang, siapa yang tidak kenal dengan dalang kondang yang satu ini. Ki Mantep Sudarsono merupakan salah seorang dalang yang sangat kreatif dan inovatif. Ki Mantep yang terkenal dengan sebutan “Dalang Setan” karena kepandaiannya sabetan (memainkan wayang seperti benar-benar hidup) itu juga memanfaatkan teknologi. Di antaranya menggunakan lighting (teknik pencahayaan dengan lampu khusus) dan trik listrik, untuk menambah daya tarik pakeliran. Seperti ketika tokoh Raden Gatotkaca terbang di angkasa, maka yang muncul di pakeliran adalah sorot lampu yang menggambarkan langit dan awan. Ketika terjadi dua tokoh perang, beradunya senjata diwarnai dengan percikan api, yang berasal dari trik efek listrik.

Kekhawatiran Ki Mantep Sudarsono akan nasib wayang, cukup beralasan. Mengapa? Pementasan wayang kulit yang dulu sering digelar di saat orang mempunyai hajad seperti mengkhitankan atau menikahkan anaknya, syukuran setelah musim panen, dan dalam rangka memeriahkan HUT Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus di desa, kini semakin jarang dilakukan. Sementara, buku dan kaset tentang pewayangan kini sudah semakin sulit didapatkan di pasaran. Untung saja beberapa media cetak masih secara rutin memuat pengetahuan dan cerita wayang, bahkan sering pula disajikan secara bergambar dan bersambung (episode).

Dengan demikian, seperangkat ancaman di abad ke-21 itulah yang perlu dihadapi
sehubungan dengan upaya pelestarian seni pewayangan. Yang dilakukan Ki Mantep Sudarsono, mungkin bisa disebut memodifikasi, memodernisasi, atau mengadaptasikan wayang sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa mengabaikan esensi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya? Jika hal itu hendak dilakukan, mungkin masih banyak menimbulkan pro dan kontra (polemik) di kalangan pecinta wayang. Betapa tidak, di satu sisi kita ingin mengenalkan wayang secara lebih mudah, namun di sisi lain harus memelihara keberadaannya secara utuh dan asli tanpa dikurangi atau ditambah (berdasarkan pakem).

“Kalau kreativitas yang saya lakukan dituduh menyalahi pakem, memangnya kenapa,” katanya saat masih hidup.

Di era globalisasi dan informasi yang sangat dinamis telah menimbulkan
kekhawatiran yang serius terhadap nasib perkembangan wayang pada masa mendatang. Banyak pecinta wayang yang pernah mengungkapkan kekhawatirannya sehubungan
dengan kelestarian wayang pada masa kini dan yang akan datang.

Dewasa ini tak bisa dipungkiri jika pesona seni modern yang serba gemerlap telah mampu mengurangi minat generasi muda kita untuk menggandrungi wayang. Bahkan, greget sense of belonging atau rumangsa handarbeni (rasa memiliki) wayang telah luntur di kalangan sebagian generasi muda kita. Ironisnya, warga manca negara dari Amerika, Eropa, dan daratan Asia yang lain telah begitu gandrung. Bahkan, tergila-gila untuk mempelajari wayang dengan segala seluk-beluknya.

“Merasa memiliki wayang saja, cukup untuk generasi sekarang. Setelah itu, barulah belajar filofosinya,”ujar Ki Mantep yang pernah mendapat penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto, pada suatu kesempatan.

Memang, wayang merupakan karya seni adiluhung (bernilai tinggi) yang tumbuh dan berkembang dari buah usaha olah cipta, rasa, dan budi manusia. Eksistensi wayang
disadari atau tidak telah mendapat tempat yang strategis di tengah konstelasi kebudayaan
nasional, bahkan internasional. Saratnya kandungan nilai-nilai universal tentang hidup dan kehidupan di dalamnya menyebabkan banyak yang sepakat jika keberadaan wayang yang merupakan salah satu titik puncak kesenian daerah telah mengejawantah (menjelma) menjadi bagian esensial kebudayaan nasional.

Alhamdulillah, wayang yang merupakan seni budaya Nusantara (Indonesia), kini telah diakui sebagai “Master Piece” Budaya Warisan Dunia. UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), lembaga yang membawahi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan di PBB, pada 7 November 2003 telah menetapkan wayang sebagai pertunjukan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Di samping itu, wayang sarat dengan ajaran-ajaran tentang kehidupan dunia, sehingga memberi peluang kepada manusia untuk melakukan pengkajian filosofis tentang makna hidupnya. Selanjutnya, wayang telah menjadi suatu peninggalan kehidupan masyarakat yang diadatkan dan disakralkan. Oleh sebab itu, sulit dihapus dan dipisahkan dari kehidupan masyarakat.

“Wayang itu tontonan untuk pendidikan moral. Saya tidak setuju wayang disebut sebagai tontonan untuk tuntunan. Kalau tuntunan itu agama, berupa dokrin apa-apa yang harus dilakukan. Apa-apa yang disajikan dalang, bukan paksaan untuk dilaksanakan. Sekali lagi, wayang itu ajaran moral,” kata Ki Mantep Sudarsono, belum lama ini.

Sebagai kesenian yang adiluhung (bernilai tinggi), wayang bukan sekadar kesenian biasa/lumrah. Di dalamnya memang terdapat perpaduan beberapa cabang seni: seni rupa, seni musik, seni tari, dan seni drama. Karena itu, semua aspek dalam seni juga termasuk di dalamnya: wirupa (rupa/wujud), wirama (irama musik dan lagu), wirasa
(rasa/perasaan), dan wiraga (gerak/peragaan/olah anggota tubuh). Tampaknya, Ki Mantep Sudarsono sudah sukses menampilkan kesemuanya itu.

Demikian pula menyajikan filosofi wayang yang merupakan gambaraning wong urip (suri teladan orang hidup) sekaligus falsafah hidup. Sebagaimana budaya dan kehidupan masyarakat Jawa, selalu mengetengahkan simbolisasi. Wayang juga menampilkan pasemon-pasemon (lambang-lambang) bagi manusia untuk belajar memahami makna hidup dan kehidupan. Dengan demikian para pecinta wayang memang harus tanggap ing sasmita (bisa menangkap tengara/tanda-tanda/sinyal) dan lebda ing panggraita (peka perasaan dan pikiran).

Bagi anggota masyarakat yang awam dengan wayang, mungkin hanya akan menikmatinya sebagai seni hiburan/tontonan. Sebab, yang mereka indera hanya yang
kasat mata (kelihatan). Tapi, bagi mereka yang sudah mendalami akan melihatnya juga dengan mata hati tentang apa-apa yang tidak tampak oleh penglihatan (metafisik).
Sehingga agak mirip dengan tamasya ke alam supranatural atau transendental. Juga,
termasuk fungsi wayang sebagai “tuntunan” (pelajaran).

Hal tersebut menyebabkan masyarakat Jawa sangat taat dengan segala macam aturan. Seakan-akan, mulai sangkan paraning dumadi (asal mula dan tujuan segala
sesuatu) sampai laku jantraning urip (nasib makhluk hidup) sudah tergambar dalam pewayangan. Jika unsur kebakuan itu dituruti, memang nampak adanya kesakralan dalam pergelarannya. Seperti penampilan ‘dalang setan’ Ki Mantep Sudarsono, wayang yang dimainkannya di pakeliran tampak seperti hidup dan dapat bergerak sendiri. Hal yang aneh tapi nyata dan terkadang tak masuk akal ini semakin menambah percaya masyarakat
untuk tidak menganggapnya sembarangan.

Sebagai bagian integral sistem budaya Jawa, ajaran-ajaran dan hakikat yang terkandung dalam wayang sering dijadikan panutan sekaligus cermin kehidupan (kaca
benggala). Bahkan, banyak anggota masyarakat yang mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh wayang tertentu dengan karakternya. Seperti Bima/Werkudara,
Semar/Badranaya, dan Arjuna/Janaka paling sering diagung-agungkan dan ditiru dalam
kehidupan sehari-hari, karena keistimewaan yang dimilikinya.

Tokoh Bima, Arjuna, dan kesatria lainnya melambangkan budi luhur utama yang selalu memberantas keangkaramurkaan dan memperjuangkan kebenaran. Di samping itu juga adanya tutur kata dan tingkah laku yang jujur, tegas, dan perwira. Tokoh Semar sebagai pengejawantahan Dewa Ismaya di marcapada (bumi), bertanggungjawab menjadi pamongnya para kesatria.

Semar di khayangan (istana dewa) berperan menjadi dewa, tapi di dunia fana menjadi rakyat jelata. Keistimewaan inilah yang sangat digandrungi masyarakat kita. Sebagaimana Ki Mantep yang merasa sangat dekat dengan tokoh Bima (Werkudara). ***

• Penulis adalah pecinta wayang dan pemerhati budaya.