Oleh: Dahlan Iskan
Berhentilah wahai virus!
Kian lama engkau beraksi kian banyak orang yang bicaranya ngalor-ngidul. Termasuk seorang presiden –misalnya Donald Trump.
Sampai-sampai banyak sekali meme di medsos –untuk mengejeknya. Untung di sana tidak ada bus-mudik sehingga meme itu tidak ada yang ditempel di kaca belakangnya.
Tapi merespons ‘ngalor-ngidul’ itu dengan meme memang terasa lebih cerdas. Daripada terlalu serius seperti yang dilakukan pabrik Lysol ini.
Produsen Lysol –cairan pembersih lantai– sampai bikin pengumuman besar-besaran: jangan sampai ada penderita Covid-19 yang meneguknya. Apalagi menjadikan Lyson sebagai cairan untuk diinjeksikan.
“Bacalah baik-baik aturan penggunaan Lyson seperti yang tertulis di kemasan,” begitu kurang lebih peringatan dari Lysol.
Mungkin Lysol memang benar-benar takut: Jangan-jangan banyak orang mengikuti apa yang diucapkan presiden mereka.
Ucapan presiden itu memang menggemparkan. Seperti menandakan ia sudah kehabisan akal. Amerika memang sudah menjadi juara dunia Covid-19: yang meninggal sudah lebih 50.000 orang. Yang terkena virus sudah 900.000 orang –minggu depan akan melewati satu juta.
Lysol memang pantas khawatir –meski bisa jadi dalam hatinya bersorak horeee: dapat iklan gratis –besar-besaran pula.
Terjadinya heboh ini di Gedung Putih. Diucapkan oleh seorang presiden negara adi kuasa. Forumnya juga bukan main-main –briefing harian tentang perkembangan Covid-19 di negara itu.
Trump memang baru saja mendapat laporan dari Homeland Security: bahwa disinfektan itu bisa membunuh virus hanya dalam hitungan menit.
Trump pun punya ide baru: bagaimana kalau disinfektan disuntikkan ke tubuh penderita covid-19.
“Saya bukan dokter, tapi ini menarik,” begitu kurang lebih yang dikatakannya.
Masih ada yang lain.
Ketika ia mendengar bahwa sengatan panas dan cahaya ultraviolet juga bisa membunuh virus, Trump punya ide lain lagi: bagaimana ilmuwan bisa memasukkan sinar yang kuat ke dalam badan. Misalnya lewat kulit.
Presiden juga mengemukakan adanya rumor bahwa sengatan panas matahari bisa membunuh virus. Maka ia berharap masyarakat bisa lebih menikmati sinar mentari yang mulai hangat di bulan April ini.
Amerika pun gempar.
Sebenarnya ide Trump itu kalah dengan ide orang Indonesia.
Ide memanfaatkan disinfektan itu sudah muncul di Indonesia bulan lalu. Dengan rumusan yang berbeda.
Saya begitu sering menerima WA dari pemilik ide itu. Jauh sebelum Trump memikirkannya. Saya terus diajak untuk melaksanakan idenya itu. Sebagai persembahan anak bangsa ke negara tercinta.
Nama orang itu: Kan Eddy. Ia pengusaha properti. Ia terus mengajak saya untuk berjuang di jalur disinfektan ini.
Yakni perlunya orang menenggak disinfektan.
“Apakah ada disinfektan yang food grade? Yang sudah dijual di supermarket?” tanya saya.
Dan banyak pertanyaan lain yang sejenis itu.
Saya pun tidak terlalu antusias. Tapi saya berusaha ukur waktu. Siapa tahu ia benar. Saya sampaikan padanya bahwa saya akan menanyakannya dulu ke ahli virus.
Tapi sampai sekarang saya belum berani menghubungi ahli virus yang saya kenal. Takut di-bully.
Waktu meledak berita Trump merekomendasikan suntik disinfektan kemarin, ia kirim WA lagi ke saya: iya kan, Presiden Trump saja akan menggunakan disinfektan.
Saya sedang menulis naskah ini ketika WA itu masuk ke ponsel saya. Tapi tidak cukup kuat untuk membuat saya menghentikan naskah DI’s Way ini.
Saya tetap salut padanya. Yang terus memikirkan jalan keluar terbaik. Juga pada kegigihannya memperjuangkan ide.
Saya juga salut sekali kepada Trump. Begitu banyak idenya –meski semua dianggap konyol.
Kini tinggal satu yang saya khawatirkan: jangan-jangan Trump segera memutuskan perang. Hanya tinggal itu jalan yang tersisa. Untuk bisa menang November nanti.
Menyerang siapa?
Bisa melawan Tiongkok, Iran, atau kalau mau agak kecil-kecilan: Korea Utara.
Tidak ada lagi jalan lain untuk meningkatkan popularitasnya. Padahal pilpres sudah kian dekat. Covid hanya memusingkannya –dan menurunkan popularitasnya.
Saya sarankan agar Tiongkok tidak menganggap enteng jalan perang Trump itu. Demikian juga Iran dan Korsel.
Trump pernah mengandalkan obat yang baru ia ketahui kemujarabannya. Sampai-sampai obat itu ia beri gelar si “Game Changer”: hydrochloroquine dan remdesivir.
Fox News TV tidak henti-hentinya mengulas kehebatannya. Para ahli kesehatan juga tidak tega menentang terang-terangan –hanya lebih banyak bisik-bisik: itu obat malaria.
Tapi, kini, harapan Trump pada si Game Changer sudah pupus. Kian lama bisik-bisik itu kian berisik. Lalu jadi teriakan lantang: obat itu sama sekali tidak cocok untuk Covid-19.
Dan Fox News tidak pernah memberitakannya lagi.
Lalu Trump mencoba menyalah-nyalahkan Tiongkok. Semacam cari kambing hitam –yang kebetulan memang hitam. Tapi Tiongkok melawan.
Ganti Trump menyalah-nyalahkan WHO –dan menghentikan iuran Amerika ke lembaga itu. Yang nilainya Rp 7 triliun setahun.
Tidak pula bisa menyelamatkan nama Trump.
Lalu ketemulah cairan disinfektan, terik matahari, sinar ultraviolet dan cairan pemutih yang disebut bleaching.
Trump memang tidak langsung menginstruksikan jalan baru itu. Tapi juga tidak mau mengabaikannya –karena rumor tentang itu sangat luas dibicarakan di masyarakat.
Bahwa isu ini akan negatif bagi Trump bisa dilihat dari reaksi wartawan –yang sebenarnya sudah mulai bosan dengan brifieng harian itu. Yang mereka nilai hanya jadi panggung Trump untuk kampanye pilpres.
Wartawan The Washington Post pun bertanya dengan nada menyerang: kami wartawan hadir di sini untuk mendapat informasi penting, bukan untuk mendengarkan rumor…
Trump bergegas memotong pertanyaan itu. Ia menunjukkan keterampilan tingginya di bidang serang-menyerang: Saya ini Presiden, Anda itu pembuat pemberita palsu.
Ya sudahlah.
Trump memang jago di situ.
Tapi jurus-baru-suntik-disinfektan itu hampir pasti justru membuatnya kian terlihat ‘ia bukan pemimpin di kala krisis’.
Saya benar-benar khawatir Trump akhirnya tinggal menemukan jalan perang itu –untuk bisa menang.
Apalagi kalau pilpresnya tidak bisa meniru pilkada di Indonesia: ditunda.(*)