USUT (tidak) TUNTAS

608 dibaca

▪︎Catatan Zulham Akhmad Mubarrok
(Ketua KNPI Kab Malang)

MALANG punya sejarah panjang tentang perlawanan pemuda. Bukalah buku sejarah maka akan lugas terbaca bahwa arek-arek Malang punya tradisi heroik dan pantang mundur dalam hal membela kebenaran.

Simak pertempuran tak seimbang para pemuda Malang versus pasukan militer Belanda yang dilengkapi Tank Amtrac pada 31 Juli 1947.

Berbekal senjata seadanya, arek-arek Malang yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) mampu bertempur selama 5 jam nonstop. Di ujung pertempuran, 35 nyawa gugur.

Para pejuang remaja itu dimakamkan dalam satu lubang yang dulu hanya ditandai oleh pohon Pisang. Sebagai pengingat pertempuran heroik tersebut Presiden Soekarno mendirikan monumen perjuangan TRIP yang berlokasi di seputaran Jl Ijen, Kota Malang.

Jika TRIP beranggotakan pelajar SMP dan SMA di masa perjuangan, lain lagi dengan Tentara Genie Pelajar (TGP). Mereka adalah gabungan pelajar sekolah SMK atau kejuruan. TGP berperan penting di periode tahun 1947 hingga 1949 saat Belanda ingin kembali memasuki wilayah Malang.

Sesuai dengan keahlian dari pelajar TGP, mereka membuat perangkap, mortir hingga bom untuk menahan tentara Belanda agar tak masuk ke wilayah Malang. TGP Bertempur dengan gagah berani di medan tempur Malang Selatan, Bululawang, Kendalpayak, Wagir, Batu hingga Pujon.

Untuk menandai perjuangan mereka, monumen TGP dibangun pada 1960-1970an di depan SMK Bina Cendika Bangsa. Pada monumen tersebut, terdapat ukiran nama-nama pelajar yang tergabung dalam TGP yang gugur saat membela tanah air.

TRIP dan TGP adalah lipatan sejarah yang melanjutkan kisah heroik panjang di Bumi Arema. Pada era sebelumnya, Malang telah menjadi garis depan gerakan perlawanan pemuda seperti laskar Mujahidin (Hizbullah) yang bermarkas di poros Masjid Sabilillah, Blimbing dan Masjid Hizbullah di Singosari.

Tradisi perlawanan pemuda berakar kuat pada historis Malang. Dalam sejarah Nusantara, hanya di Malang, seorang pemuda dari kalangan rakyat jelata bernama Ken Anggrok (Ken Arok) mampu menaklukkan penguasa dan mendirikan sebuah kerajaan.

Dibawah pemerintahan Ken Arok, Kerajaan Tumapel (Singosari) kemudian menjadi kerajaan terkuat di Nusantara yang melahirkan anak turun raja-raja penguasa tanah Jawa pada masa itu.

Tradisi perlawanan pemuda di Malang memiliki energinya sendiri. Energi yang selama ini terpendam dalam ruang dan waktu yang makin renta ditelan peradaban. Tapi semesta selalu punya cara untuk melahirkan lagi api perlawanan yang hampir redup ditelan zaman.

Pada malam nahas 1 Oktober 2022, Malang digores luka mendalam. 135 nyawa direnggut paksa dalam insiden kemanusiaan di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen. Akibat kelalaian dan ketidakmampuan mereka yang seharusnya terlatih dan bermental disiplin, pengamanan berubah menjadi tragedi. Kematian 135 pemuda memupuk Bumi Arema dengan darah dan airmata. Sejarah perlawanan tersulut.

Yang terjadi berikutnya semakin ironis. Perpecahan diantara sesama pemuda disulut untuk meredam sikap perlawanan. Beragam kepentingan saling tumpang tindih dalam ruang kebenaran yang makin sempit.

Yang mencari keadilan kemudian menjadi terdakwa dan terhukum. Yang melawan atas nama sikap kritis diamputasi dan dibungkam.

Rentetan kekecewaan demi kekecewaan para pencari keadilan tak kunjung paripurna.

Berbagai jalan yang sepantasnya ditempuh sudah terlaksana secara estafet. Hingga hampir setahun berlalu tanpa kepastian dan keadilan.

Sebuah tanda tanya besar menganga dalam benak jutaan pemuda Malang saat ini. Apakah Malang akan bernasib malang?

Apakah kita akan membiarkan perilaku tidak adil ini terus terjadi? Sampai kapan nalar para pemimpin kita tertutup kabut kepentingan hingga membutakan fakta tentang keadilan yang terang benderang ini?

Kawan, jangan berhenti berbincang tentang kematian 135 saudara kita sedarah seperjuangan di Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.

Perbincangkan ketidakadilan ini di warung-warung kopi, di kampung-kampung, di sudut-sudut pasar. Diskusikan kegelisahan ini di meja makan keluarga dan di kamar tidur yang temaram.

Nyalakan api perlawanan dengan menularkan keresahan tentang tragedi Kanjuruhan dari satu telinga ke telinga yang lain.

Biarkan gemanya terus terdengar hingga pekak telinga mereka yang harusnya bertanggungjawab terhadap luka yang ditorehkan pada sejarah Bumi Arema.

Usut (tidak) tuntas di masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo akan selamanya tercatat dalam sejarah dunia dan diwariskan melintas ruang dan waktu.***

▪︎Akhir-akhir ini, di Tanah Airku, yang terang menjadi gelap, yang hitam semakin legam dan pekat…

Malang, Rabu Pon, 30 Agustus 2023