Nasib Badak Jawa Ujung Kulon Kini di Ujung Tanduk

217 dibaca

▪︎POSMONEWS.COM,-
POPULASI badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, berada dalam masalah konservasi. Hal itu dipaparkan oleh lembaga konservasi Auriga Nusantara dengan adanya kematian dan individu yang tidak terekam kamera pendeteksi.

Dalam laporannya, 18 individu badak Jawa tidak terekam kamera pada 2021. Rupanya, tiga di antaranya mati di tahun 2020—2021. Dari kematian itu, dua di antaranya adalah betina. Kondisi ini dikhawatirkan membuat populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon berada dalam ancaman.

“Atau informasi yang kita dapatkan Agustus 2022, ke-15 individu ini belum terekam kembali,” kata Riszki Is Hardianto, peneliti Auriga Nusantara, dalam konferensi pers daring, Selasa 11 April 2023.

“Hal ini makin diperparah dengan tujuh dari 15 badak yang tidak terekam tersebut adalah betina. Jadi seperti yang kita ketahui perbandingan sex ratio jantan dan betina, itu perbandingannya agak enggak ideal, 1:1. Dengan kehilangan tujuh individu ini tentunya akan menjadi kehilangan yang sangat besar untuk kestabilan populasi di Ujung Kulon,” lanjutnya.

Dikutip dari situs resmi Nationalgeographic.co.id bahwa sekitar ada 15 badak yang masih hidup tidak muncul dalam rekaman pemantauan, Riszki berpendapat bahwa masih ada kemungkinan mereka masih hidup. Pasalnya, beberapa mitra yang terlibat dalam pemantauan, tidak menemukan bukti kematian atau tulang belulang badak jawa di lapangan.

Pihak Auriga Nusantara berpendapat, hilangnya 15 badak jawa karena adanya aktivitas perburuan. Hal itu dibuktikan pada tengkorak badak jawa yang mati tahun 2018, memiliki lubang. Kamera pantauan juga pernah mendapati badak jawa dengan dua lubang di tubuhnya. Auriga Nusantara menduganya sebagai bekas tembakan peluru.

Selain itu, laporan Auriga lainnya, ada banyak bukti rekaman kamera yang menunjukkan adanya pihak bersenjata api masuk TNUK secara ilegal. Aktivitasnya mulai menyebar di berbagai kawasan Ujung Kulon.

Informasi ini dikonfirmasi oleh berbagai pihak yang terlibat dalam konservasi badak jawa, mulai dari pegiat konservasi hingga warga sekitar taman nasional.

“Habitat badak di Ujung Kulon penuh dengan aktivitas ilegal, termasuk orang-orang dengan bersenjata api,” kata Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung.

Menyusutnya populasi badak jawa
Pada Desember 2022, kabar udara segar datang dengan kelahiran badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Meski demikian, bukan berarti ancaman penyusutan populasi terhenti.

Ancaman perburuan membuat persebaran badak jawa berubah. Riszki menunjukkan peta kantong, atau titik kumpul badak jawa di TNUK yang tidak seluas dulu. Pada tahun 2013, kantong badak jawa berada di beberapa titik di utara, selatan, dan timur laut taman nasional. Namun, di tahun 2018—2020, selatan taman nasional mulai tidak ada aktivitas.

Penurunan populasi juga ditambah dengan tren kematian badak jawa dari tahun 2012 sampai 2021. “Setidaknya ada 11 individu badak jawa yang ditemukan mati, dan banyak kematian betina dan anakan,” kata Riszki.

“Itu juga semestinya menjadi sinyal bahaya bagi populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, karena tentunya betina dan anakan itu adalah yang menjadi andalan untuk memperbanyak individu-individu baru yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon.”

Sebagian dari kematian badak jawa sepanjang 2012—2021 tidak dilaporkan secara publik, Riszki menjelaskan. Dia mendapati, empat kematian badak di tahun 2015, 2020, dan 2021, ternyata informasinya tidak ada sama sekali, baik secara publik, maupun oleh publikasi KLHK.

“Ujung Kulon, atau paling tidak dalam beberapa tahun terakhir ternyata sedang salah arah,” kata Timer.

Pengelolaan TNUK punya banyak masalah, terutama dalam fokus konservasi badak jawa. Masalah yang disorot Timer adalah anggaran yang salah arah. Pada akhirnya, kegiatan teknis untuk konservasi membuat TNUK harus bergantung pada NGO atau donor.

“Jadi, anggaran negara sebenarnya sedang menguap, karena dipakai untuk hal-hal yang bukan prioritas konservasi badak ini,” lanjutnya.

Kemudian pada sistem kerja, para staf di TNUK mendapati ketidakjelasan jenjang karier. Pemahaman konservasi juga minim, karena tidak adanya penempatan bagi para staf yang jelas, dan para pakar yang semestinya dapat bekerja sebagai bagian taman nasional.

“Ini yang membuat kemudian sering ketegangan karena Ujung Kulon punya kewenangan, tetapi tidak punya pengetahuan, sehingga kemudian seringkali merasa terganggu—risih ketika mitra-mitranya kemudian menampilkan data yang tidak disenanginya,” tutur Timer.▪︎(DANAR)