KEBERAGAMAAN KOSMOPOLIT DAN KULTURAL

208 dibaca

▪︎Review Pemikiran Denny JA soal Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Kita Bersama

▪︎Oleh: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat

MESKIPUN tebal halaman relatif tipis, buku ini menyajikan analisa dan uraian masalah yang sangat fundamental dan laten (perennial issues) dalam kehidupan manusia. Yaitu sebuah fase baru ketika agama bergulat dengan dunia ultra-modern yang jauh lebih kompleks dibanding masa-masa awal agama-agama ketika agama-agama itu muncul dalam sejarah.

Secara hermeneutik, buku ini disusun melalui dua tahap penafsiran. Pertama, Saudara Denny membaca, meneliti dan kemudian membuat konstruksi penafsiran atas fenomena agama-agama dalam masyarakat modern yang saling terkoneksi (interconnected) sehingga sebuah agama senantiasa hadir bersentuhan dan berdialog dengan agama-agama yang lain.

Kedua, hasil kontruksi penafsiran Denny lalu dikaji dan ditafsirkan ulang oleh Saudara Ahmad Gaus yang kemudian disajikan dalam buku ini.

Jika diteruskan lagi, maka muncul penafsir ketiga, yaitu para pembaca, termasuk saya, atas pemikiran Gaus terhadap pemikiran Denny.

Demikianlah, tanpa disadari di era digital ini kita hidup dalam jejaring penafsiran (the web of interpretation).
Agama apapun setelah muncul dalam pelataran sosial dan sejarah maka mesti terbuka untuk dinilai, ditafsirkan, diyakini, dipeluk atau pun ditolak oleh siapapun dengan alasan dan cara yang berbeda-beda.

Dengan ungkapan lain, semua agama mesti siap untuk diuji dan diajak berdialog oleh manusia, baik yang pro maupun yang kontra, mengingat keberadaan manusia lebih dahulu dibanding agama.

Ketika masyarakat semakin maju pendidikannya, pertanyaan yang diajukan terhadap agama pun semakin kritis, cerdas dan kadang radikal. Berkat ilmu pengetahuan penalaran masyarakat semakin kritis, sistematis, rasional, empiris, dan progresif.

Sekalipun agama diyakini datang dari Tuhan, namun karena manusia adalah subjek yang beragama dan manusia memiliki kebebasan berpikir untuk menerima atau menolak, tidak mengherankan jika dalam sejarahnya banyak agama yang telah hilang karena dianggap tidak lagi memenuhi kebutuhan manusia.

Beberapa agama masih bertahan. Di antara yang masih bertahan adalah Kristen yang dipeluk oleh 2,38 milyar, Islam 1,91 milyar, Hindu 1,16 milyar, Buddha 507 juta, Yahudi 14,6 juta manusia, dan beberapa agama lokal lain.

Ramalan bahwa agama akan punah atau terpinggirkan dalam masyarakat modern yang serba rasional, ternyata meleset. Yang terjadi adalah reinterpretasi ulang teradap bangunan epistemologi dan tradisi keagamaan yang ada.

Lebih dari itu, yang terjadi adalah proses desekularisasi dan demitologisasi agama secara radikal akibat kemajuan ilmu pengetahuan yang bersifat empiris-positif.

Namun begitu, fenomena festival keagamaan tidak hilang karena telah menyatu dan bersenyawa dengan budaya.

Denny JA Yang Kukenal

Denny terlahir 4 Januari 1963. Beda sepuluh tahun lebih muda dibanding diri saya.

Namun prestasi intelektualnya jauh melampaui saya. Dia dikenal sebagai kolumnis yang sangat produktif, tulisannya tersebar di berbagai surat kabar Indonesia.

Sebelum melanjutkan studi ilmu sosial di Amerika Serikat program Master dan Doktor, Denny menyelesaikan studi Hukum di Universitas Indonesia. Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga muslim.

Pemikiran Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, dan Dawam Rahardjo saya kira banyak memengaruhi wawasan keislamannya karena sejak muda Denny akrab dengan lingkaran diskusi yang diselenggarakan oleh ketiga intelektual itu.

Bakat intelektual dan pemikiran kritisnya semakin terpupuk setelah dia meneruskan studi ke Amerika Serikat, menempuh program Master di bidang Public Administration di Pittsburg University (1994) dan program doktor di bidang politik di Ohio State University (2001).

Bagi Denny, masyarakat AS yang plural dan terbuka yang selalu memperjuangkan demokrasi serta sangat vokal membela hak-hak asasi manusia merupakan laboratorium sosial-kemanusiaan yang besar dan dinamis.

Ini yang membuat Denny terlatih untuk berpikir global dan menggunakan helikopter view dalam menatap lanskap kemanusiaan, termasuk aspek agama dan budaya.

Meskipun Denny menggeluti bidang bisnis dan terlibat dalam percaturan politik praktis, namun dia tetap menjaga citra dirinya sebagai seorang ilmuwan politik yang diaktualisasikan sebagai konsultan politik yang andal dengan mendirikan LSI (Lingkaran Survei Indonesia).

Namun begitu, dunia politik rupanya tak cukup untuk mewadahi bakat dan perhatiannya dalam aspek seni dan religiositas sehingga belakangan Denny sangat intens mendalami bidang sastra, seni lukis, dan tasawuf.

Sangat mengesankan, apapun yang dia pilih dan minati dia lakukan dengan sungguh-sungguh sehingga capaian dan hasilnya bisa dilihat dan dinikmati oleh orang lain dan membuatnya dikenal sebagai sosok multitalenta.

Di atas semua itu, Denny tetaplah dikenal sebagai penulis yang produktif sehingga pemikirannya mudah diikuti dan dikritisi secara terbuka.

Baginya kritik itu bagaikan pupuk atau amunisi agar pemikiran senantiasa tumbuh segar dan menyajikan kebaruan.

Agama Sebagai Realitas Kultural

Dalam perjalanan intelektual dan spiritualnya, sebagai seorang ilmuwan dan peneliti Denny mengkaji agama secara empiris-induktif, berangkat dari pengalaman real manusia berdasarkan data empiris-kuantitatif.

Mengingat subjek yang beragama adalah manusia, maka keyakinan dan pengalaman beragama serta implikasinya bisa diteliti sepanjang masih dalam lanskap kemanusiaan.

Kalaupun agama berbicara aspek metafisik yang tidak terjangkau kajian ilmiah empiris, misalnya saja surga-neraka, tetapi subjek yang mempercayai dan menerima doktrin agama tersebut tetaplah manusia, sehingga semuanya bisa didialogkan dan dikaji menurut perspektif kemanusiaan.

Jadi, fokus Denny adalah manusia yang beragama, bukannya manusia untuk agama. Ketika manusia sebagai individu yang beragama melebur dan membentuk jejaring sosial maka muncullah masyarakat beragama.

Berangkat dari “aku”, lalu muncul “kami” dan “kita” yang pada urutannya melahirkan masyarakat global. Dalam universalitas dan globalitas itu dapat dibedakan ke dalam kelompok-kelompok etnis, suku, dan bangsa yang masing-masing memiliki bahasa dan agama yang beraneka ragam.

Keragaman ini merupakan desain Tuhan dan merupakan realitas sosial-historis yang tak terbantahkan dan tidak mungkin dilebur untuk diseragamkan.

Terhadap keragaman budaya dan agama yang pernah dan masih potensial menjadi sumber konflik, Denny mengajak untuk melihatnya sebagai kekayaan peradaban manusia yang mestinya diterima, dihargai, dan dirayakan karena setiap individu manusia memiliki hak asasi untuk memilih dan meyakini agama sesuai pilihannya.

Dalam segala keunikan dan keragaman yang muncul, agama memiliki beberapa kesamaan yang fundamental.

Pertama, kepercayaan pada Tuhan sebagai Pencipta dan Penguasa mutlak atas semesta ini.

Kedua, kepercayaan terhadap kelanjutan dan keabadian hidup setelah kematian.

Ketiga, menghargai sesama manusia sebagai saudara sesama ciptaan dan kekasih Tuhan.

Konsekuensi dan implikasi dari ketiga doktrin di atas maka secara vertikal agama memiliki ajaran ritual penyembahan pada Tuhan untuk meraih keselamatan hidup setelah kematian.

Kedua, secara horizontal, agama memiliki ajaran moral terhadap manusia dan lingkungannya yang senantiasa didasari sebagai wujud pengabdian pada Tuhan.

Dengan demikian, pengabdian, rasa cinta dan ekspresi syukur pada Tuhan dimanifestasikan berupa kecintaan dan kebaikan dengan sesama manusia sebagai hamba dan kekasih Tuhan.

Pada titik inilah kadang terjadi persimpangan jalan. Ada orang yang menekankan ritual-vertikal namun melupakan agenda kemanusiaan untuk membangun kehidupan bersama di muka bumi.

Di sisi lain, ada yang sangat peduli pada kemanusiaan namun melupakan atau bahkan tidak memberi tempat pada kesadaran ketuhanan dan penyiapan diri untuk meneruskan kehidupan di balik kematian.

Bagi para pembaca, mungkin buku Denny mengesankan lebih menonjolkan ekspresi dan realitas kultural dari keberagamaan masyarakat modern.

Sekian banyak ragam tradisi dan simbol-simbol keagamaan dipotret sebagai khazanah peradaban masyarakat dalam skala global sehingga sekat-sekat yang ada mestinya jangan membatasi keakraban antar pemeluk agama, namun sekadar sebagai pembeda atau identitas diri dan kelompok karena kita tidak mungkin menyeragamkan ekspresi budaya layaknya dalam sebuah festival kolosal.

Kesan ini tidak salah karena Denny mengenalkan metode survei ilmiah kuantitatif-empiris dalam perilaku dan ekspresi keberagamaan.

Namun ada aspek lain dari keberagamaan Denny yang bersifat kualitatif, metafisis, dan estetik karena dia secara intens juga mendekati agama lewat seni dan mystical philosophy.

Seni dan Tasawuf

Dalam dunia tasawuf ada pandangan bahwa momen kedekatan pada Tuhan paling intens dan syahdu tidak bisa diungkapkan dalam bahasa diskursif, melainkan diekspresikan dalam bahasa diam (language of silence) dan dalam bahasa seni.

Misalnya, bahasa tubuh (body language) ketika seseorang bersujud secara khusyuk merupakan ekspresi yang estetis dan intens yang sulit dideskripsikan dengan bahasa verbal.

Oleh karenanya agama dan seni selalu tumbuh berbarengan. Baik puisi maupun karya arsitekur yang indah selalu dimotivasi oleh penghayatan iman dan rasa cinta yang dalam.

Kita bisa melihat karya-karya arsitektur monumen keagamaan yang sangat indah yang muncul dan dibangun karena dorongan rasa cinta dan pujian pada Tuhan.

Saat ini wacana keislaman lebih didominasi oleh logika dan bahasa fikih. Sementara Denny—di samping menggunakan pendekatan ilmiah-kuantitaif–mendekati agama juga melalui jalan seni dan mystical philosophy.

Dia mengkaji pemikiran Iqbal, Ibn Araby, Rumi dan sekian tokoh filsafat dan mistikus muslim lain. Hal ini mengisyaratkan apresiasi dan pendekatan Denny terhadap ajaran agama juga melalui jalan tasawuf, filsafat dan seni.

Mungkin ini juga menjelaskan mengapa Denny bersikap inklusif dalam beragama karena pendekaan tasawuf, filsafat, serta seni memang lebih terbuka dan menghargai keunikan penghayatan iman masing-masing pribadi.

Setiap pribadi memiliki pengalaman dan penghayatan iman yang bersifat esoterik dan bersifat sangat pribadi. Dengan kata lain, pintu gerbang terakhir mendekati Allah adalah hati (qalbu) masing-masing orang yang beriman.

Demikianlah, memahami pemikiran Denny dan siapa pun yang lain perihal wawasan dan penghayatan imannya sesungguhnya tidak mudah.

Pertama, wawasan dan penghayatan iman seseorang itu tidak statis berhenti di tempat. Kedua, uraian diskursif-teoritis tentang fenomena dan realitas sosial keagamaan tidak serta merta identik menggambarkan keyakinan dan penghayatan iman seseorang.

Buku tentang pemikiran Denny ini telah membuka wawasan kita mengenai potret dan lanskap keberagamaan masyarakat modern dengan disertai pertanyaan sangat kritis, bahkan radikal.

Mengapa masyarakat yang begitu antusias membela praktek ritual dan simbol-simbol agama kehidupan sosialnya tidak lebih makmur dan lebih sejahtera dibanding masyarakat modern-sekuler yang tingkat ilmu dan ekonominya lebih maju dan mapan?

Mengapa masyarakat sekuler lebih peduli menjaga lingkungan hidup yang sehat dibanding umat beragama yang militan? Seperti apa kehidupan beragama di masa depan?

Pertanyaan ini mungkin akan dipandang sebagai pertanyaan subversif oleh umat beragama di Indonesia. Namun akan lebih bijak jika pertanyaan yang bernada gugatan itu diposisikan sebagai representasi pertanyaan zaman terhadap eksistensi dan fungsi agama agar umat beragama melakukan refleksi dan kritik diri apakah yang salah dalam memahami dan mempratekkan agamanya.

Secara pribadi saya ucapkan terima kasih pada Saudara Denny dan Gaus yang telah mengajak kita semua berpikir ulang bagaimana melihat dan mengapresiasi agama dalam dunia yang semakin kompleks, ketika penduduk bumi sudah kendekati delapan milyar.

Ketika posisi sains semakin kokoh karena secara fungsional mampu memenuhi kebutuhan dan pertanyaan masyarakat secara langsung dan empiris.[]

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Pabelan, Magelang. Tamat dari Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, melanjutkan prodi S2 dan S3 di Middle East Technical University (METU), Jurusan Filsafat.

Pernah menjabat Rektor UIN Jakarta (2006-2010-2015). Saat ini menjabat Rektor  pertama UIII (Universitas Islam Internasional Indonesia), 2019-2024.

-000-

Pemikiran Denny JA soal agama yang dibahas oleh Prof. Dr. Komaruddin Hidayat ada dalam karya Ahmad Gaus AF: Era Ketika Agama Menjadi Kekayaan Kultural, Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google.

Buku itu dapat dibaca dengan klik ini:

https://www.facebook.com/groups/970024043185698/permalink/2174605606060863/?mibextid=S66gvF