Pembantaian Terburuk dalam Sejarah Kuno

669 dibaca

▪︎POSMONEWS.COM,-
KEKERASAN, pembunuhan sadis serta kekejaman menjadi corak pada zaman kuno. Pada zaman kuno dipenuhi dengan pertumpahan darah dan peperangan tiada henti.

“Pembantaian massal praktis menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari kala itu,” tulis Robbie Mitchell di laman Ancient Origins.

Jumlah korban perang dan pemberontakan di zaman kuno cukup mengejutkan, terutama jika kita mengetahui alasan di balik perang dan pembantaian itu.

Berikut kisah tujuh pembantaian terburuk terjadi dalam sejarah kuno dikutip dari Nationalgeographic.co.id.

▪︎Pembasmian Orang 0Jie

Dalam pembasmian orang-orang Jie dan Wu Hu di Tiongkok Kuno
abad keempat Masehi, perang pecah ketika orang-orang Jie dan Wu Hu memberontak melawan pemerintahan Jenderal Ran Min.

Perang tidak berjalan dengan baik untuk Jie atau Wu Hu. Dan sang jenderal memastikan para pemberontak itu mendapatkan hukuman yang pantas.

Saat memenangkan pertempuran Xiangguo, Ran Min memerintahkan agar semua orang Jie dimusnahkan. Karena berusaha membantu Jie, Wu Hu pun mengalami nasib serupa. Ran Min menyatakan bahwa semua orang-orang Jie dan Wu Hu harus dibunuh tanpa pandang bulu. Tidak peduli mereka laki-laki, perempuan, muda, atau tua.

Pasukan Ran Min menyapu tanah Jie dan Wu Hu, mereka melaksanakan perintah mengerikan Ran Min. Peternakan, desa, dan seluruh kota digerebek dan dibunuh. Pengungsi Wu Hu dan Jie melarikan diri ke kota-kota besar, berharap bersembunyi di keramaian. Warga yang setia kepada Ran Min senang memburu para pengungsi itu dan membunuhnya.

Pada akhirnya, banyak dari orang Wu Hu melarikan diri ke Mongolia dan pelosok jauh Asia di mana mereka aman. Namun, perkiraan menyebutkan korban tewas Wu Hu sekitar 100.000. orang-orang Jie bernasib lebih buruk. Mereka menghadapi genosida.

Selama perang dan pembantaian berikutnya, setidaknya 200.000 Jie dibantai. Mayat dikumpulkan dan dibuang di kuburan massal.

Ran Min sangat gembira. Dia menyatakan pemusnahan total orang-orang Jie. Beberapa sumber menyebutkan jika orang-orang Jie mungkin berhasil selamat dari genosida. Selamat atau tidak, ini adalah salah satu pembantaian terburuk dalam sejarah.

Pembantaian Zoroaster di Istakhr oleh penguasa Muslim Arab
Istakhr adalah kota Persia kuno yang berkembang selama Kekaisaran Persia Achaemenid 550-330 Sebelum Masehi.

Kota ini berada di ujung jalan karavan yang terhubung ke kota Persepolis dan Lembah Indus yang kaya. Berkat posisinya yang strategis, Istakhr berkembang pesat menjadi pusat perdagangan.

Pada 649 Masehi, Muslim Arab menyerbu dan menguasai kota. Penguasa baru kota membawa aturan baru yang ketat. Ini termasuk pengekangan terhadap Zoroastrianisme, agama lokal yang damai. Selama dua tahun, penduduk kota menderita di bawah kekuasaan dan penganiayaan Arab.

“Tidak tahan menderita, mereka memberontak,” tambah Mitchell. Pemberontakan Persia ini tidak berjalan sesuai rencana.

Orang-orang Arab dengan cepat dan brutal menghentikan pemberontakan. Kemudian, lebih banyak pemukim muslim dibawa ke kota untuk menggantikan penduduk asli Persia. Orang Persia dibantai.

Karena berani memberontak, lebih dari 150.000 warga sipil Persia ditangkap dan dieksekusi. Padahal, sebagian besar warga yang dieksekusi itu tidak ikut serta dalam pemberontakan.

Pembantaian massal selama perang Yahudi-Romawi ketiga
bukan rahasia lagi bahwa orang Yahudi dan Romawi tidak akur. Namun, efek merugikan dari ketidakcocokan itu sering dilupakan kini.

Perang Yahudi-Romawi ketiga berpusat pada pemberontakan Yahudi di Yudea antara tahun 132-136 Masehi. Orang-orang Yahudi dipimpin oleh Simon Bar-Kokhba. Ia memproklamirkan dirinya sebagai Pangeran Yudea dan para pengikutnya percaya bahwa dia adalah seorang mesias.

Kekesalan pada Romawi menimbulkan pemberontakan. Salah satu yang terkenal adalah perang Yahudi-Romawi Kedua yang dipimpin Bar Kokhba. Bar Kokhba, pemberontak Yahudi yang gigih melawan serangan Romawi, terus dikenang hingga kini. (Arthur Szyk).

Simon memanfaatkan ini untuk memberdayakan para pengikutnya. Pada awalnya, itu berhasil, dan orang-orang Yahudi bertempur dengan baik di awal perang. Bangsa Romawi menghadapi banyak kekalahan militer daripada biasanya.

“Orang-orang Yahudi membantai setiap pasukan Romawi yang berhasil mereka tangkap,” Mitchell berujar.

Mendengar soal pembantaian tentaranya, Kaisar Hadrian mengirim bala bantuan yang kuat ke wilayah tersebut. Kedatangan mereka pada tahun 134 Masehi menjadi titik balik perang. Yang terjadi selanjutnya adalah pembantaian orang Yahudi oleh pasukan Romawi. Seluruh kota besar dan kecil terhapus dari muka planet ini.

Diperkirakan pada awal perang, sekitar 100.000 tentara Romawi menjadi korban. Tetapi beberapa sumber menyebutkan jumlahnya hampir dua kali lipat.

Orang-orang Yahudi pada akhirnya bernasib jauh lebih buruk. Diperkirakan sekitar 580.000 orang Yahudi terbunuh selama perang. Setidaknya 400.000 dari kematian ini terjadi selama pertempuran atau dari eksekusi sebagai tawanan perang. 180.000 sisanya adalah warga sipil tak berdosa.

Namun, ini bukanlah masalah menentukan siapa yang benar atau salah. Banyak warga sipil yang terbunuh tewas di tangan para pengikut Bar-Kokhba. Orang Yahudi yang menolak ambil bagian dalam pemberontakan disiksa dan dieksekusi. Warga sipil Yunani dan Romawi juga dianiaya dan dibantai oleh para pengikut Bar-Kokhba selama perang. Perang Yahudi-Romawi ketiga memakan korban dalam jumlah besar bagi kedua belah pihak.

Pembantaian Tesalonika, berawal dari sodomi yang menyebabkan pertumpahan darah
Ada kesalahpahaman umum bahwa orang Yunani dan Romawi kuno baik-baik saja dengan homoseksualitas.

“Ini tidak akurat,” ungkap Mitchell. Ada aturan sosial yang ketat tentang sodomi dan konsekuensi mengerikan bagi mereka yang melanggarnya.

Pada tahun 390 Masehi, hakim Illyricum, sebuah wilayah termasuk Tesalonika, menangkap seorang selebritas lokal. Kejahatannya? Dugaan tindakan sodomi dengan pria berpangkat tinggi lainnya.
Itu jelas merupakan langkah politik dan publik marah. Mereka menuntut orang-orang itu dibebaskan. Hakim Butheric berpegang teguh pada aturan dan menolak. Masyarakat menanggapinya dengan protes.

Protes di Tesalonika berubah menjadi kerusuhan dan kerusuhan berubah menjadi anarki. Dalam kekacauan berikutnya, Butheric dan beberapa pejabat Romawi lainnya di kota dan daerah sekitarnya dibunuh oleh massa.

Berita itu dengan cepat sampai ke telinga Kaisar Romawi Theodosius I. Bangsa Romawi tidak dapat membiarkan kerusuhan apa pun, apalagi pembunuhan perwakilan pemerintah, dibiarkan begitu saja. Kaisar memerintahkan agar pasukan dikirim segera dengan perintah untuk menangani para pemberontak ini dengan keras.

Perintah aslinya adalah memperlakukan semua orang di dalam kota seolah-olah mereka bersalah. Tidak ada yang dapat menghindar. Setiap pria, wanita, dan anak-anak harus dieksekusi tanpa kecuali.

Namun akhirnya Theodosius menyadari jika ia mungkin sedikit berlebihan. Saat pasukannya mendekati kota, dia mengirim utusan untuk menghadang mereka. Perintah barunya adalah menangkap para pemimpin kelompok tetapi membiarkan warga sendirian. Sayangnya semua terlambat.

Pada saat utusannya memasuki kota, semuanya sia-sia. Pasukan telah masuk dan melaksanakan perintah awal mereka. Beberapa ribu orang tak berdosa telah dibantai atas nama kaisar Romawi.

Pejabat gereja sangat marah dengan pembantaian itu. Theodosius kemudian dilarang memasuki gereja mana pun sampai ia membuat perubahan pada hukum yang akan mencegah kejadian serupa terjadi lagi.

Theodosius menyetujui dan mengajukan undang-undang baru bahwa siapa pun yang dijatuhi hukuman mati diberikan 30 hari sebelum eksekusi mereka.

Sejarawan percaya sekitar 7.000 orang dibantai di Tesalonika.
Pembantaian Druid oleh pasukan Romawi di Britannia
Pada pertengahan abad pertama Masehi, orang Romawi menguasai Britannia. Namun sayangnya, invasi Romawi tidak semuanya berjalan sesuai rencana. Secara khusus, suku-suku Welsh telah membuktikan diri sebagai pengganggu Romawi yang sulit untuk ditangani.

Patroli Romawi dan karavan dagang terus-menerus diserang oleh gerombolan kecil. Bangsa Romawi tidak mampu menghadapi pemberontakan suku lokal apa pun. Pemimpin Romawi di Britannia, Suetonius Paulinus pun muak dengan taktik gerilya ini. Ia memutuskan untuk memberi pelajaran pada para pemberontak itu.

Suetonius mengirim pasukannya ke pulau Mona, yang sekarang disebut Anglesey. Pulau ini adalah rumah suci para Druid, serta beberapa suku Welsh. Druid adalah sebuah kasta pendeta Keltik. Saat itu, tentara Romawi memastikan jika Druid akan menjadi bagian dari sejarah.

Pria, wanita, dan anak-anak dibunuh oleh infanteri dan kavaleri Romawi. Mayat mereka dibuang di api unggun besar. Pembantaian dimulai dengan suku Welsh yang melindungi keluarga dan orang suci mereka. Meski sempat sukses sebagai gerilyawan, Welsh tidak bertahan lama dalam pertempuran terbuka melawan legiun Romawi yang sangat terlatih.

Setelah anggota suku ditangani, pasukan mengalihkan perhatian mereka ke Druid yang damai. Druid tidak melakukan perlawanan, namun orang Romawi adalah bangsa yang percaya takhayul. Mereka takut akan kepercayaan pagan Druid dan berpikir lebih baik membantai mereka, untuk berjaga-jaga.

Setelah semua Druid mati, orang Romawi menghancurkan jejak apa pun yang pernah ada. Sebuah garnisun dibangun di atas sisa-sisa untuk mencegah pemberontakan di masa depan dari penduduk setempat yang masih hidup.

Pembantaian yang brutal dan menakutkan itu menunjukkan kurangnya rasa kemanusiaan. Apapun itu alasannya, entah itu agama, politik, atau lainnya, manusia selalu mahir mencari alasan untuk saling membantai.

Sayangnya, manusia modern tidak berkaca pada kesadisan di masa kuno. Pembantaian dan perang pun terus dilakukan hingga kini.
Kita dapat mengutuk orang-orang kuno karena melakukan kekejaman. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kekejaman serupa saat ini.[AHM/IST]