Masjid Marunda Si Pitung Gabungkan 4 Kebudayaan

442 dibaca

▪︎BETAWI-POSMONEWS.COM,-
MASJID tertua di Jakarta terletak di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Masjid tersebut punya sejarah panjang dan sangat menarik.

Masjid Al Alam Marunda atau disebut Masjid Al Alam Marunda Si Pitung berdiri sejak abad ke-16. Dilihat dari bentuk bangunannya memang berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya.

Pengurus masjid, Kusnadi, mangatakan masjid ini menggabungkan 4 kebudayaan dalam arsitekturnya yaitu budaya Jawa, Tionghoa, Belanda, dan Betawi.

“Pertama dari kubah berbentuk joglo itu merupakan arsitektur Jawa. Kedua unsur budaya bangsa Tionghoa terlihat dari lengkung naganya, dari wuwungannya. Ketiga ornamen jendela dan pintu berhubungan dengan Betawi. Keempat, bangsa Eropa menunjukkan kekuatannya terlihat dari tiang berbentuk bidang catur,” kata Kusnadi.

Soal sejarah pendirian Masjid Al Alam, menjelaskan ada beberapa versi. Versi pertama adalah masjid yang dibangun dalam waktu singkat oleh para aulia.

“Masjid ini didirikan dalam waktu semalam oleh para aulia,” ujarnya.

Versi lain mengatakan, masjid tersebut dibangun oleh pasukan Fatahillah sebelum menyerang Sunda Kelapa tahun 1527. Dikutip dari laman NU, masjid ini kabarnya juga dibangun pasukan Mataram pada abad ke-17.

Semula, masjid ini dinamakan Masjid Agung Aulia. Barulah pada 1975 diubah menjadi Masjid Al Alam Marunda. Masjid ini juga dijadikan cagar budaya setelah Dinas Kepurbakalaan melakukan penelitian.

Pada tahun 1974 sebelum Marunda masuk wilayah DKI Jakarta, saat itu masih Provinsi Jawa Barat, dinamakan Masjid Agung Aulia. Setelah itu pada 1975, masjid ini menjadi benda cagar budaya dan menjadi aset. Pemprov DKI berinisiatif, karena masjid ini didirikan oleh alam maka pada saat itu dinamakan Masjid Al Alam Marunda.

Soal sebutan Masjid Al Alam Marunda Si Pitung, Kusnadi juga mengklarifikasi bahwa masjid itu tidak dibangun Si Pitung. Konon dinamakan demikian karena Si Pitung pernah napak tilas ke masjid tersebut.

“Bersangkut paut dengan Pitung karena pernah napak tilas di sini dan Si Pitung jadi ciri khas Marunda. Masjid ini juga berdekatan dengan Rumah Si Pitung. Jadi bukan Bang Pitung yang mendirikan. Itu karena Marunda identik dengan Bang Pitung,” katanya.

Masjid Al Alam Marunda terdiri atas bangunan utama, bangunan baru untuk salat perempuan, pendopo, sumur, halaman, dan pemakaman terletak di sebelah barat masjid. Di pemakaman itu, terdapat makam tokoh Kiai Jamiin bin Abdullah yang kerap didatangi masyarakat untuk berziarah.

▪︎Armada Belanda

Pemimpin armada Belanda, Cornelis Matelief Jonge, ketika menjelajahi Teluk Jakarta (1607), membuat gambar Kota Jayakarta di tepi pantai. Terlihat sebuah masjid, menurut sejarawan Adolf Heuken sebagai masjid pertama di Jakarta. Pada Mei 1619, masjid ini dibumi-hanguskan oleh JP Coen, ketika dia menaklukkan Jayakarta.

Apakah masjid yang dibangun dari kayu terletak beberapa puluh meter sebelah selatan Hotel Omni Batavia (kira-kira terminal angkutan darat Jakarta Kota) itu merupakan masjid pertama di Ibukota? Tanah bekas masjid itu kemudian digunakan untuk membangun sebuah perwakilan dagang Inggris.

Pada paruh abad ke-14 di Karawang, Jawa Barat, berdiri pesantren Kuro. Karawang, seperti juga Sunda Kalapa, ketika itu termasuk wilayah Kerajaan Pajajaran dipimpin Prabu Siliwangi. Ketika sang prabu mengunjungi pesantren Kuro, ia jatuh hati pada seorang santri bernama Subang Larang. Mereka menikah dan dikarunia seorang putera, Kyan Santang, dan kemudian menyebarkan agama Islam.

Ketika itu, orang Betawi banyak menjadi pengikut Islam. Para pendeta di Pajajaran menilai Kyan Santang melakukan penyimpangan, atau langgara. Karena itu, tempat sembahyang pengikut Islam disebut langgar.

Warga Betawi masih banyak menyebut langgar untuk sebutan musala. Sedang tempat salat yang lebih besar mereka sebut masjid atau masigit. Jadi, menjelang abad ke-15 sudah berdiri masjid di Jakarta.

Karena Islam dianggap membahayakan, maka Pejajaran melakukan perjanjian dengan Portugis yang membuat Sultan Trenggano dari Demak menjadi amat gusar.

Dia kemudian mengirimkan seorang mubaligh sekaligus panglima, Fatahilah, dengan balatentaranya untuk menyerbu Sunda Kalapa dan mengusir Portugis.

Fatahillah mendirikan kadipaten di sebelah barat muara Ciliwung. Di sebelah timur didirikan aryan — perumahan untuk pejabat kadipaten dan keluarganya yang didatangkan dari Banten.

Pada abad ke-17 orang dari berbagai bangsa di Nusantara bertemu di Jakarta. Adat kebiasaan masing-masing terpaksa ditinggalkan karena beraneka ragam. Karena itu, kampung-kampung di sekitar kota dan desa-desa pedalaman bersatu dalam hal agama, dan kemudian dalam hal bahasa Melayu Betawi.

Gereja reformasi, tulis Hayken, tak sampai mencoba penginjilan, karena dianggap mustahil mentobatkan orang Muslim atau Tionghoa. Kecuali kegiatan Katholik yang dilarang sampai 1806. Batavia dan daerah sekitarnya mengalami semacam ‘Melayunisasi’ cepat setelah tahun 1700. Letnan Gubernur Jenderal Raffles sampai menulis pujian terhadap perkembangan Islam yang pesat pada masanya.

Kemudian Fatahilah dan pasukannya menyerang Portugis (1527). Ada keyakinan masyarakat di sini, bahwa Fatahillah membangun Masjid Al-Alam hanya dalam sehari. Hingga kini masjid di tepi pantai itu tidak pernah sepi. Selalu diziarai, lebih-lebih pada malam Jumat Kliwon.

Seratus tahun kemudian (1628-1629), ketika ribuan prajurit Mataram pimpinan Bahurekso menyerang markas VOC (kini gedung museum sejarah Jakarta) para prajurit Islam ini lebih dulu singgah di Marunda guna mengatur siasat perjuangan. Bahkan, ada yang mengatakan masjid ini dibangun oleh prajurit Sultan Agung.

Saat bulan Ramadan, ada hal-hal istimewa bila mengunjungi masjid-masjid tua di Jakarta. Di samping mendapatkan siraman rohani, juga mendapatkan pula kisah-kisah heroik perjuangan umat Islam di masa lalu.

Masjid tua itu, melalui para jamaahnya, telah mengobarkan semangat perjuangan melawan penjajahan Belanda. Bahkan, pernah dijadikan sebagai markas perjuangan pada masa revolusi fisik (1945-1949) melawan NICA.

▪︎Masjid As-Salafiah dan Al-Anshor

Ada Masjid As-Salafiah di Jatinegara Kaum, dekat Pulo Gadung, Jakarta Timur. Masjid ini didirikan Pangeran Ahmed Jakerta, setelah ia hijrah dari Jayakarta pada tahun 1619 akibat gempuran VOC. Di tempat yang empat abad lalu masih terpencil dan berupa hutan belukar itu pangeran membangun masjid hingga kini masih diabadikan.

Terlihat dari empat tiang utama terbuat dari kayu jati yang menjadi penyangganya. Sekalipun sudah delapan kali direnovasi dan diperluas, empat tiang penyanggah ini masih kita dapati.

Dari Masjid As-Salafiah inilah, pangeran Jayakarta dan pengikutnya mengobarkan semangat jihad untuk terus menerus mengusik Belanda.

Menurut sejarah versi Belanda, sampai 1670 Batavia tidak pernah aman dari gangguan keamanan akibat aksi gerilya tersebut. Ketika Sultan Agung menyerang Batavia, Jatinegara Kaum kembali memegang sejarah penting.

Di masjid ini kita masih mendapati makam Pangeran Ahmed Jakerta, para keluarga dan pengikutnya.
Glodok yang selalu hingar bingar — apalagi saat puasa sekarang ini — juga banyak memiliki masjid tua.

Di Jl Pengukiran II, misalnya, terdapat Masjid Al-Anshor didirikan para pendatang dari Malabar (India) pada abad ke-17. Tepatnya pada 1648. Ada lagi Masjid Kampung Baru didirikan pada tahun 1748 kini hanya tersisa beberapa dari bangunan aslinya.

Tidak jauh dari tempat itu, di tepi kali Angke di Jl Pekojan, Jakarta Barat, terdapat sebuah surau yang disebut Langgar Tinggi. Disebut demikian karena langgar ini agak tinggi dan berlantai dua. Para Muslim India juga berperan dalam membangun langgar ini. Masih di kawasan Pekojan, terdapat masjid dibangun pada abad ke-18. Masjid an-Nawier (Cahaya) erat kaitannya dengan masjid kuno di Kraton Solo dan Banten. Ikut berperan dalam penyebaran Islam.▪︎[ZA/ALAMS]