Tiang Utama Tinggalan Raja Luwu

257 dibaca

Masjid-masjid tua yang usianya mencapai ratusan tahun tidak hanya terdapat di pulau Jawa saja. Di banyak tempat, di luar Pulau Jawa juga banyak ditemukan masjid-masjid tua yang usianya lebih dari dua ratus tahun. Ini menunjukkan penyebaran agama Islam secara luas tidak terjadi di pulau Jawa saja. Salah satu masjid tua terdapat di Sulawesi Selatan. Tepatnya di daerah Palopo.

MASJID yang berada di daerah Palopo ini tergolong istimewa. Bahkan, begitu istimewa masjid ini hinga ada anggapan seseorang belum ‘sah’ dinyatakan pernah mendatangi Palopo jika belum menyentuh tiang utama dari masjid yang dibangun oleh Raja Luwu pada kisaran tahun 1604 M.
Masjid Tua Palopo memiliki luas 15 m². Masjid ini sendiri dikatakan sebagai masjid tua karena usianya yang memang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.
Sebagian masyarakat percaya bahwa bagi orang yang datang ke Kota Palopo, belum dikatakan resmi menginjakkan kaki di kota ini apabila belum menyentuh tiang utama Masjid Tua Palopo yang terbuat dari pohon Cinaduri, serta dinding tembok yang menggunakan bahan campuran dari putih telur. Oleh karena itu, masjid ini tidak pernah sepi dari jemaah, khususnya pada bulan Ramadhan, setiap selesai shalat dhuhur hingga menjelang berbuka puasa, biasanya para jamaah tetap tinggal di masjid untuk mengaji, tadarrus Alquran, dan berzikir. Jamaah yang datang bukan hanya warga Kota Palopo, tetapi banyak juga yang datang dari kabupaten tetangga, seperti Luwu, Luwu Utara, Sidrap, dan Wajo.
Masjid ini diperkirakan berdiri pada tahun 1604 M. Masjid ini merupakan masjid kerajaan yang didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya. Saat itu kerajaan Luwu berada dalam pemerintahan kekuasaan Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe.
Ketika ia naik tahta menggantikan ayahnya tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang mengkaitkan perpindahan ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk penyebaran Islam. Jika pendapat ini benar, maka perpindahan tersebut juga menandakan bahwa pengaruh Islam semakin menguat dalam Kerajaan Luwu.
Hal ini bisa dilihat dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru, di mana masjid dan istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek kerajaan. Satu unsur lagi yang dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu adalah lapangan luas yang terbuka (alun-alun). Struktur dan tata letak pusat pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur dan tata letak kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama menjadi Palopo.
Masjid Tua Palopo memiliki sejumlah keunikan yang tidak dimiliki oleh masjid tua lain yang ada di daerah Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid Tua Palopo berukuran 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m, dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Arsitektur Masjid Tua Palopo ini terbilang sangat unik. Ada empat unsur penting yang melekat dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam.
Unsur lokal Bugis terlihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang ditandai oleh bentuk pelipit (gerigi); dan pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau, putih dan coklat.
Unsur Jawa terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap rumah joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga atau sering disebut tajug. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramida paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (Cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari Cina.
Unsur Hindu terlihat pada denah masjid yang berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konstruksi candi. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan bunga lotus, mirip dengan hiasan di Candi Borobudur. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa. Unsur Islam terlihat pada jendela masjid, yaitu terdapat lima terali besi yang berbentuk tegak, yang melambangkan jumlah shalat wajib dalam sehari semalam.
Masjid Tua Palopo sudah beberapa kali renovasi untuk perbaikan. Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m².ZUL