Melawan Mataram, Kesultanan Cirebon Bernaung di Bawah VOC

473 dibaca

▪︎CIREBON-POSMONEWS.COM,-
SEDIKITNYA ada dua perkara menjadi konflik yang berkepanjangan di Priangan. Pertama, kedatangan Susuhunan Mataram dari Jawa Tengah bagian selatan ke kawasan Priangan. Kedua, perebutan takhta dengan Kesultanan Cirebon.

Wilayah timur Priangan yang dikenal dengan budaya Sundanya, menjadi proyek Jawanisasi Mataram selama mereka berkuasa di sana. Cirebon yang hanya berada lebih dekat sedikit, kalah duluan dalam membangun hubungan dengan penguasa-penguasa lokal.

Dikutip dari laman Nationalgeographic.co.id: Jan Breman menguak adanya strategi politik perkawinan untuk menyatukan wilayah timur Priangan dengan Susuhunan Mataram dari Jawa Tengah bagian selatan.

Jan Breman menulis dalam buku yang diterjemahkan berjudul Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870. Buku itu terbit pada 2014.

Sejak saat itu, Sultan Cirebon hanya bisa menunggu momentum untuk mengambil alih kuasanya atas Mataram yang lancang bertakhta di Priangan.

Jalan sejarah membawa Mataram ke arah yang berlainan manakala mereka harus berhadapan dengan kongsi dagang Belanda, VOC. Upaya Mataram untuk melakukan politik ekspansi menjadi lebih sukar. Mataram, yang berusaha mengepung VOC, malah harus berlutut kepadanya dan merelakan wilayah kekuasaannya atas Priangan untuk VOC.

Di pihak lain, Kesultanan Cirebon melihat bahwa mereka bisa memanfaatkan momentum untuk merebut kawasan timur Priangan. Bukan seperti Kerajaan Sumedang yang lebih memilih bergabung dengan Mataram, Kesultanan Cirebon bersikap sebaliknya.

Meski mereka dipaksa tunduk kepada Mataram, pada kenyatannya para penguasa Cirebon lebih memilih bernaung di bawah panji VOC.

“Para penguasa Cirebon melihat pengabdian mereka terhadap Mataram beralih menjadi ketergantungan yang lebih besar terhadap VOC,” tulis Breman.

Tidak tanggung-tanggung, antara Kesultanan Cirebon dan VOC sudah membangun perjanjian dan kesepakatan.

“Perjanjian tahun 1681 mewajibkan dinasti Kesultanan Cirebon menerima VOC sebagai pelindung,” tambahnya.

Pertempuran laut yang ganas di lepas pantai Banten pada 25-30 Desember 1601 antara lima kapal belanda dan 30 kapal portugis yang dibantu galai dari angkatan laut Sultan. Belanda unggul, Banten dikuasai. Karya Isaac Commelin (1598-1676). (Royal Collection Trust)

Bukan cuma hitam di atas putih, VOC juga melayangkan tuntutan. Menurut Breman, pengakuan Cirebon atas VOC juga diwujudkan dalam bentuk pembangunan benteng, penyerahan keuntungan dagang dan hak atas wilayah dataran tinggi di sekitarnya.

Merle Ricklefs menuliskan, bahwa perjanjian itu menyebutkan para penguasa Cirebon selanjutnya takluk kepada Mataram. Namun, Amangkurat II (penguasa Mataram) dengan jelas memperlihatkan ketidaksenangannya atas hilangnya kewenangan wilayah Jawa bagian barat atau Priangan kepada VOC.

Merle Ricklefs menulis dalam bukunya yang berjudul War, Culture and Economy in Java, 1677-1726: Asian and European Imperialism in the Early Kartasura Period yang terbit pada  1993.

Mataram hanya menyisakan sedikit pijakannya di Priangan akibat tersudut atas kuasa VOC. Momentum inilah yang telah dinanti para musuhnya untuk menyisihkan Mataram:

Kesultanan Cirebon dan Banten

Kesultanan Banten yang berseteru dengan Mataram, memilih untuk berlindung kepada Kesultanan Cirebon. Bukan tanpa alasan adanya jalinan erat antara Cirebon dengan Banten.

Syeikh Gunung Djati yang memimpin Kesultanan Cirebon, memiliki putra yang merupakan penguasa dari Kesultanan Banten, Maulana Hasanuddin. Dari sana, hubungan Cirebon dan Banten layaknya hubungan ayah dengan anaknya.

Perlindungan Sultan Cirebon kepada Banten didukung dengan pasokan persenjataan untuk melawan kekuasaan Jawa. Strategi inilah yang akhirnya mampu memukul mundur Mataram.

Mundurnya Mataram dari Priangan berakhir dengan serangan bantuan dari Banten, baik ke daerah pesisir yang bersekutu dengan Cirebon, maupun ke dataran tinggi Priangan.

Tiga Kali Perang Kerajaan

Tiga kali perang Kerajaan Mataram kalah oleh Panembahan Ratu, Sultan Cirebon keturunan Sunan Gunung Jati.

Dilansir dari laman portalmajalengka.com bahwa Kesultanan Cirebon mencapai masa kejayaannya ketika dipimpin Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati dalam memimpin Cirebon dikenal sangat Arif dan bijaksana dalam memecahkan berbagai macam persoalan.

Kesultanan Cirebon berhasil menaklukan beberapa kerajaan yang berada di Tatar Pasundan, hingga wilayah kesultanan Cirebon begitu luas. Namun Kesultanan Cirebon mengalami penurunan sepeninggal Sunan Gunung Jati.

Ketika Sunan Gunung Jati wafat, Kesultanan Cirebon diteruskan oleh keturunannya yaitu Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu inilah terjadinya peperangan antara Mataram dengan Kesultanan Cirebon.

Terdapat dalam beberapa naskah kuno terjadinya peperangan yang terjadi antara Mataram dengan Kesultanan Cirebon.

Kerajaan Mataram sangat menginginkan Cirebon untuk tunduk dan takluk terhadap kekuasaan Mataram. Namun hal ini tidak di indahkan oleh kesultanan Cirebon yang sangat tidak menginginkan dijajah oleh kerajaan manapun.

Kesultanan Cirebon tidak mau tunduk dan patuh kepada kerajaan manapun termasuk kepada Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram pun memasang satu siasat dengan menikahkan salah satu putri Mataram dengan Panembahan Ratu.

Hal ini dilakukan dengan harapan agar Kesultanan Cirebon yang dipimpin Panembahan Ratu mau tunduk kepada Mataram.

Namun diluar dugaan, Panembahan Ratu yang menjadi Sultan Cirebon tetap bersikeras untuk tidak mau tunduk kepada Mataram. Hal ini membuat Raja Mataram murka, dan mengirim pasukan untuk menyerang kesultanan Cirebon.

Pada penyerangan pertama Mataram mengutus Pangeran Purbaya dengan membawa seribu pasukan perang. Namun naas bagi Mataram yang harus kalah dan kehilangan Pangeran Purbaya yang terbunuh dalam peperangan tersebut. Kegagalan mengalahkan pasukan Kesultanan Cirebon membuat Raja Mataram semakin murka.

Mataram kembali menyerang Cirebon dengan pasukan yang lebih banyak lagi. Peperangan terjadi di Tugu Pangga. Pada penyerangan kedua Raja Mataram kembali mengutus panglima perangnya yaitu Panglima Sala Tiga.

Dalam penyerangan ini pun Kembali Kerajaan Mataram alami kekalahan dalam dari Kesultanan Cirebon. Dalam peperangan tersebut, Panglima Sala Tiga tidak terbunuh dan berhasil kembali pulang ke Kerajaan Mataram.

Masih penasaran dengan kekalahan pada perang kedua, Mataram kembali melancarkan serangan ke Cirebon. Pasukan yang dibawa Mataram semakin banyak lagi yang dipimpin Panglima Perang Nata Suangga. Peperangan ini terjadi di Losari.

Mengetahui pasukan Mataram yang lebih banyak menyerang, Kesultanan Cirebon meminta bantuan dari Kesultanan Banten. Kembali Kerajaan Mataram harus kembali dengan tertunduk malu karena alami kekalahan dalam perang ketiga ini.

Setelah tiga kali mengalami kekalahan Kerajaan Mataram akhirnya tidak berani lagi mengusik Kesultanan Cirebon.
**(zubi/berbagai sumber)