Melihat Jejak Perjuangan Sunan Muria

672 dibaca

▪︎Melihat Jejak Perjuangan Sunan Muria

▪︎POSMONEWS.COM,-
RADEN UMAŔ SAHID merupakan putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Beliau dilahirkan di Demak, Jateng, 1470 M, meninggal di Gunung Muria, Jateng, 1560 M. Nama Muria sendiri diambil dari nama tempat tinggalnya di lereng Gunung Muria, 18 km ke utara Kota Kudus.

Raden Umar Sahid lebih dikenal dengan sebutan Sunan Muria. Beliau lebih senang tinggal di daerah terpencil dan jauh dari pusat keramean kota. Karena dengan cara itu, ia lebih tenang dan bisa memberikan pelajaran berbagai keterampilan bercocok tanam, berdagang, dan melaut.

Dalam dakwahnya menggunakan kesenian gamelan dan wayang. Tembang Sinom dan Tembang Kinanti merupakan hasil ciptaannya. Sasaran dakwah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Tempat dakwahnya di sekitar Gunung Muria, Tayu, Juwana, dan Kudus.

Wali ini terkenal memiliki kesaktian cukup tinggi. Karena memiliki fisik yang kuat sering naik turun Gunung Muria setinggi 750 meter. Ia, istri dan muridnya harus naik turun gunung setiap hari untuk menyebarkan agama kepada penduduk setempat, hal itu yang menampa dirinya menjadi pendakwah tangguh dan kuat. Dalam perkawinan dengan Dewi Roroyono, putri Sunan Ngerang, seorang ulama yang disegani masyarakat karena berilmu tinggi.

AJARAN DAN KAROMAH

AJARAN

Dalam memberikan ajarannya, Sunan Muria menyentuh tiga aspek dimensi. Yaitu, dimensi ketuhanan, sosial ijtima’iyyah (antroposentrisme), dan dimensi lingkungan (ekosentrisme).

Ketiganya dapat menyatu dalam satu konsep keimanan. Dalam hal lingkungan, ia memberikan ajaran untuk meruwat bumi dan pelestarian alam, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Segenap khazanah lokal dan kearifan lingkungan yang bersumber dari agama pun diejawantahkan.

KAROMAH

Suatu hari, Sunan Ngerang mengadakan syukuran anaknya, Dewi Roroyono. Semua muridnya diundang, seperti Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak.

Setelah tamu berkumpul, Dewi Roroyono dan adiknya, Dewi Roropujiwati, keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya cantik rupawan, terutama Dewi Roroyono, dia bagaikan pinang dibelah dua.

Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama, dapat menahan pandangan matanya, sehingga mereka tidak terseret oleh godaan setan. Tapi, seorang murid Sunan Ngerang, yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Royoyono, sangat bernafsu. Akibat dibakar api asmara, dia pun menggoda Dewi Roroyono. Adipati Pathak Warak menculiknya.

Namun, adik seperguruan Sunan Muria, Kapa dan Gentiri berhasil merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak. Akhirnya Sunan Ngerang pun menikahkan putrinya dengan Sunan Muria karena dianggap mampu menahan godaan.

PENINGGALAN SITUS

1. Gentong Raksasa:

Gentong itu berdiameter 5 meter ini, “Air Penghuripan”. Sehabis dari makam Sunan Muria, peziarah berebut air tersebut.

2. Tangga Batu Kali:

Untuk sampai ke makam Sunan Muria, peziarah harus jalan kaki menaiki puluhan anak tangga atau naik ojek.

3. Seni Ukir:

Sunan Muria juga memperkenalkan seni ukir melati. Maknanya agar semua orang dapat hidup rukun walau berbeda agama.

REKONSTRUKSI SECARA FISIK

1. Gentong Raksasa: Antrian panjang mengular di kompleks makam Sunan Muria. Ratusan peziarah dengan sabar menunggu giliran berebut secangkir air dari gentong raksasa berdiameter sekitar 5 meter. Air Penghuripan (air kehidupan, red), diserbu peziarah sebagai pelepas dahaga setelah mendaki ke puncak Gunung Muria.

2. Gunung Muria: background gambar suasana dan ketinggihan Gunung Muria. Setiap hari, Sunan Muria, istri dan muridnya harus naik turun gunung untuk menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat.

3. Tangga Batu Kali: untuk sampai ke kompleks makam Sunan Muria, peziarah harus jalan kaki melalui puluhan anak tangga terbuat dari batu kali atau naik ojek.

4. Bedug: bedug dan kentongan sangat penting digunakan pertanda waktu sholat fardhu telah tiba sebelum adzan dikumandangkan. Bedug peninggalan Sunan Muria ini memiliki ornament ukir-ukiran berbentuk ular naga.
**(tim posmo)