Gus Baha Jelaskan Khilafiyah Hukum Musik dalam Islam

228 dibaca

Polemik tentang hukum musik sedang ramai dibicarakan. Lantas bagaimana hukumnya? Sejumlah ulama di Tanah Air angkat bicara. Salah satunya ulama ahli Alquran dan Tafsir asal Rembang, Jawa Tengah, KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha).

Ulama yang juga pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA itu mengatakan, khilafnya ulama itu menyangkut Asbabun Nuzul (سباب النزول), bukan menyangkut hukumnya (musik).

Berikut penjelasan Gus Baha dalam kajian Kitab Tafsir Jalalain bersama santrinya dilansir dari portal Islam iqra.id belum lama ini:

“Ketika Qur’an mulai menarik dikaji di Arab atau di Mekkah-Madinah, Nadhor bin Harits mengimpor buku-buku dari Yunani, Romawi, dan Persia. Buku-buku itu kalau sekarang disebut cerita fiktif. Cerita itu macam-macam, butuhnya untuk menandingi menariknya Alquran.

Alhasil, mengarang komik itu agak haram, karena tidak baca Alquran malah baca komik. Tapi, kamu bilang haram kan bukan Allah, pokoknya agak haram!

Jadi, dari dulu kitab suci juga ditandingi dengan kitab-kitab yang tidak penting. Kan manusia itu suka hal yang tidak penting, hal yang ringan. Nah, Nadhor bin Harits itu orangnya pintar. Jadi, dia menjual buku-buku, cerita-cerita fiktif, cerita yang aneh-aneh agar orang Islam tidak sibuk belajar Alquran.

Jadi, lahwal hadits (لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ) kalau menurut Imam Suyuthi tidak menyangkut musik. Lalu ada ulama yang menganggap lahwal itu musik, ya dangdutan, macam-macam, tapi itu salah!

Tetapi, tetap musik yang seronok tetap haram, cuma itu pakai kias (قياس). Begini saya ajari ya.

Mengimpor buku dari Persia itu supaya orang belajar buku itu kemudian meninggalkan Alquran. Kemudian orang yang suka musik yang menghibur dan yang maksiat itu juga nanti akibatnya orang meninggalkan Alquran.

Jadi, khilafnya ulama itu menyangkut Asbabun Nuzul (سباب النزول), bukan menyangkut hukumnya (musik). Kalau menyangkut hukumnya sama, mau buku, musik, atau apa saja, yang kira-kira menggantikan fungsi orang Islam belajar Alquran itu termasuk:

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشْتَرِى لَهْوَ ٱلْحَدِيثِ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna…” (QS. Luqman: 6)

Paham nggeh? Jadi itu hukumnya sama. Khilafnya di Asbabun Nuzul ayat. Kanjeng Nabi itu orang yang dihormati dan paling disukai sahabat. Suatu ketika Nabi sedang khutbah Jumat, lalu ada miroh (perdagang kafilah besar). Dari dulu pedagang sudah nakal, membawa musik dan penyanyi perempuan.

Kamu tidak usah bayangin penyanyinya bagaimana, nanti ngeres pikiranmu! Nah, ketika Nabi sedang khutbah para sahabat pada bubar dan hanya menyisakan 12 orang. Bagaimana coba?

Jadi sudah dari dulu, jadi ketika ada kiyai ngaji, kemudian santri menonton (musik) jangan mangkel. Tetap haram, tapi jangan mangkel.

Kanjeng Nabi saja yang kekasih Allah saja pernah ditinggal sahabat nonton ‘dangdut’ ketika khutbah. Disebut dalam Al-Qur’an:

وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).”
(QS. Al-Jumu’ah: 11).

Makanya ada ulama yang mengatakan lahwal hadits itu musik. Karena dianggap ayat ini sesuai atau se-munasabah (berhubungan) dengan ayat tadi:

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendengar seseorang mengucapkan:

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, bahwasanya Engkau adalah Allah Yang Maha Esa, yang bergantung pada-Nya segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh dia telah meminta kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, yang apabila diminta dengan menyebut-Nya, pasti akan diberi dan apabila berdoa dengan menyebut-Nya pasti akan dikabulkan.”
(HR. Sunan Ibnu Majah No. 3847)

وَإِذَا رَأَوْا۟ تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا ٱنفَضُّوٓا۟ إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَآئِمًا

Itu di riwayat-riwayat hanya ada 12 sahabat yang tidak ikut (menonton musik) termasuk Abu Bakar dan Umar. Bayangkan, sahabat Nabi kan ribuan, tersisa tinggal 12.

Alasannya lucu. Ketika ditanya, “Apa karena kamu benci Muhammad?” Jawabannya, “Tidak”. Rasulullah tetap orang yang paling kita cintai, tapi kan Nabi mengajar setiap hari, tapi kalau ada musik jarang-jarang.”

Makanya zaman akhir pada nakal ya ada sanadnya. Pagam nggeh? Kalau kiyai mengajar kan setiap hari, tapi kalau konser kan jarang. Itu ya ada dalilnya.

Paham nggeh? Makanya jadi kiyai angel tenan. Jadi, sejak dulu itu macam-macam, tijaratan lahwan (تِجَٰرَةً أَوْ لَهْوًا). Jadi setiap perdagangan itu sepaket dengan lahwan. Lahwan itu hal yang bisa mengalihkan dari Quran atau dzikir.

Ada yang menyebut alat malahi, dari kata alha – yulhi – ilha’an (اَلْهَا – يُلْهي – إِلْهَاءً).

Saya ajari mikir secara fiqih. Contoh:
اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu”.

حَتّٰى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ
“Sampai kamu masuk ke dalam kubur”.

Sekarang saya tanya, sekarang ada orang sholeh mengumpulkan dunia untuk berjuang karena ingin menyumbang masjid, pondok, dan kiai.
Terus Al-hākumut-takāṡur atau nafa’akum at-takāṡur? Ini pikirannya orang-orang alim.

Abu Bakar itu hartanya banyak, Abdurrahman bin ‘Auf juga hartanya banyak, Utsman bin Affan itu banyak sekali. Utsman bin Affan itu pernah nyumbang Nabi 4.000 dinar.

Satu dinar itu 4,2/4,5 gram. Jadi, 4.000 dinar berarti 16 ribu gram, itu komanya belum dihitung. Kalau satu gram 500 ribu, berapa miliar?

Dengarkan ya! Makanya, kamu jangan gemar mengharamkan. Karena alha (اَلْهَا) itu fi’il muta’addi (فعل متعدى) pasti ada ‘an (عَنْ) . ‘An itu (artinya) yang dijauhi.

Semisal begini, Al-hākumut-takāṡur (اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُ), itu kalau untuk orang nakal, dunia banyak membuat ia lupa dari Tuhan.

Kalau untuk orang sholeh? Nafa’akum at-takāṡur (نفاعكم التكاثر), karena tidak takut alha, alha dari apa?

Makanya, ulama dari dulu bingung menghadapi musik. Kata Imam An-Nawawi, kamu itu kalau ditanya gitar bilang saja haram, bagaimanapun sudah jadi syiarul fasaqoh (شعار الفسقة), simbolnya orang fasik. Ditanya organ bilang saja haram, bagaimana pun setiap orang fasik main organ.

Ada juga muridnya yang nakal: “Lah, kalau ada orang pakai organ, tapi bersholawat lalu menangis ingat Allah?”

“Kalau ada yang begitu ya biarkan, tapi kan kebanyakan tidak begitu!”

Perkaranya alha (اَلْهَا) dari siapa? Misalkan musik melupakan dari Allah, ternyata musik dipakai sholawatan kan bingung kamu menghukumi?

Orang ingat Nabi karena mendengarkan musik. Contohnya yang masyhur misalnya orang mendengarkan Hadad Alwi, misalnya zaman dulu ada Sulis, lah lalu kamu bilang haram dari mana?

اِنَّ هٰذِهٖ تَذۡكِرَةٌ ‌ۚ فَمَنۡ شَآءَ اتَّخَذَ اِلٰى رَبِّهٖ سَبِيۡلًا

Sungguh, (ayat-ayat) ini adalah peringatan, maka barangsiapa menghendaki (kebaikan bagi dirinya) tentu dia mengambil jalan menuju kepada Tuhannya.
(QS. Al-Insan:29)

Kan sholawatan, melupakan dari apa, dari yang tidak ingat gara-gara mendengarkan jadi ingat Nabi. Misalnya orang mendengarkan Opick, kan bingung, tapi kamu halalkan. Ingat Nabi kok menunggu musik. Itu Nabimu, ingat kok butuh musik. Kamu itu cinta beneran apa pas-pasan?

Akhirnya ulama seperti saya pada diam ketika ditanyai musik haram. Kata Imam Nawawi, pokoknya haramkan dulu. Bagaimanapun musik itu syi’arul fasaqah.

Setiap orang nganggur, orang begal, orang macam-macam main gitar di jalan-jalan, main gitar mengganggu orang. Kan tidak ada imam masjid main musik menunggu jama’ah. Kan tidak lucu!

Tapi, bagaimanapun kamu juga menyisakan pendapat, atau menyisakan hati kecil sekecil-kecilnya, bagaimanapun sebagian orang tasawuf (sufi) itu terkadang kalau ‘isyq (عشق/rindu berat) dengan Allah itu menggunakan alat musik.

Kamu sebut alha, alha dari apa? Justru dengan musik ingat Allah, seperti marawis, lagu-lagu religi. Tapi, kamu jangan ingat penyanyinya Khin (Rukhin). Terkadang ingat karena penyanyinya perempuan cantik.

Makanya ini problem. Kita harus ngaji sampai khatam. Misalnya alha (اَلْهَا) dari apa? Makanya seperti al-hākumut-takāṡur, kamu tidak bisa bilang orang setiap keduniawian mesti buruk, karena Allah berfirman al-hākumut-takāṡur.

Kalau buruk keduniawian langsung lupa Allah, kalau orang sholeh semakin hartanya banyak semakin ingin senang kepada Allah, seperti untuk haji, amal, macam-macam.

Makanya, kuncinya itu menjadi orang sholeh dahulu! Alha (اَلْهَا) itu sesuatu yang menjadikan lupa dari Allah. Tapi, ada orang tertentu tidak menjadikan lupa Allah. Ya sudah, khusus dia tidak masalah.

Makanya, masyhur di Jawa Tengah ada orang sholeh, orang thoriqoh, tapi main organ. Tidak usah kamu tiru, “Orgen halal, aku meniru itu..!”

Dia ketika main organ ingat Allah, lha kamu ingat siapa? “Kok enak dia halal terus!”

Yang jadi masalah itu kelakuanmu! Saya minta, hukum (musik) seperti ini tidak sama. Setiap individu pasti tidak sama.

Saya ulang lagi, alha – yulhi – ilha’an (اَلْهَا – يُلْهي – إِلْهَاءً), makanya alat musik disebut malahi. Oke yang pertama haram, tapi kamu berani mengharamkan beberapa orang sholeh yang mengaransemen shawalat?

Terus tidak ada unsur pornografi dan tidak ada unsur lak-laki perempuan, terus menjadi orang asyik ingat Allah sampai menangis?

Banyak sekali tarian-tarian sufi, yang bikin orang menangis saat mendengarkannya, padahal ada organnya. Tapi ada juga orang yang menghindari alat organ, misalnya pakai terbangan (rebana) sampai telinganya ditutupi sebab (suaranya) tidak karu-karuan.

Seperti begitu-begitu, tidak usah komentar, mboh (tidak tahu) tergantung Allah. Kelak kita buktikan siapa yang masuk surga. Ini masalah fikih, makanya hati-hati.**(zi)