Bungker Raja Airlangga di Candi Pataan

640 dibaca

Sudah menjadi kepercayaan lokal, sejarah lisan bahwa Candi Pataan di wilayah Lamongan bagian selatan dihubungkan dengan sejarah awal Gajahmada. Kisah Demang Kalilanang dan Dewi Andongsari, yang diyakini sebagai ibunda Gajahmada yang kini makamnya berada di Gunung Ratu.

Cerita tutur arau folklor ini pun selalu menghiasi kehidupan warga di sekitar temuan Candi Pataan di Desa Montor ini. Bahwa situs kuno ini terkait dengan Kerajaan Majapahit, padahal sebenarnya candi ini dibangun di era Raja Airlangga, Kerajaan Kahuripan. Fakta terkini pun terungkap jika situs bangunan utama Stupa Pataan di Desa Patakan, Kecamatan Sambeng, Kabupaten Lamongan ini adalah tempat persembuyian Raja Airlangga. Benarkah?

Situs Pataan kemungkinan besar berasal dari abad 10 – 11 Masehi, dan berlangsung hingga masa Majapahit. Hal ini juga dibuktikan dengan ditemukannya fragmen porcelin dari Dinasti Song pada abad 10-13 Masehi dan temuan mata uang China dari Dinasti Song dan Dinasti Ming abad 14-17 Masehi.

Arkeolog BPCB Trowulan, Wicaksono Dwi Nugroho mengatakan, Pataan adalah bangunan suci sebagai kamuflase tempat perlindungan.

“Ketika dikejar beliau memiliki tempat perlindungan, dimana beliau duduk disitu ditutup atapnya hingga tidak terlihat.” kata Wicaksono. Saat eskafasi ke 4, Minggu (27/9/2020).

“Stupa tersebut bisa dikatakan Home Base, karena dekat dengan sungai bengawan solo dan sungai berantas. Tempat bagian dari politik mengabungkan kerajaan wedang yang waktu itu bercerai berai, sebelum mendirikan kerajaan baru di Kahuripan.” ungkap Wicak panggilan akrab Wicaksono Dwi Nugroho.

Bangunan utama Stupa Pataan dirancang memang tidak ada tangga, sebagai tempat bersembuyi yang aman pada masa itu karena dibangun ditanah merdikan. Lubang untuk satu orang masuk, kaitannya dengan Prasati Kerep.

“Jadi untuk naik ke tangga seperti petapaan, jadi gua-gua tandap tangga tidak bisa diganggu seperti binatang buas maupun manusia. Lubang seperti itu untuk tempat persembunyian.” ujar Wicak.

Lebih jauh Wicak mengaku guna bangunan lubang yang tertata dan batanya saling tumpang tindih yang saling mengunci.

Seperti tempat persembunyian yang disediakan oleh Patahunan sebagai tempat persembunyian yang diracang atau disediakan Resi (Pemuka agama yang mengajarkan ajaran tertentu atau agama asli yang digabungkan menjadi resi maka disebut Keresian), yang membuat bangunan disini untuk tempat berlindung ketika situasi darurat.

“Tentunya waktu itu Airlangga ketika menikah dengan Damarwansa pada usia 16 tahun, kemungkinan Airlangga melakukan ilmu Kanuragan di stupa ini, serta digunakan melarikan ke pegunugan Wanagiri ditemani pembantunya bernama Mpu Narotama yang hidup disekitar hutan.” jelasnya.

Kemudian Prabu Airlangga dapat membangun kerajaan kecil seperti Pucagan dan sekitarnya biar tak terlalu jauh dan disaksikan pemuka agama usai serangan Wirawati.

“Airlangga di jadikan raja beberapa puluh tahun kemudian Airlangga mendirikan keraton baru dari raja wanita di Tulungagung.” terang Wicak.

Situs Pataan diindikasi Wihara karena melihat stupa bagian atas terlihat persegi. Sementara ini dari data tatanan bata yang melingkar, mirip Hindu candi utama.

Kalau dalam Buddha ini candi Plaosan ada candi Prawara dimana bangunan utamanya di kelilingi tembok yang tidak simetris dar bangunan. Pola semacam itu, kata Wicak, bukan candi atau lebih tepatnya pusat ajaran agama Buddha seperti masyarakat sini menyebut penemuan peninggalan Budo bukan candi.

“Maka daerah sini sebagai tempat penyebaran agama Buddah atau tokoh masyarakat disini jaman dulu sebagai Patahunan yang mengajarkan Darma atau agama asli.” ucap Wicak seraya menambahkan. Untuk peninggalan agama Buddha ini cocok sekali karena tidak banyak Reliv disekitar atau raya.

Jadi dipastikan, lanjut Wicak. Airlangga melarikan diri ke Prasasti Pataan bukan ke Prasati Kerep, karena ada lubang yang tak jelas di Stupa karena untuk tempat bersembunyi saat digeledah musuh.

“Yang pasti kita menemukan Pataan yang disebut dalam perang Pataan dalam Batara sangyang bakahunan. Kedua indikasi Airlangga sembunyi disini. Stupa yang tidak ada pintu masuk, dimana tepat para biksu bersemedi selama beberapa hari,”kata Wicak.

Saat ini, lanjut Wicak, pihaknya masih membersihkan bagian atas ini untuk lebih memperjelas tampilan situs. Bangunan di sebelah bangunan utaman sudah berhasil dibuka secara perlahan dan menampakkan bangunan serupa stupa.

“Di bagian atas ini ada 2 bilik dan diantara bilik ada altar,” terangnya.

Seperti diketahui, Candi Patakan yang berada di Dusun Montor, Desa Patakan, Kecamatan Sambeng ditemukan pada tahun 2013 silam.

Temuan awal, bangunan yang diperkirakan dari masa Airlangga tersebut merupakan bangunan rumah ibadah dengan stupa. Situs Patakan merupakan kompleks bangunan dengan luas 5.112 meter yang dibatasi dinding keliling yang membentuk denah persegi empat dengan ukuran 72 m x 71 m.

Baik gapura dan dinding keliling disusun dari perpaduan antara batu putih dan bata. Di halaman dalam kompleks terdapat dua buah bangunan. Bangunan pertama atau utama berdenah persegi empat dengan ukuran 18,88 m dan lebar 12,30 m, memanjang utara-selatan. (DANAR/ ARIFIN)