Ziarah Kubur, Ibarat Berhaji

157 dibaca

Makam Raja-Raja Mataram (5-habis)
Kyai Imam Safingi sebagai otoritas penguasa di Makkah itu tentu merujuk pada Imam Syafi’i. Dia seorang mufti besar Islam-Suni sekaligus juga pendiri mazhab Syafi’i. Lalu mengapa beliau menolak keinginan Sultan Agung?

MENILIK historisnya Imam Syafi’i hidup antara pertengahan abad ke-8 hingga awal abad ke-9, jelas sangat mustahil Sultan Agung yang lahir di akhir abad ke-16 ini pernah bertemu sosok itu.
Tak kecuali, Sunan Kalijaga. Wali kharismatis dari Kadilangu ini, oleh banyak sejarawan ditaksir hidup pada kisaran abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Sosok yang berjasa menetapkan arah kiblat Masjid Agung Demak ini, konon juga merupakan guru dari Panembahan Senapati, yaitu kakek Sultan Agung.
Sejarawan Belanda, HJ De Graaf mengemukakan hal menarik. Menurutnya gelar sultan bukanlah gelar yang sejak awal telah digunakan oleh cucu Panembahan Senapati itu. Awalnya ia menggunakan gelar sunan atau susuhunan. Menurut Anthony Reid (1999), gelar ini dikenakan sejak 1624 setelah berhasil menaklukan Jawa lebih luas dari penguasa sebelumnya. Gelar ini menandaskan, secara spiritual ia sebagai raja sejajar dengan para wali.
Namun setelah Raja Banten beroleh gelar sultan dari Makkah pada 1638, semenjak itulah segala daya dan upaya dilakukan oleh Raden Mas Rangsang untuk memperoleh atribut gelar itu. Dalam catatan De Graaf, disebutkan Raja Mataram itu meminta bantuan Inggris untuk bisa membawa utusannya meminta gelar sultan ke Arab, dan pada 1641 berhasil dipersembahkan gelar sultan tersebut.
Yang menarik dari catatan De Graaf, dikatakan Sultan Agung pernah ingin menunaikan ibadah haji. Namun karena Sultan Agung tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berangkat sendiri, maka Sultan Agung mengirim 18 orang Jawa sebagai pengganti proses ziarahnya ke Makkah.
Namun sialnya perjalanan ini mengalami kegagalan. Bukan karena ditolak oleh otoritas di Makkah sebagaimana dicatat oleh SPJDPN maupun cerita tutur setempat.
Menurut De Graaf, kegagalan ini terjadi karena kapal Inggris itu diserang oleh orang Belanda. Kapal Inggris, Reformation, dicegat oleh kapal Belanda di sebelah barat Pulau Onrust pada 11 Juli 1642. Tercatat 15 dari 18 orang Jawa yang sedianya hendak mewakili Sultan Agung menunaikan ibadah haji itu, mati terbunuh.
Artinya, mengikuti catatan De Graaf, Sultan Agung sendiri selama hayatnya belum pernah ke Makkah. Fakta historis ini memantik sebuah pertanyaan tersendiri. Pertanyaannya ialah, mengapa historiografi Jawa, baik SPJDPN maupun cerita rakyat justru menceritakan sisi sebaliknya?
Susah dicari jawabannya secara pasti. Tapi, sekiranya menyimak warna Islam-Jawa berbeda dari Islam di Timur Tengah, bukan mustahil di balik narasi ini sebenarnya terjadi proses negoisasi antara unsur budaya yang-global atau dominan berhadap-hadapan dengan unsur budaya yang-lokal. Sebuah upaya membangun tafsiran lokal budaya Jawa terhadap ajaran Islam, supaya menjadi selaras dengan nilai-nilai dan karakteristik orang Jawa sendiri.
Kembali pada pemaknaan ritual ziarah kubur orang Jawa. Bagi masyarakat Jawa khususnya varian abangan, ziarah kubur ke makam raja-raja di Imogiri memiliki nilai sebagai pengganti ibadah haji.
Merujuk Michael F Laffan (2003), Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The umma Below the Windsdisebutkan, ziarah ke kompleks makam raja-raja di Imogiri dalam hitungan tertentu, empat puluh kali ziarah, misalnya, bernilai setara dengan ibadah haji ke Makkah.
Makna demikian tentu bukan hanya monopoli kompleks makam raja-raja Imogiri. Laffan juga mencatat, bagi orang Jawa lainnya tujuh kali ziarah ke Masjid Demak, sebuah situs bekas Kerajaan Islam dan sekaligus masjid pertama di Tanah Jawa.(zub/berbagai sumber)