Sultan Agung, Raja Paling Sakti

266 dibaca

Makam Raja-Raja Mataram (4)
Raja paling agung dari wangsa Mataram-Islam adalah Sultan Agung, dia memiliki ilmu kesaktian yang cukup mumpuni. Sultan Agung juga pemeluk Islam yang taat. Apa saja kadigdayaan sang raja?

DIKISAHKAN saking taatnya Sultan Agung memeluk Islam, saban Jumat dia selalu menyempatkan berkunjung ke Makkah. Tiap jumatan tiba, cucu Panembahan Senapati ini selalu sembahyang jumuwah di depan Kakbah.
Demikianlah, dikisahkan oleh naskah Serat Pengetan Jasan Dalem Para Nata—selanjutnya disingkat SPJDPN—maupun cerita rakyat (folklore) yang diyakini masyarakat di seputar kompleks makam raja-raja ini.
Merujuk artikel Sejarah Berdirinya Makam Imogiri, antara Naskah Serat Pengetan Jasan Dalem Para Nata dengan Cerita Rakyat (Kajian Intertektual) karya Dwi Atma Otarini dkk., berdasarkan studi katalog yang mereka lakukan ternyata teks  SPJDPN karya Raden Mas Ngabehi Prajakintaka ini hanya ditemukan di Museum Radya Pustaka di Surakarta. Jenis teks ini berbentuk prosa dengan angka penulisan 1923.
Merujuk artikel itu, disebutkan bahwa awal berdirinya pemakaman Imogiri yaitu tahun 1554 dan selesai tahun 1567.
Sedangkan raja pertama yang dimakamkan yaitu Kanjeng Prabu Anjakrakusuma, atau biasa dipanggil Sultan Agung. Beliau merupakan putra dari Prabu Anjakrawati, sekaligus cucu dari Panembahan Senopati.
Pembangunan makam sebenarnya direncanakan Sultan Agung di Girilaya, namun saat pembangunan sedang berlangsung, pamannya yaitu Kanjeng Panembahan Juminah, yang turut membantu pembangunan makam, jatuh sakit, dan meninggal.
Paman Sultan Agung ini kemudian dimakamkan di Girilaya. Karena itulah, makam untuk Sultan Agung dan keturunannya kemudian dipindahkan ke Imogiri.
Menariknya, baik SPJDPN maupun cerita rakyat nisbi memiliki struktur narasi yang tidak jauh berbeda, terkait sejarah pembangunan kompleks pemakaman ini. Pokok soal bermula dari keinginan Sultan Agung, jika nanti beliau meninggal dunia, bisa diizinkan dikuburkan di tanah suci Makkah.
Permohonan izin dan harapan Sultan Agung ini disampaikan Raden Mas Ransang, demikianlah nama masa muda Sultan Agung, kepada Kyai Imam Safingi. Namun karena satu atau lain hal, permohonan Sultan Agung itu ditolak. Lantas, Kyai Imam Safingi mempersilakan Sultan Agung mengikuti jalannya tanah yang dikepal-kepal dan dilemparkan ke arah tanah Jawa.
Sultan Agung kemudian mengikuti jalannya lemparan tanah. Sebagian besar tanah itu jatuh di puncak Gunung Merak, sisanya yang kecil terlempar ke bukit Girilaya.
Pada mulanya dibangunlah makam di Girilaya. Namun karena tiba-tiba paman Sultan Agung, yaitu Kanjeng Panembahan Juminah, sakit dan meninggal dunia, maka makam Girilaya itu kemudian digunakan untuk mengubur pamannya. Lalu sebagai alternatif, kemudian dibangunlah kompleks pemakaman lainnya di Bukit Merak untuk Sultan Agung, anak dan keturunannya.
Yang membedakan antara SPJDPN dan cerita rakyat ialah, pada cerita rakyat ditemukan adanya keterlibatan tokoh Sunan Kalijaga dan sosok gaib penguasa Laut Selatan yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Selain berperan memediasi dialog dengan Kyai Imam Safingi, juga disebutkan Sunan Kalijaga-lah yang melemparkan tanah dari Mekah ke Pulau Jawa.
Sedangkan peran Kanjeng Ratu Kidul ialah memberikan bantuan kepada Sultan Agung, yang ketika itu merasa kecewa dengan sikap penolakan Kyai Imam Safingi. Konon, Ratu Kidul menyuruh patihnya yaitu Nyai Rara Kidul untuk berangkat ke Makkah menyebarkan wabah penyakit. Walhasil, Makkah menjadi kena “pagebluk” dalam istilah bahasa Jawa. Jatuh sakit pagi, sore mati. Jatuh sakit malam, pagi mati.
Dalam analisis intertekstualnya, Dwi Atma Otarini dkk tiba pada suatu kesimpulan: bahwa alur di dalam naskah SPJDPN lebih sempit dibandingkan alur dalam cerita rakyat. Lebih jauh, cerita rakyat makam Imogiri selain isinya lebih luas dan lengkap juga merupakan teks yang lebih tua. Merujuk sumber juru kunci abdi dalam di makam Imogiri, menurut Dwi Atma Otarini dkk kemungkinan cerita rakyat itu telah ada setelah selesainya dibangunnya kompleks pemakaman pada 1554. Sedangkan teks SPJDPN sendiri baru ditulis pada 1932. Apa yang menarik dicatat ialah, kuatnya aspek anakronistik dalam tuturan cerita itu.(zub/berbagai sumber)