Tafakur, Konsepsi Islam Jalan Menuju Tuhan (8)

271 dibaca

Kajian ilmu batin kali ini sampai pada bab Makrifat. Yaitu bagian tertinggi dari empat tingkatan takwa. Tingkatan yang tertinggi ini memasuki  bidang keruhanian. Karena ruhani, maka kaitannya dengan rasa. Ruhani atau jiwa merasakan yang rasanya tidak bisa dilukiskan dan digambarkan dengan apapun. Karena ia merupakan hakikat yang hakiki.

Empat tingkatan takwa itu masing-masing memahami dan melaksanakan syariat, kemudian meningkat mengamalkan thariqat, meningkat ke hakikat, kemudian mencapai makrifat. Keempatnya tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama yang lain, dan harus ditempuh bagi seseorang yang berjalan menuju Tuhan.

Secara maknawi bisa disebutkan bahwa syariat menyangkut hukum lahiriah (wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah) dalam pelaksanaan menuju Tuhan. Thariqat adalah jalan menuju Tuhan, inti ajarannya adalah dzikir kepada Allah dengan bimbingan seorang Mursyid (guru). Di dunia banyak nama kelompok thariqat sesuai dengan nama pembawanya. Hakikat bermakna kebenaran, kenyataan, asal atau yang sebenar-benarnya. Sedangkan makrifat adalah pengenalan dan penyaksian.

Ustadz Chairul Huda ARM, pengasuh Ponpes Al- Barakah di Kedungpring, Gresik, Jawa Timur, menjelaskan bahwa orang yang menuju makrifat tidak bisa langsung menyelam kedalam samudera makrifat begitu saja. Terlebih dulu harus menjalankan syariatnya secara tekun. Mana yang wajib harus dikerjakan, yang haram dijauhi, yang disunahkan harus dikerjakan, menghindari yang makruh dan mubah. Jika sudah benar, maka harus diperdalam di lautan thariqat. Di jalan tharekat juga tak bisa berjalan sendiri. Harus melalui dibimbing seorang Mursyid.

Di lautan thariqat, seseorang dibimbing untuk melaksanakan syariat yang sebenar-benarnya, dibimbing untuk membersihkan hati (qalbu) dari sifat tercela kemudian diisi dengan akhlaq Allah. Melaksanakan shalat dan puasa wajib maupun sunah, ditambah melaksanakan dzikir tuntunan thariqat baik secara peorangan atau kelompok dalam waktu tertentu secara ikhlas dan istiqamah.

Rasa Nurani     

Jika sudah istiqamah, maka mempelajari hakikat, makna yang sebenarnya. Kebenaran yang dimaksud bukan saja terletak pada akal pikiran dan hati, tetapi juga pada “rasa”. Penjabarannya, misalnya rasa jasmani, yang dapat dirasakan seperti rasa pahit, manis, asam, gurih dan sebagainya. Sedangkan rasa ruhani yang dapat dirasakan seperti sedih, gembira, bingung, kecewa, ceria dan sebagainya.

Selain kedua hal tersebut, masih ada rasa satu lagi, yaitu yang dinamakan “rasa nurani”, yaitu rasa yang dipenuhi oleh cahaya Ketuhanan. Di sini tidak ada rasa pahit atau manis juga tidak berasa sedih dan gembira atau takut. Rasa inilah yang dicari. Sebab, disinilah kebenaran dan disini pula istana kebebasan, yaitu cinta kasih yang hakiki.

Di tingkatan inilah tempat pencariannya. Kata pencarian, mengandung unsur yang mencari dan yang dicari. Siapa yang mencari dan siapa yang dicari? Maka peranan rasa nuranilah yang bekerja. Oleh kalangan ‘alim disebut dengan istilah ‘amrun dzaugi’ (urusan perasaan yang paling dalam). Lepas dari isyarat dan i’tibar, lepas dari raqom (lukisan) dan rasam (gambaran). Karena tidak bisa dilukiskan atau digambarkan. Karenanya mereka berkata (istilah sufi), “Siapa tidak merasa, maka tidak akan tahu”. Apa yang keluar dari kedua bibir (ucapan) adalah hanya sekedar isyarat dan i’tibar.

Samudera Makrifat  

Apabila sudah mampu merasakan rasa nurani, berarti ia sudah memasuki samudera makrifat. Samudera ini tidak hanya sekedar dimasuki, namun harus diarungi sejauh mana  kemampuan merenangi samudera, serta menyelami kedalamannya. Apakah mampu menyelam sampai ke dasar samudera makrifat. Jika tidak sampai ke dasar samudera, maka tidak akan dapat menemukan mutiaranya. Tidak akan menemukan gemerlap Nur Illahi. Apalagi, memasuki dan menyatu dengan cahaya Ketuhanan itu.
Bagaimana cara merenangi dan menyelami samudera makrifat itu? Yaitu harus melalui tobat, wara’i, zuhud, sabar, faqr, tawakal, ridla, cinta. Yang semuanya sudah diulas dan ditayangkan pada tulisan terdahulu dengan istilah terminal-terminal (maqom) penyucian diri.

Di bidang nurani, juga terdapat sejumlah maqom atau maqomat (penghentian). Di setiap terminal kondisi ruhani akan selalu mempengaruhi kondisi jasmani, sehingga akan berpengaruh baik pada perilaku pelakunya. Pada tingkat terminal cinta, karena pengaruh ruhani sedemikian kuatnya mempengaruhi jasmani sehingga orang awam akan memandang kejadian tersebut sebagai kelainan jiwa, bahkan, ada yang menganggap mengalami ketidak-stabilan jiwa (gila) atau ‘gendeng’. Istilah gendeng menurut kalangan laku, merupakan kepanjangan dari tegen (tetep/kuat) marang kang di endeng (yang dipegang). Apa yang dipegang petunjuk/tuntunan. Petunjuk makrifat yang diistiqamahi. Karena keinginan bertemu dengan yang dicintainya sudah sedemikian besarnya sehingga ruhani tidak dapat menampung rasa rindu kemudian tumpah memenuhi jasmani sehingga membuat perilakunya seperti orang gila (gandrung/ tergila-gila).

Orang yang makrifat dengan Allah Ta’ala disebut Sufi. Mereka dalam melaksanakan ibadah salat, puasa, dan dzikir dengan ritual maqom-maqomnya secara khusyuk, ikhlas dan istiqamah. (bersambung) *** Bung Yon N.