Perkawinan Sedarah di Era Yunani Kuno dan Romawi Kuno

425 dibaca

▪︎POSMONEWS.COM,-
PRAKTIK perkawinan sedarah
menjadi tradisi dan budaya era zaman Yunani kuno dan Romawi kuno. Mengapa praktik dan budaya tersebut terjadi?

Dalam dunia modern sekarang ini dikenal sebagai inses, sebuah kata berasal dari bahasa Latin. Inses memliki arti hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang bersaudara kandung dianggap melanggar adat, hukum, atau agama.

Lantas bagaimana praktik perkawinan sedarah yang terjadi di era Yunani kuno dan Romawi kuno?

Seorang sejarawan klasik, Mia Forbes, pernah menulis di The Collector bahwa orang-orang Yunani tidak memiliki kata untuk inses. Namun orang-orang Yunani kuno punya kata metrokoites  berarti seorang pria yang tidur dengan ibunya, hingga thugatromixia berarti tindakan tidur dengan putrinya sendiri.

Tidak ada dari dua kata ini yang bisa langsung kita terjemahkan sebagai ‘inses’. Hubungan semacam itu secara halus disebut sebagai gamos anosios atau gamos asebes, yang secara harfiah berarti ‘persatuan yang tidak suci’.

Dilansir dari laman Nationalgeographic.co.id bahwa
dari Romawi barulah kita mendapatkan istilah modern ‘inses’ atau ‘incest’, yang berasal dari kata Latin ‘insestum’ atau ‘incestum’.

“‘Incestum’ secara harfiah berarti sesuatu yang tidak castum, atau tidak murni, dan oleh karena itu mengacu pada seluruh aktivitas seksual yang dianggap melanggar batas moral, agama, atau hukum,” tulis Mia Forbes.

Inses jelas termasuk dalam kategori insestum. Namun parktik pelanggaran lainnya terkait seks juga bisa masuk kategori tersebut.

Misalnya, jika seorang Perawan Vestal kehilangan keperawanannya yang suci, dia akan dituduh melakukan inses dan dihukum sesuai dengan itu. Kasus yang terkenal, seorang negarawan abad ke-1 Sebelum Masehi, Clodius Pulcher, didakwa melakukan inses ketika dia menyelinap ke dalam upacara keagamaan semuanya perempuan dengan menyamar sebagai perempuan.

Dalam mitologi Yunani maupun Romawi, inses adalah kisah lazim yang terjadi di antara para dewa mereka. Namun, kita harus ingat bahwa dewa-dewa klasik bukanlah model moralitas dan kebaikan dikaitkan dengan kata ‘tuhan’ sekarang. Sebaliknya, mereka masing-masing adalah karakter independen dengan kekuatan mereka sendiri dan sifat buruk mereka sendiri.

“Orang-orang Yunani atau Romawi kuno tidak akan bertujuan untuk meniru tindakan atau perilaku para dewa dalam kehidupan mereka sendiri,” tulis Forbes.

“Meskipun demikian, menarik untuk mempertimbangkan bagaimana penyimpangan seksual dari tokoh-tokoh Ilahi ini mungkin telah memengaruhi persepsi klasik tentang inses.”

Entah kisah para dewa itu memengaruhi orang-orang Yunani dan Romawi atau tidak, faktanya hukum Yunani kuno dan Romawi kuno pernah secara tegas membolehkan praktik perkawinan sedarah. Hukum dari dua negara-kota besar Athena dan Sparta di era Yunani kuno menunjukkan bahwa orang-orang Yunani diizinkan secara hukum untuk menikahi saudara kandung mereka sendiri.

Adapun di era Romawi, tidak jarang ada paman yang menikahi keponakan perempuannya. Praktik ini bahkah dilegalkan atau disahkan setelah Kaisar Claudius menikahi Agripina, putri saudara laki-lakinya.

Meski inses tidak dilarang oleh hukum, dan bahkan diperbolehkan dalam beberapa kasus, ini tidak berarti bahwa itu dipraktikkan secara luas atau dapat diterima secara sosial.

Secara umum, pernikahan di dunia kuno dipandang sebagai urusan pribadi antara dua keluarga, dan sering digunakan untuk bernegosiasi, menjalin aliansi, dan mendapatkan kekuasaan. Akibatnya, negara tidak ikut campur secara langsung dalam urusan perkawinan.

Selain itu, tidak terlalu membantu untuk mengandalkan undang-undang resmi sebagai panduan untuk persepsi kuno tentang inses. Sebab, stigma sosial yang melingkupi inses sudah cukup untuk mencegah siapa pun mempublikasikan perkawinan sedarah mereka.

Meskipun tidak dapat disangkal ada minat yang besar terhadap gagasan inses dalam budaya Yunani dan Romawi, serta bukti bahwa hal itu dapat, dalam beberapa kasus, dipraktikkan secara legal, persepsi keseluruhan tentang hubungan seks saudara kandung tetaplah negatif.

Hubungan seksual antara orang tua dan anak dikutuk secara luas. Ini adalah sikap yang dicontohkan oleh kisah tragedi Oedipus, dan tuduhan inses seringkali cukup untuk merusak reputasi seseorang.

Meskipun tidak menyadari masalah genetik yang sering terjadi akibat inses, orang-orang dahulu juga sudah memiliki firasat bahwa keturunan dari dua kerabat kemungkinan besar akan lahir dengan berbagai kelemahan.

Untuk alasan ini, Socrates mengutuk hubungan antara orang tua dan anak, meskipun ia mengutip perbedaan usia yang tak terhindarkan sebagai penyebab utama kekhawatirannya.

Bahkan jikapun inses tidak dilarang oleh hukum tertulis, orang-orang dahulu berpendapat bahwa inses dilarang oleh hukum para dewa yang tak terucapkan.

Plato, misalnya, berpendapat bahwa seorang ibu, saudara perempuan, atau anak perempuan yang sangat cantik akan dilindungi dari nafsu anak laki-laki, saudara laki-laki, atau ayah mereka oleh ‘hukum tidak tertulis’.

Dengan beberapa pengecualian penting, inses dianggap sangat salah sehingga negara bahkan tidak perlu membuat undang-undang yang menentangnya.▪︎[ZA/AHM]