Islam Hijau

214 dibaca

▪︎Oleh: Ariyanto

Islam hijau. Islam apalagi ini? Memang Islam ada warnanya? Kalau ada, berarti ada Islam warna-warni dong!

Jangan memaknai Islam hijau secara denotatif. Berdasarkan arti harfiah suatu kata tanpa ada satu makna yang menyertainya. Makna kata apa adanya yang mengacu kepada warna hijau. Islam yang berwarna hijau.

Islam hijau ini konotatif. Makna kias. Bukan makna sebenarnya. Sebuah ajaran yang membawa kepada kesejukan, kedamaian, keselamatan, kebahagiaan, dan kasih sayang bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin), baik kepada penghuni alam (manusia, hewan, dan tumbuhan) maupun alam itu sendiri. Ruang yang di dalamnya terdapat kehidupan biotik dan abiotik.

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al Anbiya’: 107)

Kita sebagai umat manusia yang diperintahkan Allah memberikan rahmat bagi alam semesta tentu harus peduli terhadap alam. Menjadi sahabatnya alam. Bukan menjadi musuhnya alam. Mengapa? Karena manusia itu khalifatullah fil ardh. Wakil Allah di muka Bumi yang harus menjalankan sesuatu sesuai kehendak Sang Pencipta. (QS Al Baqarah: 30-34).

Islam hijau bukan antroposentrisme. Yang ingin menjadikan alam sebagai objek untuk dieksploitasi secara membabi buta. Tanpa tanggung jawab moral. Islam hijau lebih dekat kepada ekofeminisme. Manusia, termasuk makhluk hidup lainnya, dan alam menjadi bagian integral yang tak terpisahkan. Posisinya setara. Sama-sama makhluk ciptaan Allah. Manusia diperintahkan untuk merawat, karena Allah menciptakan alam beserta isinya seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan memiliki manfaat untuk manusia.

“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan,” (QS An-Nahl 5).

’’Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (QS Ibrahim: 32)

Seorang Muslim hijau bersama penganut agama lainnya (semua ajaran agama mengajarkan cinta alam) perlu menggalang solidaritas kosmik. Supaya 3P (people, planet, dan profit) mencapai titik keseimbangan. People (manusia) dan planet (alam) tidaklah terpisahkan.

Kalau manusia menjaga alam, maka alam akan menjaga manusia. Kalau hubungan keduanya harmoni, secara otomatis segala kebutuhan manusia tersedia (profit).

Setelah solidaritas kosmik muncul, Muslim hijau dapat melakukan hal-hal konkret. Bisa dimulai dari diri kita masing-masing. Mulai dari hal kecil. Sekarang.

Misalnya, ketika Idul Adha tidak memakai plastik saat pembagian daging kurban. Ini untuk mengurangi timbulan sampah plastik dan berpotensi mencemari lingkungan. Muslim hijau bisa membawa wadah sendiri yang dapat dipakai ulang. Bisa pula mengganti kantong plastik dengan anyaman bambu (besek), daun pisang, daun jati atau wadah lain yang tersedia di daerah masing-masing yang dapat digunakan ulang atau dikomposkan.

Sungguh menggembirakan belakangan ini banyak bermunculan gerakan di kalangan ’’Muslim hijau’’ seperti ecomasjid, ecopesantren, ecohijrah, ecojihad, dan eco-eco lainnya. Ini menunjukkan bahwa kesadaran teologis sudah ada. Ini harus terus dikembangkan.

Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan Shakhikhain: Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ’’Tidak seorang pun muslim yang menanam tumbuhan atau bercocok tanam, kemudian buahnya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang ternak, kecuali yang dimakan itu akan bernilai sedekah untuknya.’’

Tantangan ke depan bukan semakin mudah. Dunia menghadapi perubahan iklim (climate change). Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prof. Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc mendorong kinerja sektor kehutanan menuju tercapainya tingkat emisi GRK (Gas Rumah Kaca) sebesar -140 juta ton CO2e pada 2030.

Ada tiga pijakan dasar utama yang menjadi modalitas kerja Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 yaitu Sustainable Forest Management, Environmental Governance, dan Carbon Governance. Semua langkah aksi telah dirancang secara rinci dan terintegrasi, agar dapat memberikan manfaat ganda berupa pengurangan terukur laju emisi, perbaikan dan peningkatan tutupan kanopi hutan dan lahan, perbaikan berbagai fungsi utama hutan seperti tata air, iklim mikro, ekosistem, konservasi keanekaragaman hayati; sekaligus sebagai sumbangan bagi kesejahteraan, kesetaraan dan kesehatan masyarakat serta tegaknya hukum.

Namun, Pemerintah saja tidak cukup. Perlu berkolaborasi dengan semua pihak, akademisi, LSM, swasta, pers, termasuk dengan ’’Muslim hijau’’. Menteri Siti Nurbaya sudah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquf untuk bekerjasama dalam upaya pelestarian, pemulihan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dan lingkungan hidup.

Perspektif teologis dan sosiologis ini tepat dikedepankan agar pemanfaatannya tetap menjaga keseimbangan dalam masyarakat dan lingkungan, karena sejatinya alam dan hutan titipan Allah yang harus dikelola dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Melestarikan alam pada dasarnya menjaga kelangsungan hidup manusia itu sendiri, karena alam menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Kalau alamnya rusak, rusak pula kelangsungan hidup manusia. Terjadi perubahan iklim, krisis pangan, bencana hidrometeorologis, dan sebagainya.

Maka sudah sewajarnya ’’Muslim hijau’’ menjadi pelopor pelestari alam sebagai perwujudan rasa kasih sayang kita kepada alam. Itu sudah menjadi tanggung jawab moral terhadap alam. (*)