Melihat Kerajaan Tertua di Kalimantan Timur

389 dibaca

KUTAI Martadipura kerajaan bercorak Hindu tertua di Nusantara. Hal itu dinuktikan dengan adanya Prasasti Yupa. Dalam catatan sejarah berdiri sekitar abad ke-4.

Pusat kerajaan ini terletak di Muara Kaman, sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut.

Sedangkan nama Martapura diperoleh dari Kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini.

Sejarah Kerajaan Martadipura adalah tujuh Prasasti Yupa yang ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman.

Penemuan batu bertulis ini tidak sekaligus, melainkan dalam dua tahap dengan rentang waktu lebih dari setengah abad. Tahap pertama, empat prasasti ditemukan pada tahun 1879. Setahun kemudian, keempat prasasti tersebut diangkut ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional, Jakarta).

Tahap kedua, tiga prasasti lainnya ditemukan berselang 61 tahun kemudian, yakni pada tahun 1940. Ketiganya disimpan di museum yang sama.

Selain sumber Prasasti Yupa, terdapat kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Naskah Arab Melayu ini belum dibahas oleh Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, sehingga perihal kelanjutan riwayat Dinasti Mulawarman tidak termuat dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia.

Nama kerajaan tertua di Nusantara umumnya diketahui oleh khalayak adalah Kutai. Tim Penyusun Sejarah Nasional Indonesia mengungkapkan, nama Kutai digunakan oleh para peneliti sejak zaman Belanda untuk menamakan kerajaan Dinasti Mulawarman berdasarkan lokasi penemuan Prasasti Yupa di wilayah Kesultanan Kutai. Tetapi, Prasasti Yupa sendiri tidak menyebutkan nama kerajaannya dengan Kutai.

Dalam catatan sejarah hanya ada lima nama raja yang tercatat. Yakni 3 orang di Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu.

Adapun informasi lain yang menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang autentik, melainkan dari ucapan seorang dukun dalam upacara adat belian.

Maharaja Kudungga Sunting

Nama Maharaja Kundungga dimaknai sebagai nama asli orang Indonesia yang belum dipengaruhi oleh budaya India.

Pada awalnya kedudukan Kundungga adalah sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara turun temurun.

Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli orang Indonesia, yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.

Sementara putranya bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta. Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk India bagian Selatan.

Mulawarman merupakan anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

Surutnya Kutai Martapura Sunting

Kerajaan Kutai Martapura berakhir saat Raja  Maharaja Dermasatia, dia terbunuh dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kertanegara ke-8, Pangeran Sinum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martapura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kertanegara yang saat itu ibu kota di Kutai Lama.

Kutai Kertanegara inilah, pada tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kertanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam.

Sejak tahun 1735 Kerajaan Kutai Kertanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kertanegara.

Sedangkan Prasasti Yupa adalah sebuah prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah Yupa yang memuat prasasti, tetapi baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan.

Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub.

Dalam Prasasti Yupa isinya menceritakan Raja Mulawarman yang memberikan sumbangan kepada para kaum Brahmana berupa sapi yang banyak. Mulawarman disebutkan sebagai cucu dari Kundungga, dan anak dari Aswawarman. Prasasti ini merupakan bukti peninggalan tertua dari kerajaan Hindu di Indonesia.

Nama Kutai umumnya digunakan sebagai nama kerajaan ini meskipun tidak disebutkan dalam prasasti, sebab prasasti ditemukan di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam.

Alih aksara Prasasti Yupa tersebut adalah sebagai berikut:

Prasasti Kutai I

srimatah sri-narendrasya,
kundungasya mahatmanah,
putro svavarmmo vikhyatah,
vansakartta yathansuman,
tasya putra mahatmanah,
trayas traya ivagnayah,
tesan trayanam pravarah,
tapo-bala-damanvitah,
sri mulawarmma rajendro,
yastva bahusuvarnnakam,
tasya yajnasya yupo ‘yam,
dvijendrais samprakalpitah.

“Sang Maharaja Kundungga, yang amat mulia, mempunyai putra yang mashur, Sang Aswawarman namanya, yang seperti Sang Ansuman (dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat dan kuasa. Sang Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas amat banyak. Buat peringatan kenduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan oleh para brahmana”.

Prasasti Kutai II

srimad-viraja-kirtteh
rajnah sri-mulavarmmanah punyam
srnvantu vipramukhyah
ye canye sadhavah purusah
bahudana-jivadanam
sakalpavrksam sabhumidanan ca
tesam punyagananam
yupo ‘yan stahapito vipraih

“Dengarkanlah oleh kamu sekalian, Brahmana yang terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi Sang Mulawarman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah berwujud sedekah banyak sekali, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata pohon kalpa (yang memberi segala keinginan), dengan sedekah tanah (yang dihadiahkan). Berhubung dengan kebaikan itulah maka tugu ini didirikan oleh para Brahmana (buat peringatan)”.

Prasasti Kutai III

sri-mulavarmmano rajnah
yad dattan tilla-parvvatam
sadipa-malaya sarddham
yupo ‘yam likhitas tayoh

“Tugu ini ditulis buat (peringatan) dua (perkara) yang telah disedekahkan oleh Sang Raja Mulawarman, yakni segunung minyak (kental), dengan lampu serta malai bunga”.

Prasasti Kutai IV

srimato nrpamukhyasya
rajnah sri-mulawarmmanah
danam punyatame ksetre
yad dattam vaprakesvare
dvijatibhyo’ gnikalpebhyah.
vinsatir ggosahasrikam
tansya punyasya yupo ‘yam
krto viprair ihagataih.

“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang suci (bernama) Waprakeswara. Buat (peringatan) akan kebaikan budi sang raja itu, tugu ini telah dibuat oleh para Brahmana yang datang ke tempat ini”.

Dari Prasasti Yupa dalam upacara pengorbanan berasal dari abad ke-4. Yupa merupakan sebuah monumen yang terbuat dari batu berisi tulisan-tulisan mengenai Raja Mulawarman.

Terdapat tujuh buah Yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Yupa dibuat oleh para brahman atas kedermawanan Raja Mulawarman. Dalam agama Hindu, sapi tidak disembelih seperti kurban yang dilakukan umat Islam.

Dari salah satu Yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam Yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana.
**(zi/wk)