DOKUMEN POLEMIK NOMINASI DENNY JA UNTUK NOBEL SASTRA 2022

146 dibaca

♦Pengantar Editor Buku

⇒ Oleh: Anick HT

Ferran Adria adalah seorang Chef dari Spanyol. Namun darinya, lahir renungan yang layak dikutip: “Sebuah inovasi, apalagi yang kontroversial, akan melahirkan polemik. Kehadiran opini pro dan kontra, yang kadang emosional dan membelah, acapkali mewarnai sebuah inovasi.”

Demikianlah yang terjadi di ruang publik Indonesia, sepanjang akhir Desember 2021 hingga akhir Januari 2022. Puluhan esai dan ratusan komentar saling silang di media sosial Indonesia soal satu isu: undangan The Swedish Academy kepada Komunitas Puisi Esai, dan dicalonkannya Denny JA untuk Nobel Sastra dari komunitas tersebut.

Buku ini mendokumentasikan 25 tulisan terpilih saja dari polemik itu. Sebanyak 21 tulisan berbentuk esai yang pro, netral, dan kritis. 3 tulisan lainnya adalah kutipan berita.

Sejauh itukah perjalanan puisi esai, yang digagas Denny JA di tahun 2012 (sepuluh tahun lalu)? Mulai dari kontroversi klaim puisi esai sebagai genre baru, lahirnya angkatan puisi esai, masuknya puisi esai sebagai kata baru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hingga panitia Nobel The Swedish Academy mengundang komunitas puisi esai untuk mencalonkan sastrawan Indonesia.

-000-

Apa yang menarik dari sebuah kontroversi? Munculnya dinamika, diskursus, yang menggerakkan para manusia mempercakapkan sesuatu.

Karena itu, dalam strategi marketing, controversial marketing menjadi salah satu pilihan dalam membangun brand. Idenya, semakin kontroversial suatu cerita di balik produk atau karya tersebut, semakin layak diperbincangkan, maka semakin berhasillah marketing tersebut.

Dan ketika gagasan yang memicu kontroversi itu kuat dan benar, maka kontroversi itu menjadi kampanye yang sangat efektif untuk melakukan perubahan.

Inilah yang terjadi hari ini dengan hentakan-hentakan tak biasa yang dilakukan oleh Denny JA.

Hentakan pertama dimulai ketika ia memperkenalkan genre baru bertajuk puisi esai, yang dengan segera memicu penolakan besar dari sebagian pegiat sastra yang merasa mapan.

Dunia kesusastraan Indonesia yang sepi sunyi sekian lama, tiba-tiba riuh ramai dengan perdebatan yang layak dicatat sebagai dinamika baru.

Sebagai pemicu kontroversi, Denny JA telah sangat kuat dengan gagasannya. Dan ia benar ketika menyatakan bahwa dunia sastra perlu diramaikan dengan inovasi, dan perlu dibumikan agar tak kesepian di atas menara gading. Karena itu, selain mendapat penolakan, gagasan puisi esai juga disambut baik oleh banyak kalangan lain.

Dan Denny JA persisten dengan gagasan besar itu. Lema puisi esai berhasil masuk dalam entri Kamus Besar Bahasa Indonesia beberapa tahun berikutnya.
Pun gagasannya untuk membawa puisi dan sastra ke tengah gelanggang diskursus publik.

Di tengah atmosfir politik yang menyesakkan dada, puisi esai hadir dengan segala gairah dan inovasinya, sehingga ribuan karya puisi esai dilahirkan dari seantero nusantara. Bahkan puisi esai meluas ke Asia Tenggara.

Puisi esai menjadi sebuah gerakan sastra yang hingar. Ia menyeruak masuk ke dalam segmen yang luas: sastrawan, penulis, politisi, guru sekolah, siswa sekolah.

Kita tahu betul, dalam gagasan puisi esai Denny JA terdapat visi besar yang sangat substansial: visi kesetaraan, anti-diskriminasi, kemanusiaan.

Karena itu, ribuan puisi esai yang terlahir memiliki keragaman tema dan pesan kemanusiaan yang sangat kaya, yang juga tak biasa dilirik oleh genre sastra yang lain.

Inilah dinamika itu. Inilah perubahan itu. Hentakkan berikutnya adalah masuknya Denny JA sebagai bagian dari 33 Tokoh Sastra Yang Paling Berpengaruh, yang juga memicu polemik panjang hingga penolakan dari beberapa komunitas sastra.

Dan kali ini, di ujung tahun 2021 dan awal tahun 2022, sekali lagi Denny JA menghentak dengan berita undangan The Swedish Academy kepada Komunitas Puisi Esai. Lalu komunitas puisi esai mencalonkan Denny JA menjadi kandidat penerima Nobel Sastra.

Selain romantisme bahwa Pramoedya Ananta Toer pernah dicalonkan sebagai kandidat penerima Nobel Sastra, hampir tak pernah ada perbincangan bahwa suatu saat Nobel Sastra akan hinggap ke tangan manusia Indonesia.

Pemikiran tentang Nobel Sastra untuk manusia Indonesia di benak kita mungkin setara dengan bayangan bahwa Timnas Sepakbola Indonesia menjadi finalis Piala Dunia.

Itu hampir tak terpikirkan. Tak terbayangkan.
Tapi apakah yang tak terpikirkan tak mungkin dicapai? Atau justru karena tak terbayangkan, maka justru tak ada upaya untuk mewujudkan itu?

Nah, Denny JA mendobrak kebekuan pikir semacam itu. Baginya, Indonesia layak berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam bidang apapun.

Indonesia memiliki segalanya untuk berdiri tegak dengan negara super power mana pun. Sastrawan Indonesia tak kalah dengan sastrawan mana pun.

Yang kita perlukan hanya mengalahkan mental di dalam diri kita sendiri.
Lalu, sekali lagi, ramailah perbincangan tentang Nobel Sastra. Tentang kemungkinan manusia Indonesia memperolehnya. Tentang betapa naifnya jika kita menggariskan kemustahilan sastrawan Indonesia memperoleh penghargaan prestisius tersebut.

Entah terkait atau tidak, kita lihat kemudian muncul gerakan berikutnya yang mengusulkan Goenawan Mohamad sebagai kandidat penerima Nobel Sastra 2023. Sangat mungkin muncul gerakan yang mencalonkan sastrawan lain lagi: Sutardji Calzoum Bachry, atau Achmad Tohari, atau Taufik Ismail.

Sampai di sini saja sudah seharusnya kita berterima kasih kepada Denny JA. Upaya mendinamisasi dunia kesusastraan kita sudah sangat berhasil dalam hal ini.

Upaya menstimulasi penulis dan sastrawan Indonesia untuk berpikir bahwa kita juga berhak berpikir tentang hadiah Nobel Sastra bagi manusia Indonesia juga sudah berbuah.

Jika Denny JA akhirnya berhasil mendapatkan Nobel Sastra, ia akan menjadi orang Indonesia, dan orang Asia Tenggara pertama yang menerimanya. Ini akan berkontribusi mengubah mental bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Jika pun akhirnya Denny JA tahun ini dianggap belum layak menerimanya, ia sudah meletakkan karpet dan membuka pintu pertama untuk bangsa Indonesia yang besar ini, bahwa kita layak memperjuangkannya, layak berpikir untuk mencapainya.

-000-

Buku ini disunting sebagai upaya untuk merekam jejak diskursus dan dinamika nominasi nobel sastra yang saat ini terjadi. Juga untuk menstimulasi percakapan berikutnya yang membuat dunia kesusastraan kita hidup, bertumbuh, dan mengasyikkan.

Layaknya kontroversi, tak semua yang termuat dalam buku ini mendukung sepenuhnya Denny JA sebagai kandidat penerima Nobel Sastra. Namun menarik bahwa artikel-artikel dalam buku ini melihat persoalan Nobel Sastra ini dengan berbagai sudut pandang dan kaca mata, terlepas apakah mereka mendukung atau menolak pencalonan Denny JA.

Tulisan Marwanto tentang Tahta Dunia Sastra misalnya. Baginya, yang disebut tahta adalah pencapaian karya dari masing-masing penulis.

Ia melontar pertanyaan retoris yang menggelitik: “Apa lahirnya puisi-puisi Chairil Anwar menegasikan karya para sastrawan Pujangga Baru? Apa munculnya puisi-puisi mantra dari Sutardji membuat orang berpaling dari puisi Chairil Anwar? Apa kehadiran puisi gelapnya Afrizal menjadikan puisi Chairil dan Sutardji tampak “usang”? Apa lahirnya novel Eka Kurniawan membuat orang berpaling dari karya Pramoedya atau Ahmad Thohari? Jawabannya tidak.”

Ada pula tulisan Ramzah Dambul, Profesor dari Sabah yang melihat puisi esai sebagai sesuatu yang sangat potensial menjadi masa depan diplomasi sastra nusantara. Menurutnya, “Genre puisi esai bukan saja membawa format segar (kacukan essei), tetapi juga mendukung advokasi lebih sejagat (diplomasi sastra dan budaya).”

Dalam konteks ini, menurutnya, “Hadiah Nobel Sastra bukan berpaksi mutlak pada merit sastra semata-mata. Tapi yang lebih utama, Hadiah Nobel Sastra turut mencari keunikan calon dari segi pengalaman sastra dan gagasan yang diperjuangkan.”

Juga ada tulisan menarik Prof. RM Teguh Supriyanto yang secara khusus membandingkan karakter karya yang dimiliki oleh Denny JA dan Pramoedya Ananta Toer sehingga keduanya dianggap layak mendapatkan Nobel Sastra.

Selamat membaca. Selamat meramaikan dunia sastra kita.[]

Februari 2022