Cerita Orang China di Jalur Rempah Nusantara

114 dibaca

“Kapal dagang yang melewati perairan China dan Asia Tenggara. Dua bendera di kapal menunjukkan hubungan antara Kesultanan Islam di Nusantara dengan Tiongkok.”

Jalur Rempah Nusantara tak hanya berperan memperkenalkan rempah-rempah asal Indonesia ke seluruh dunia, tapi juga membawa komoditas dari seluruh dunia ke Indonesia. Salah satu komoditas yang bisa masuk ke Indonesia berkat jalur ini adalah kacang—kendati kacang bukanlah tergolong rempah.

Kacang tanah yang biasa kita konsumsi saat ini diyakini dibawa oleh orang-orang Cina, saat wilayah Nusantara ini masih dipimpin oleh banyak kerajaan. Sebuah gambar dari Jan Huyghen van Linschoten pada tahun 1596 menunjukkan bahwa para pedagang dari Tionghoa telah berkongsi dan berkolaborasi dengan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.

Seperti dilansir Nationalgeographic.co.id dalam
catatan terkait keberadaan kacang tanah, setidaknya sudah ada di Nusantara sejak abad ke-17.
Dalam sketsa di Herbarium amboinense edisi 1741-1750 yang dibuat oleh Georg Eberhard Rumphius (Rumpf), ahli botani di zaman Hindia Belanda, disebutkan bahwa banyak tanaman kacang tanah sudah tumbuh subur di wilayah Maluku.

“Jadi Rumphius waktu dia keliling-keliling di Indonesia timur, daerah Sulawesi, Ambon, Ternate, Tidore, dan lan-lain, dia sudah menjumpai itu kacang di akhir abad 17, menjelang abad 18,” ujar Ary Budiyanto, antropolog sekaligus peneliti kuliner dari Universitas Brawijaya dalam acara webinar bertajuk Djedjak Katjang Tjina di Noesantara pada Jumat, 26 Maret 2021.

“Dan pada saat yang sama Rumphius juga bilang bahwa di abad yang sama kacang sudah banyak ditemukan di Batavia dan dibawa oleh orang-orang Cina. Ditanam di sana dan dijadikan minyak kacang, selain untuk konsumsi camilan,” tambah Ary.

Lombard dalam tulisannya pada 1996 menjelaskan bahwa pada pertengahan abad ke-17 Rumphius telah mencatat keberadaan tumbuhan kacang di kepulauan Ambon dan Maluku. Rumphius menduga kacang ini dibawa dari Jepang oleh orang Cina dan dia mencatat bahwa kacang ini banyak dibudidayakan di Cina dan Makassar dan kemudian diketahui pula sudah banyak dibudidayakan di Batavia.

Namun, menurut Lombard dalam buku Nusa Jawa: Jaringan Asia dan Aak dalam buku terbitan Kanisius berjudul Kacang Tanah, informasi awal masuknya komoditas kacang tanah di Batavia dalam versi resmi Belanda adalah terjadi pada abad 18, tepatnya pada tahun 1755.

Lombard tetap menyebut bahwa kacang ini mulanya dibawa dan dikenalkan oleh orang-orang Cina. Dan pada tahun 1778 kacang sudah menyebar ke daerah sekitar pesisir Jawa saat perkebunan tebu semakin marak.

Sejak dulu kacang sebenarnya adalah tanaman yang banyak tumbuh berbagai belahan dunia. Tanaman ini kuat dan mudah tumbuh di banyak tanah. Tanaman ini diyakini berasal dari Amerika Selatan, tepatnya di daerah Brasilia, namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis.

Masuknya kacang tanah ke Indonesia pada abad ke-17 diperkirakan karena dibawa oleh pedagang-pedagang Spanyol, Cina, atau Portugis sewaktu melakukan pelayarannya dari Meksiko ke Maluku setelah tahun 1597.

“Pada tahun 1863 Holle memasukkan kacang tanah dari Inggris dan pada tahun 1864 Scheffer memasukkan pula kacang tanah dari Mesir. Republik Rakyat Tiongkok dan India kini merupakan penghasil kacang tanah terbesar dunia,” catat Ary berdasarkan hasil studi literaturnya.

Dalam catatan kuno Cina abad ke-16, kacang disebut sebagai huā shēng. Ini merupakan kependekan dari luòhuāshēng yang secara harfiah berarti “benih lahir dari bunga yang jatuh ke tanah”.

Menurut catatan Rumphius, kacang juga memiliki nama sebutan yang berbeda-beda di berbagai negara. Di Brasil, kacang dikenal dengan nama mundubi. Orang-orang dari Peru menyebutnya lerio manobi, sementara orang Spanyol menyebutnya ibimani.

Abraham Jacob van der Aa dalam buku Nederlands Oost-Indië of Beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indië menguraikan bahwa orang-orang Cina dan Jawa pada abad ke-19 ini paling sering memanfaatkan kacang untuk diekstraksi dan kemudian diambil minyaknya.

Cara pembuatannya, van der Aa uraikan, kacang setelah diambil dari dalam tanah, dicuci bersih dan dikeringkan sebentar, lalu dipipil dan dikeringkan lagi. Setelah cukup kering, kacang diuapi dan dipres untuk diambil minyaknya.
Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk

Usaha minyak kacang ini banyak ditemukan sekitar Batavia serta perkotaan dan pedalaman pesisiran Jawa yang menurut van der Aa menghasilkan bau yang sangat tidak enak atau gampang tengik. Minyak kacang ini banyak digunakan untuk keperluan masak-memasak seperti penggunaan minyak sawit saat ini.

Bahkan, minyak kacang di awal abad ke-19 hadir sebagai satu dari syarat sajen manten yang bernama Sajen Majang Patanen, yakni kewajiban membawa dua gendul (botol) minyak kacang. Sementara untuk sajen ruwatan cukup satu gendul kebak (satu botol penuh) minyak kacang.

“Jadi minyak kacang sudah menjadi industri yang besar di abad 18 sampai 19. Bahkan tahun 1930 di Majalah Kejawen orang Jawa masih mengenal minyak kacang untuk masak. Boleh tumis, boleh goreng, tapi kita masih mengonsumsi minyak kacang,” tutur Ary.

Sayangnya, orang-orang Indonesia saat ini sudah tak lagi menggunakan minyak kacang dan lebih beralih ke minyak sawit yang praktik ekspansi perkebunannya terus menjadi kontroversi. “Dan setelah (Indonesia) merdeka hilanglah itu semua (minyak kacang),” ujar Ary.

Dalam perkembangannya kacang kemudian masuk ke menu makanan Jawa menjadi alternatif kegurihan wijen yang mahal, kemiri yang pucat, maupun kacang lainnya dalam persausan pecelan.

Kacang tak lagi dimanfaatkan sebagai minyak, tapi masih banyak dipakai sebagai persausan berbagai makanan seperti pecel, gado-gado, ketoprak, karedok, sate, batagor, siomai, dan banyak lainnya.**(ika)