Fatwa MUI: Hukum Menunda Berhaji bagi yang Mampu

384 dibaca

Berdasarkan data Kependudukan 2010 dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017, terdapat 13 juta muslim Indonesia yang sudah tergolong istitha’ah (mampu) secara ekonomi untuk daftar haji, tetapi tidak mendaftarkan diri berhaji.

Kondisi di atas muncul pertanyaan tentang hukum orang tidak mendaftar haji padahal sudah mampu.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang perlu menetapkan fatwa tentang penundaan pendaftaran haji bagi yang sudah mampu, untuk dijadikan sebagai pedoman.

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, (bagi) orang yang sanggup (istitha’ah) mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran [3]: 97).

Komisi Fatwa MUI

Dari Ibnu Umar ra. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Islam itu didirikan atas lima perkara. Yaitu, bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa pada bulan Ramadan, menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi yang mampu melakukannya.” (Mutafaqun Alaih)

Kaidah Fikih dan Ushul Fikih

Pada dasarnya perintah (Amr) itu tidak menuntut dilaksanakan
segera. Menolak mafsadah didahulukan dari pada mencari
kemaslahatan. Tindakan pemimpin [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan.

1. Pendapat para imam tentang kewajiban haji, apakah ‘ala al-faur
atau ‘ala al-tarakhi, antara lain:

a. Pendapat al-Syarqawi Ibnu ‘Abidin dalam kitab Radd alMukhtar (2/462):

(dalam masalah yang hampir sama) yaitu tentang mendahulukan haji dari pada nikah. Menurut Imam Abu Hanifah kewajiban haji itu tidak boleh ditunda jika sudah mampu, termasuk mendahulukan ibadah haji dari pada menikah. Masalah ini dikupas Panjang lebar dalam kitab alHidayah.

b. Pendapat Ibnu al-Hajj al-Maliki dalam kitab al-Madkhal
(4/214):

Barangsiapa yang memiliki kendaraan dan biaya yang dapat menyampaikannya ke Baitullah, kemudian dia tidak berhaji sampai dia meninggal, maka dia mati dalam keadaan yahudi atau nashrani. Hal itu berdasarkan firman Allah.

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup (istitha’ah) mengadakan perjalanan ke Baitullah”.

Kecuali dia kedua orang tuanya atau salah satunya tidak mengizinkan karena butuh ditemani (diasuh), maka boleh baginya menunda selama satu atau dua tahun, sebagaimana penjelasan yang sudah lewat. Hal ini jika umurnya belum 60 tahun. Jika sudah berumur 60 tahun maka dia wajib menyegerakan ibadah haji dan tidak mengakhirkan dengan alasan orang tua lainnya dan tidakperlu istikharah.

c. Pendapat Imam al-Syafii yang terdapat dalam kitab alMajmu karya Imam al-Nawawi (7/102):

Disunnahkan bagi orang yang sudah mampu untuk menyegerakan ibadah haji, karena berbuat baik harus segera disegerakan dan karena apa yang terjadi di hari esok tidak ada yang tahu. Menunda haji satu atau dua tahun di saat sudah mampu hukumnya boleh, karena haji diwajibkan pada tahun keenam hijriyah dan Nabi SAW. melaksanakan haji pada tahun ke sepuluh hijriyah dengan tanpa uzur.

d. Pendapat al-Haitami dalam kitab Tuhfatu al-Muhtaj (4/4):

“Haji dan Umrah itu tidak harus dilakukan pada saat orang telah mampu (karena haji adalah wajib muwassa’) dengan syarat dia harus berniat untuk menunaikannya di waktu mendatang serta adanya dugaan kuat bahwa ia masih mampu untuk melakukanny. Haji dan umrah dapat menjadi wajib mudhayyaq kafena; nadzar, khawatir sakit, khawatir hilangnya harta, dan sebab mengqadla haji atau umrah yang fasid. Jika seseorang menunda haji di saat mampu kemudian dia mati dia termasuk orang fasik terhitung sejak waktu penundaan sampai hari matinya. Semua kesaksiannya ditolak dan keputusannya dibatalkan.

e. Penjelasan Ibnu Hayyan dalam kitab al-Bahru al-Muhith (3/340):

Menurut Abu Umar bin al-Barr, dalil yang menjadi dasar pendapat boleh menunda pelaksanaan haji adalah ijma’ para ulama yang tidak menghukumi orang yang sudah mampu dan menunda hajinya dengan kata fasik. Hal ini berbeda dengan orang yang kelewatan waktu shalat maka dia wajib men-qadlanya.

Para ulama juga sepakat, bahwa orang yang sudah istithaah tetapi hajinya dilaksanakan setelah beberapa tahun, tidak dianggap hajinya sebagai haji qadla.

Tidak ada riwayat yang jelas tentang batas waktu yang ditolelir pelakasaan haji dengan ‘tarakhi”, kecuali riwayat dari Sahnun, bahwa jika seseorang yang istithaah dan telah berumur 60 tahun dan tidak berhaji maka dihukumi sebagai orang fasik.

4. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tahun 2018 tentang Istitha’ah Kesehatan Haji;

5. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Bidang Fatwa pada Musyawarah Nasional MUI X pada tanggal 26 November 2020.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

Pertama:

1. Wajib ‘ala al-tarakhi adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak mesti disegerakan.

2. Wajib ‘ala al-faur adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya mesti disegerakan.

Kedua:

Ketentuan Hukum

1. Ibadah haji merupakan kewajiban ‘ala al-tarakhi bagi orang muslim yang sudah istitha’ah namun demikian disunnahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.

2. Kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha’ah) menjadi wajib ‘ala al-faur jika:

a. sudah berusia 60 tahun ke atas;

b. khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji; atau

c. qadla’ atas haji yang batal.

3. Mendaftar haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada angka 2, hukumnya wajib.

4. Menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada angka 2, hukumnya haram.

5. Orang yang sudah istitha’ah tetapi tidak melaksanakan haji sampai wafat wajib dibadalhajikan.

6. Orang yang sudah istitha’ah dan sudah mendaftar haji tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib dibadalhajikan.

Ketiga:

Rekomendasi

Pemerintah membuat kebijakan untuk memprioritaskan calon jamaah yang sudah masuk kategori wajib ‘ala al-faur.

Keempat:

Ketentuan Penutup

1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk menyebarluaskan fatwa ini. (za)

• Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional X pada tanggal 10-12 Rabi’ul Akhir 1442 H/25-27 November 2020, setelah :