Ronggolawe Murka, Nambi Dijadikan Patih Amangkubumi

192 dibaca

Legenda Berdirinya Kota Tuban, Jawa Timur (2)

Sejarah telah mencatat bahwa ketidakpuasan Raden Haryo Ronggolawe atas putusan Raden Wijaya yang melantik Nambi sebagai Patih Amangkubumi memantik terjadinya pertumpahan darah di Sungai Tambak Beras.

Penegakan keadilan dengan cara Raden Haryo Ronggolawe tersebut, mengakibatkan dirinya gugur di medan pertempuran. Menurut Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:18) “Beliau wafat pada tahun 1217 Saka atau 1295 M”.

Bupati ke-3: Raden Sirolawe

Serat Dhamarwulan (Hikayat Tanah Jawa) menerangkan bahwa Raden Haryo Ronggolawe mempunyai dua orang putra: 1. Raden Buntaran dan 2. Raden Watangan. Padahal di dalam serat Babad Tuban diterangkan bahwa putra Ronggolawe hanya semata wayang bernama Raden Sirolawe, beliau inilah yang menggantikan ayahanda sebagai adipati Tuban. Mungkin karena berdasarkan etika garis keturunan, putra tertualah yang berhak menjadi adipati (penguasa). Bisa jadi Raden Buntaran adalah Raden Sirolawe yang menjalankan pemerintahan hingga ± 15 tahun sampai meninggal dunia.

Bupati ke-4: Raden Haryo Sirowenang

Sepeninggal Raden Sirolawe yang menggantikan sebagai adipati adalah puteranya bernama Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 43 tahun.

Bupati ke-5: Raden Haryo Lena

Adipati Tuban ke-5 adalah Raden Haryo Lena, putera Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 52 tahun.

Bupati ke-6: Raden Haryo Dikara

Raden Haryo Dikara menggantikan ayahnya, Raden Haryo Lena. Lama pemerintahannya ± 18 tahun. Adipati ke-6 ini dikarunia dua putrera yaitu Raden Ayu Haryo Tedjo dan Kyai Ageng Ngraseh. Raden Ayu Aryo Tedjo diperistri oleh “Syeh Ngabdurrahman, putra Syeh Ngali = Syeh Jalaludin ( Kyai Makam Dowo).

Bupati ke-7: Raden Haryo Tedjo

Pengganti Raden Haryo Dikara adalah menantunya (suami  Raden Ayu Haryo Tedjo) yaitu Syeh Ngabdurachman, putera Syeh Djalaludin dari Gresik. Setelah menjabat adipati ke-7,  Syeh Ngabdurachman bergelar Raden Haryo Tedjo. Lama pemerintahannya ± 41 tahun.

Bupati ke-8: Raden Haryo Wilatikta

Sepeninggal Raden Haryo Tedjo, penggantinya adalah puteranya bernama Raden Haryo Wilatikta. Lama pemerintahan  Raden Harya Wilatikta ± 40 tahun. Pada masa pemerintahannya, ada sesuatu yang patut menjadi bahan diskusi tentang sosok Raden Haryo Wilatikta ini. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:19) dengan merujuk keterangan Tome Pires ketika berkunjung ke Tuban menuliskan;

“Keluarga rajanya sekalipun beragama Islam, sejak pertengahan abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan maharaja Majapahit di pedalaman. Sebagian penduduk kota Tuban pada jaman itu masih kafir (belum masuk Islam, red.). Menurut musafir itu, raja Tuban pada waktu itu disebut Pate Vira. Ia bukan seorang Islam yang taat meskipun  kakaknya masuk Islam.”

Selanjutnya Suwardjan dan Siti Alfiah menjelaskan bahwa kata Vira kita kenal dengan kata Wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi, dapat juga Vira dihubungkan dengan Wilatikta. Jika itu benar Wilatikta, maka perlu kita bertanya, mengapa putra seorang ulama besar Syeh Ngabdurrachman yang bergelar Raden Haryo Tedjo menjadi seorang muslim yang tidak taat?

Pada bagian lain Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) dengan mengutip pendapat H.J. de Graaf mengemukakan, bahwa sulit dibayangkan bagaimana bisa terjadi Aria dari Tuban yang beragama Islam itu, sebagai pejabat terkemuka di wilayah kerajaan Majapahit yang sebagian besar belum memeluk agama Islam.

Keberatan ini tampaknya cukup beralasan karena setiap tahun pada waktu yang ditetapkan, adipati Tuban harus tinggal untuk beberapa lama di Majapahit dan tidak mungkin membebaskan diri dari upacara-upacara ritual non-Islam. Upacara-upacara itu merupakan bagian dari politik Kerajaan Majapahit.

Tampaknya, Wilatikta adalah abdi yang lebih setia kepada rajanya daripada kepada agamanya. Sangat masuk akal jika perbedaan paham ini sampai membuat putranya yaitu Raden Said meninggalkan Tuban untuk tinggal di Demak. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) mempertegas, “Jelas antara R. Harya Wilatikta dan R. Sahid ada pertentangan besar.”

Analisis ini diperkuat dengan kondisi objektif di Makam Sunan Bonang. Sebelah kiri Makam Sunan Bonang antara lain bersemayam Kyai Ageng Ngraseh dan Pangeran Balewot. Sedangkan di sebelah kanan bersemayam Kyai Ageng Botobang dan Kyai Ageng Gegilang.(zi/berbagai sumber)

Legenda Berdirinya Kota Tuban, Jawa Timur (2)

Ronggolawe Murka, Nambi Dijadikan Patih Amangkubumi

Sejarah telah mencatat bahwa ketidakpuasan Raden Haryo Ronggolawe atas putusan Raden Wijaya yang melantik Nambi sebagai Patih Amangkubumi memantik terjadinya pertumpahan darah di Sungai Tambak Beras.

Penegakan keadilan dengan cara Raden Haryo Ronggolawe tersebut, mengakibatkan dirinya gugur di medan pertempuran. Menurut Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:18) “Beliau wafat pada tahun 1217 Saka atau 1295 M”.

Bupati ke-3: Raden Sirolawe

Serat Dhamarwulan (Hikayat Tanah Jawa) menerangkan bahwa Raden Haryo Ronggolawe mempunyai dua orang putra: 1. Raden Buntaran dan 2. Raden Watangan. Padahal di dalam serat Babad Tuban diterangkan bahwa putra Ronggolawe hanya semata wayang bernama Raden Sirolawe, beliau inilah yang menggantikan ayahanda sebagai adipati Tuban. Mungkin karena berdasarkan etika garis keturunan, putra tertualah yang berhak menjadi adipati (penguasa). Bisa jadi Raden Buntaran adalah Raden Sirolawe yang menjalankan pemerintahan hingga ± 15 tahun sampai meninggal dunia.

Bupati ke-4: Raden Haryo Sirowenang

Sepeninggal Raden Sirolawe yang menggantikan sebagai adipati adalah puteranya bernama Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 43 tahun.

Bupati ke-5: Raden Haryo Lena

Adipati Tuban ke-5 adalah Raden Haryo Lena, putera Raden Haryo Sirowenang. Lama pemerintahannya ± 52 tahun.

Bupati ke-6: Raden Haryo Dikara

Raden Haryo Dikara menggantikan ayahnya, Raden Haryo Lena. Lama pemerintahannya ± 18 tahun. Adipati ke-6 ini dikarunia dua putrera yaitu Raden Ayu Haryo Tedjo dan Kyai Ageng Ngraseh. Raden Ayu Aryo Tedjo diperistri oleh “Syeh Ngabdurrahman, putra Syeh Ngali = Syeh Jalaludin ( Kyai Makam Dowo).

Bupati ke-7: Raden Haryo Tedjo

Pengganti Raden Haryo Dikara adalah menantunya (suami  Raden Ayu Haryo Tedjo) yaitu Syeh Ngabdurachman, putera Syeh Djalaludin dari Gresik. Setelah menjabat adipati ke-7,  Syeh Ngabdurachman bergelar Raden Haryo Tedjo. Lama pemerintahannya ± 41 tahun.

Bupati ke-8: Raden Haryo Wilatikta

Sepeninggal Raden Haryo Tedjo, penggantinya adalah puteranya bernama Raden Haryo Wilatikta. Lama pemerintahan  Raden Harya Wilatikta ± 40 tahun. Pada masa pemerintahannya, ada sesuatu yang patut menjadi bahan diskusi tentang sosok Raden Haryo Wilatikta ini. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:19) dengan merujuk keterangan Tome Pires ketika berkunjung ke Tuban menuliskan;

“Keluarga rajanya sekalipun beragama Islam, sejak pertengahan abad ke-15 tetap mengadakan hubungan baik dengan maharaja Majapahit di pedalaman. Sebagian penduduk kota Tuban pada jaman itu masih kafir (belum masuk Islam, red.). Menurut musafir itu, raja Tuban pada waktu itu disebut Pate Vira. Ia bukan seorang Islam yang taat meskipun  kakaknya masuk Islam.”

Selanjutnya Suwardjan dan Siti Alfiah menjelaskan bahwa kata Vira kita kenal dengan kata Wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi, dapat juga Vira dihubungkan dengan Wilatikta. Jika itu benar Wilatikta, maka perlu kita bertanya, mengapa putra seorang ulama besar Syeh Ngabdurrachman yang bergelar Raden Haryo Tedjo menjadi seorang muslim yang tidak taat?

Pada bagian lain Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) dengan mengutip pendapat H.J. de Graaf mengemukakan, bahwa sulit dibayangkan bagaimana bisa terjadi Aria dari Tuban yang beragama Islam itu, sebagai pejabat terkemuka di wilayah kerajaan Majapahit yang sebagian besar belum memeluk agama Islam.

Keberatan ini tampaknya cukup beralasan karena setiap tahun pada waktu yang ditetapkan, adipati Tuban harus tinggal untuk beberapa lama di Majapahit dan tidak mungkin membebaskan diri dari upacara-upacara ritual non-Islam. Upacara-upacara itu merupakan bagian dari politik Kerajaan Majapahit.

Tampaknya, Wilatikta adalah abdi yang lebih setia kepada rajanya daripada kepada agamanya. Sangat masuk akal jika perbedaan paham ini sampai membuat putranya yaitu Raden Said meninggalkan Tuban untuk tinggal di Demak. Suwardjan dan Siti Alfiah (1987:20) mempertegas, “Jelas antara R. Harya Wilatikta dan R. Sahid ada pertentangan besar.”

Analisis ini diperkuat dengan kondisi objektif di Makam Sunan Bonang. Sebelah kiri Makam Sunan Bonang antara lain bersemayam Kyai Ageng Ngraseh dan Pangeran Balewot. Sedangkan di sebelah kanan bersemayam Kyai Ageng Botobang dan Kyai Ageng Gegilang.(zi/berbagai sumber)