WA ke Anak

188 dibaca

Banyak sekali pertanyaan seperti ini: mengapa angka kematian akibat Covid-19 begitu tinggi di Indonesia? Sampai 8 persen?
Bahkan ada yang menyebut prosentase kematian itu tertinggi kedua di dunia? Bahkan yang pertama?
Saya tidak setuju dengan cara menghitung seperti itu. Prosentase itu terlihat tinggi karena diperbandingkan antara jumlah penderita dengan yang meninggal dunia.
Di Italia prosentasenya memang tinggi tapi ada penjelasan ilmiahnya. Demografi di Italia menunjukkan jumlah orang tua sangat besar. Terbanyak kedua setelah Jepang.
Sedang di Indonesia? Semua orang tahu: demografi kita didominasi anak muda. Sampai muncul istilah Indonesia itu mendapat bonus demografi.
Saya memilih, logikanya yang dibalik.
Begini: prosentase yang meninggal dunia akibat Covid-19 sudah disepakati antara 2 sampai 3 persen.
Maka kalau di Indonesia yang meninggal 25 orang, dan 25 orang itu adalah 3 persen, berapa 100 persennya?
Kira-kira 800 orang bukan?
Berarti yang sudah mengidap Covid-19 di Indonesia kira-kira 800 orang. Bukan 300 orang seperti data yang ada.
Berarti ada sekitar 500 penderita yang tidak diketahui siapa mereka, di mana mereka, sudah menularkan pada siapa saja.
Tapi perhitungan saya ini juga hanya sebuah spekulasi. Jangan terlalu dipegang. Anggap saja ini sebuah kewaspadaan: bahwa kemungkinan besar banyak penderita yang masih beredar ke mana-mana.
Sebagai pendatang baru di grup Covid-19 sebenarnya kita punya keuntungan lebih:

1. Tiongkok sudah berhasil mengatasinya. Tiongkok sudah tidak ”rakus” lagi akan peralatan pencegah Covid-19. Kamis kemarin adalah hari pertama tidak ada lagi pasien baru di Wuhan. Sudah 0. Memang ditemukan penderita baru di tempat lain, tapi semuanya berasal dari luar negeri.

2. Tiongkok punya kapasitas besar dalam memproduksi masker, baju pengaman, dan alat tes Covid-19. Dulu, begitu wabah ini muncul, Tiongkok mendorong banyak pabrik untuk menambah kapasitas. Saat ini ada 7 pabrik pembuat alat tes virus Covid-19 di sana.

Dalam situasi menguntungkan seperti itu mestinya kita bisa meningkatkan angka penduduk yang dites. Agar semakin banyak diketahui siapa yang sebenarnya sudah tertular. Untuk segera dilakukan tindakan.
Informasi yang saya peroleh dari Tiongkok: kapasitas produksi peralatan tes di sana, sekarang ini, mencapai 1,6 juta set sehari.
Sekali lagi, sehari.
Kapasitas seperti itu yang tidak ada ketika awal-awal Tiongkok diserang wabah. Kini mereka sendiri sudah tidak perlu jumlah yang banyak. Mereka bisa sepenuhnya ekspor. Termasuk ekspor masker dan baju pelindung bagi dokter/perawat secara besar-besaran.
Dari segi ketersediaan fasilitas di pasar internasional kita diuntungkan.
Saya sendiri sangat ingin melakukan tes Covid. Saya adalah orang yang rawan terkena virus. Saya berada di kategori semua golongan yang rawan: saya tua, saya banyak di kerumunan, tiap hari saya minum obat justru untuk menurunkan kekebalan tubuh saya.
Tapi saya tahu kemampuan tes di RS kita sangat terbatas. Saya juga belum termasuk yang mendesak untuk tes: tidak ada tanda-tanda terkena Covid-19.
Biarlah peralatan test itu lebih diprioritaskan untuk mereka yang lebih membutuhkan. Yakni mereka yang sudah jelas ada tanda yang kuat –meski pun banyak juga yang terkena Covid-19 tanpa ada tanda-tanda.
Yang tanpa tanda itulah yang merasa aman. Beredar ke mana-mana. Menjadi penular.
Maka saya pribadi memutuskan untuk mengirim WA ke anak saya. Bunyinya begini:
”Abah akan lakukan tes hematologi darah lengkap untuk melihat leukosit dan limfosit. Jika leukosit dan limfosit Abah tinggi, berarti Abah harus mulai curiga.
Kalau rendah, ok.
Kalau tinggi Abah akan lanjut CT scan paru-paru. Untuk melihat apakah ada bercak atau tidak.
Kalau tidak, ok.
Kalau ada bercak barulah berusaha lanjut ke tes Covid.
Itu untuk kehati-hatian.
Baiknya banyak orang melakukan itu agar tidak semua antre tes Covid yang akan tidak terlayani.
Rasanya cukup Abah sendiri saja dulu yang tes, kalau ada kecurigaan barulah anggota keluarga kita yang lain.
Ok?”.
Anak Wedok saya pun mengirimkan petugas pengambil darah dari lab langganan saya.
Hasilnya?
Bukan soal keterbukaan informasi tapi Anda sudah bisa menduga sendiri. (dahlan iskan)