Iri dan Dengki

198 dibaca

TIBA-TIBA ada tarikan nafas dalam-dalam. Sampai sauhnya terdengar seantero kedai Cak San, ketika Pardi bicara soal iri dan dengki di tengah masyarakat kampungnya.
“Di, kamu pun harus waspada, karena iri dan dengki itu bisa menyelinap di tengah celah kegelapan jiwamu, dan semakin fantastis dibicarakan, semakin kuat syetan mengipasimu. Semakin panas situasi hatimu, semakin tebal asap hitam mengepul di dadamu,” kata Kang Soleh memperingatkan Pardi.
Mendengar ucapan itu, semuanya jadi tertunduk. Rupanya penyakit iri dan dengki sudah seperti penyakit jiwa yang laten di tengah keseharian kita. Orang yang iri dan dengki, sebenarnya bisa disebut setengah gila. Karena orang yang memeliharanya, sama dengan memendam virus dalam hidupnya, semakin dipupuk oleh dendam dan kesumat, semakin subur pula pohon dengkinya. Sebab dari iri dan dengki itu tumbuhlah buah-buahnya yang menjadi racun individu dan sosial. Buahnya adalah permusuhan, dendam, kesombongan, kagum pada diri sendiri, ketamakan, kemalasan, emosional, senang dipuji dan sebagainya.
“Nggak Kang, sebenarnya kenapa, kok dengki disebut sumber dari segala sumber penyakit jiwa itu?” sela Dulkamdi.
“Begini Dul,” kata Kang Soleh, “dengki itu, adalah sikap tidak senang pada orang lain, manakala orang lain itu bahagia. Buahnya muncul iri.
Sikap iri itu adalah ketamakan agar dirinya bisa seperti orang lain, yang dianggap punya kelebihan dibanding dirinya. Kamu boleh iri, asal iri atas prestasi kabajikan. Lainnya tidak sama sekali!”.
“Bagaimana kalau kita seminarkan saja soal iri dan dengki ini?” usul Ngabidin, pemuda desa yang selalu bersemangat dengan dunia ilmiah.
“Saya setuju,” sambut Pardi,” tapi siapa yang harus kita undang sebagai penceramah?”.
“Ya, kita undang psikolog, pakar iri-dengki, kiai, ustad, profesor dan kalau perlu sosiolog,” kata Ngabidin.
“Apa ada jaminan, profesor, psikolog, kiai, ustad, benar-benar bersih dari iri dan dengki? Apalagi kalau kita lihat para politisi, wah, sehari-hari hanya penuh dengan keirian dan kedengkian. Bagaimana, jadi nggak seminarnya?” timpal Pardi.
“Saya kira nggak perlu diseminarkan. Kita buka saja pengajian khusus iri dan dengki, ditinjau dari berbagai segi kehidupan, mulai dunia professi, ekonomi, politik, agama, psikologi, dan militer,” usul Dulkamdi.
“Saya setuju juga Dul, usul kamu. Tapi kenapa harus ada tinjauan dunia tentara? Apa hubungannya?”
“Jelas, dong. Sebab tentara itu perlu disufikan, agar tidak berperang melulu. Karena perang itu sumbernya tidak lain dan tidak bukan adalah iri dan dengki.”
“Gimana ini, Kang Soleh?” tanya Ngabidin.
“Semua itu baik-baik saja. Tapi akan lebih baik kalau kita memulai lebih dahulu, membunuh segala hal yang beraroma iri dan dengki dalam jiwa kita. Kelak, ungkapan-ungkapan kita tentang mafsadah itu, benar-benar bilhikmah, bukan bilqaul, bukan bilpamer, atau bilduit,” kata Kang Soleh disambut gerrr.
“Darimana kita harus memulai Kang?” tanya Pardi.
“Mulailah, dengan merasa tidak berdaya, merasa tidak mampu berupaya, merasa tidak wujud dalam wujud sebenarnya, merasa tidak memiliki, lalu merasa bersyukur dan ridha atas apa yang diberikan Allah kepada kita saat ini, merasa tidak ingin menzalimi diri sendiri. sebab iri dan dengki itu berarti menzalimi, memperkosa, memperdayai, mendustai, mengkingkari hakikat diri sendiri.”
“Berat, Kang, ya?”
“Berat, kalau kamu masih memikul beban nafsumu. Ringan kalau kamu bisa menunggangi nafsumu. Jangan sampai yang menunggangi itu syetan yang terus me-was-was dadamu.”
“Saya kira, itulah kesimpulan seminar iri dengki yang sesungguhnya,” timpal Ngabidin. “Kalau begitu tidak usah diseminarkan, Kang. Kata-kata anda tadi akan saya cetak dalam ribuan pamflet, lalu saya tempel di seluruh kota, sebagai unjuk rasa saya pada rimba iri dan dengki yang dimasuki binatang-binatang ekonomi, binatang politik, binatang keangkuhan, binatang dendam, dan lain sebagainya.
“Setujuuuu…!”. Dan terdengar suara dok..dok..dok…mirip sidang paripurna DPR.
Mohammad Luqman Hakiem, MA Sufolog di Jakarta.