Tradisi Ngerebeg merupakan suatu kebudayaan yang mengakar di kalangan masyarakat Desa Pakraman Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Tradisi Ngerebeg berasal dari bahasa Kawi yaitu mengusir atau menempatkan para wong samar. Para wong samar itu diberikan sebuah tempat atau palinggih. Dalam kepercayaan masyarakat, tradisi Ngerebeg merupakan simbol menjaga keharmonisan makhluk Tuhan di dua dunia berbeda.
MASYARAKAT setempat mempercayai bahwa manifestasi Tuhan di Pura Duur Bingin juga mempunyai para manca seperti wong samar yang bermukin di hulu sungai barat pura. Dalam pelaksanaan piodalan di Pura Duur Bingin, para wong samar tersebut juga berkeinginan ikut ngayah bersama-sama. Di samping itu, makna ritual Ngerebeg adalah membersihkan pikiran dalam bhuana alit (tubuh manusia) dan bhuana agung (alam semesta).
Karena itulah setelah Ngerebeg ini diharapkan semua pikiran menjadi jernih, sehingga pelaksanaan upacara terlaksana dengan baik, suci dan tulus ikhlas. Ritual Ngerebeg diyakini sebagai upaya untuk menetralisir sifat negatif manusia (sad ripu) menjelang upacara piodalan di Pura Duur Bingin Sad ripu atau dalam Agama Hindu merupakan enam musuh yang ada di diri manusia merupakan representasi dari sifat buruk yang dimiliki oleh manusia.
Perihal tradisi yang telah mendarah daging ini, lalu tradisi Ngerebeg ini kembali digelar dalam hitungan enam bulan sekali. Ya, pemandangan yang unik nampak ketika ritual ini dihelat. Ratusan anak-anak tubuhnya dicat biru tua serta wajahnya dihiasi lukisan menyeramkan meramaiakan tradisi ritual Ngerebeg serangkaian upacara piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Pakraman Tegallalang, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.
Ritual ini terbilang sangat unik, karena ratusan anak baru gede (ABG) serta7 banjar adat menghias wajah dengan aneka motif menyeramkan saat prosesi arak-arakan keliling desa. “Ritual Ngerebeg ini merupakan tradisi yang diwarisi secara turun temurun dan selalu dilaksanakan sehari menjelang puncak karya piodalan di Pura Duur Bingin, Desa Pakraman Tegalalang yang jatuh enam bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Wraspati Umanis Pahang,” kata Bendesa Adat I Made Jaya Kusuma, Bendesa Pekraman Tegallalang pada sejumlah awak media.
Ia mengatakan ritual ngerebeg selalu dilaksanakan pada saat rahina Pegat Uakan pada Buda Kliwon Pahang.
Lebih jauh ditekankan dari zaman ke zaman, hiasan tubuh para ABG peserta ritual Ngerebek tetap sama, yakni motif menyeramkan. Dengan dandanan menyeramkan itu, mereka jalan kaki keliling desa, sambil membawa berbagai hiasan dan pelepah busung (janur) dan pelepah daun jaka (aren), juga lelontek, kober (bendera sakral), dan penjor.
Menurut Jaya Kusuma, prosesi ritual Ngerebeg bermakna membersihkan pikiran dalam bhuwana alit (tubuh manusia) dan bhuwana agung (alam semesta) secara niskala. Sebelum kegiatan ini dilakukan diawali dengan menghaturkan sesaji Paica Gede dan Paica Alit di halaman Pura Duur Bingin. Setelah itu, barulah peserta Ngerebeg keliling desa.
Pada saat bersamaan, kalangan krama dewasa menghaturkan sesaji di setiap puradan setra (kuburan) yang dilewati dalam prosesi Ngerebeg. Setelah keliling desa dengan melewati setiap pura dan setra, perjalanan ratusan ABG peserta Ngerebeg kembali ke areal Pura Duur Bingin. Saat digelarnya prosesi ritual Ngerebeg, seluruh krama dan 7 banjar adat di Desa Pakraman Tegallalang, ikut terlibat, yakni Banjar Gagah, Banjar Pejeng Aji, Banjar Tegallalang, Banjar Tegal, Banjar Tengah, Banjar Penusuan, dan Banjar Tri Wangsa. Krama dewasa terlibat menghaturkan sesaji, sementara karma alit (lanang) melakukan arak-arakan dengan hiasan tubuh menyeramkan.ES DANAR PANGERAN