KEBENARAN LITURGI NATANAGARA

387 dibaca

▪︎Pandulum Satria Pinilih di Pilpres 2024 (2)

▪︎SURABAYA-POSMONEWS.COM,
Othak-athik budaya metafisik yang menyangkut pandulum, prediksi terhadap suksesi politik dan pemerintahan selalu menarik apalagi dikaitkan dengan filosofi, liturgi, bahkan mitos-mitos yang tetap diyakini oleh sebagian masyarakat kita.

Dan terhadap gelaran Pilpres 2024 yang kini sedang ramai diperbincangkan seiring tokoh-tokoh yang dianggap sebagai Satria Piningit, Satria Utama, Satria Pinilih, dll itu.

Jika nama-nama yang muncul ke permukaan adalah nama dengan ideom Njawani dan “aksara swara” (a, i, u,e, o) bahkan ada yang menyebut lebih ektrem dan harus akhiran “o”. Ini karena sejak lama konsep mistik Jawa mengenal Liturgi “na, ta, na, ga, ra”.

Na adalah Soekarno. Ta diyakini Soeharto. Na, adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Dan dari konsep ini Presiden Habibi, Gus Dur dan Megawati, tidak termasuk di dalamnya. Karena menurut para winasis sosok tokoh yang dimaksud hanya sebagai raja pengganti (sementara).

Menurut budayawan Wong Agung Lamongan (Surabaya), liturgi NATANAGARA kini berada pada urutan ke 4, yakni Ga. Dalam konsep ini berkait dengan rumus ksidonim (sandhi asma, red) Jawa, bahwa Ga itu bisa berada di akhir nama atau depan. Sehingga orang pun pada menoleh satu nama yakni Ganjar Pranawa.

“Versi lain yang menyebut aksara o itu lebih umum adalah satu nama yang diakhiri dengan aksara swara (vokal : a, i, u, e,o). Artinya dari liturgi ini nama-nama yang disebut sebagai Satria Piningit harus berakhir dengan aksara swara. Tidak ada yang paten/mati (berakhir dengan konsonan).

Wong Agung menambahkan, jika konsep utama yakni NATANAGARA bergeser maka aksara swara lah yang dianut. Yakni membenarkan bahwa pemimpin Nusantara (NKRI) nama berakhiran “o”, dan fase sekarang jatuh pada Presiden Joko Widodo.

Dari konsep aksara swara, maka bisa kita sedikit berimaginasi bahwa nama-nama Capres 2024 jagoan Anda masuk radar. Misalnya Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Agus Harimurti Yudhoyono, Andhika Prakosa, Puan Maharani, Sandiaga Uno, dll.

Konsep aksara swara ini menurut kalangan Adat dan Kasepuhan berkaitan dengan filosofi Huruf Jawa (Aksara Jawa) jika dipangku akan Mati.

Bahwa, Mati yen dipangku adalah filosofi kepemimpinan Jawa, yang dijalankan banyak para pemimpin mulai raja hingga era kepresidenan saat ini. Sampai sekarang, orang-orang yang berdekatan dengan pemimpin, tahu betul bagaimana caranya memimpin.

Seorang pemimpin tidak selalu disukai oleh semua orang. Karena kita tidak bisa menyenangkan semua orang. Kita tidak bisa menghibur semua orang. Bahkan ketika kita jadi pelawak pun, ada orang-orang yang pasti tersindir dengan apa yang kita ucapkan.

Karena itulah ada nasehat, musuh sebaiknya jangan dimusuhi. Dekatilah dia. Jangan memusuhi orang yang memusuhimu. Itulah filsafat para pemimpin bijak, tidak bermain dalam tataran selevel eks kompetitornya yang membenci-bencinya. Sebagai seorang Jawa yang mengedepankan kebaikan dan kemurahan hati, lebih memilih untuk menggunakan cara dipangku mati ini.

Dekatilah musuh, dan kalau perlu, berikanlah jabatan dan kembalikan harga dirinya, maka ini namanya dipangku mati. (bersambung). ▪︎[DANAR SP]