SAMBUT DERITA BAGAI TAMU AGUNG

239 dibaca

▪︎Kasus Ahmadiyah di NTB, 2006-2022

▪︎Oleh: Denny JA

Bulan menangis di kota Mataram.
Suatu malam di Nusa Tenggara Barat, tahun 2021.

Daun kehilangan ranting.
Ranting kehilangan batang.
Dan batang kehilangan akar.

Di ruang itu,
air mata Arum terus menetes.
Hari ketiga wafat suami tercinta, Natan.
Pukul 1.00, dini hari.

Dilihatnya bingkai puisi di dinding.
Hadiah dari suami seminggu sebelum menikah.
Tiga tahun lalu.
Dibacanya lagi dan lagi:

“Sambutlah derita bagai tamu yang agung.
Karena ia membawa pesan Tuhan.
Untuk pertumbuhanmu.
Jalaluddin Rumi.”

“Untuk calon istriku tercinta, Arum.”

2018.
Natan.

Dipandangnya tulisan tangan itu.
Disentuhnya tinta itu.
Ingin dirasakannya getaran yang tersisa di sana.
Getaran tangan Natan.

Arum pun terkenang kala pertama perkenalan dengan Natan.

Tapi tiba-tiba kaki Arum gemetar.
Tak kuat berdiri, ia pun terduduk.

Peristiwa itu, di Ketapang NTB 2006, masih membekas luka. Trauma. Menganga.

Kamar terasa bergerak.
Plafonnya berputar menjadi dinding, menjadi lantai, menjadi dinding, berputar menjadi plafon lagi.

Arum menepuk-nepuk pipinya.
Ia memastikan ini tak nyata.

Terdengar kembali suara itu:
Suara gerombolan.
Amarah:
“Hei, kaum sesat.
Ahmadiyah.
Bangsat kalian.
Keluar kalian dari kampung kami.”

Yang lain menyahut:
“Bunuh saja itu Ahmadiyah.
Darahnya halal.”

Suara pukulan. Suara api.
Hujatan. Ancaman.
Bercampur dengan jeritan. Raungan.
Pohon-pohon berguncang gelisah.

Saat itu usia Arum baru 14 tahun.
Ia ketakutan setengah mati.
Rumahnya dibakar.
Rumah tetangganya, sesama Ahmadiyah, dirobohkan.

Arum melihat Ayahnya dipukul pakai kayu. Berdarah.
“Ayaahhh.”
Arum berteriak kencang, memeluk Ayahnya.

Arum pun membentak:
“Salah kami apa?
Mengapa kalian kejam?”

Orang itu malah menghardik. Kasar sekali:
“Kalian racun.
Kampung kami jadi sial.
Enyah kalian ajaran sesat.”

Pukulan keras menghantam kepala Arum.
Arum pingsan.
Ia tak ingat apa-apa lagi.

Ketika sadar,
Arum sekeluaga, bersama 800 komunitas Ahmadiyah lain, sudah pindah, mengungsi.

Kata Ayah, Arum pingsan seharian.

Mereka tinggal di Transito, di tempat pengungsian, di Mataram, NTB.

Dunia Arum berubah.

Di sinilah Arum mengenal Natan.

-000-

Di sekolah itu, Arum memang bercampur dengan penduduk setempat.

Arum tak mengerti.
Mengapa guru itu benci padanya.

Tempat duduk Arum di kelas dipisahkan.
Kata guru, “itu tempat duduk anak Ahmadiyah.” (1)
Teman-teman sekelasnya tertawa.
Mengejek.
Mencemooh.

Pulang sekolah,
Arum jalan kaki ke rumah.
Setiap melewati perkampungan.
Kadang ada yang melemparnya dengan batu kecil.
Atau yang menghujatnya:
“Hei, anak kafir.
Anak kaum sesat.”

Waktu istirahat kelas
di halaman sekolah, Arum ingin berteman, berkumpul duduk dengan yang sebaya.

Selalu ia dihardik.
“Hei, orang sesat.
Ke sana kau.
Jangan dekat-dekat kami.”

Saat itulah Arum kenal Natan,
kakak kelas, bertubuh kekar.
Ia jagoan karate, ditakuti teman-teman.
Natan pernah dikeroyok tiga orang.
Tapi semua bisa dikalahkannya.

Siang itu Arum menangis, di halaman sekolah.
Ia tak mengerti apa yang salah?
Ia tak pernah menyerang.
Ia tak pernah membalas.
Ia hanya ingin punya teman,
seperti yang dipunyai remaja lain.

Saat itu ada lelaki mendekati Arum,
lalu meludahinya.
Natan datang dan memukul lelaki itu.
“Dengan perempuan kau kasar. Hadapi aku,” ujar Natan.

Mereka pun berkelahi.
Saling pukul.
Cukup lama.
Guru melerai.

Keduanya dihukum,
diminta guru berdiri di halaman sekolah, sampai kelas selesai.

Sejak saat itu, Arum dekat dengan Natan.
Setiap pulang sekolah, Natan mengantar Arum hingga ke rumah pengungsian.
Natan memastikan tak ada yang melukai Arum di jalan.

Pernah terjadi,
seorang lelaki melempar Arum dengan ranting kayu kering.
Laki-laki itu dipukul Natan.

AkIbatnya Natan pun banyak musuh.
Natan dicemooh sebagai pembela ajaran sesat.

-000-

Natan bukan pengikut Ahmadiyah.
Ia seorang Muslim Sunni.
Ayahnya seorang ustad.

Tapi berbeda dengan penduduk sekitar, Natan bersahabat.
Ia acap datang ke tempat pengungsian.
Bercakap-cakap dengan Ayah Arum.

Sepuluh tahun sudah Natan berteman dengan Arum.
Kepada Natan, Arum sering bercerita.

Para bayi yang lahir di pengungsian, sulit mendapatkan akta kelahiran.
Banyak warga Ahmadiyah susah mendapatkan KTP.
Itu gara gara kolom agama.

“Kami memang Ahmadiyah, tapi agama kami Islam.”
Tegas Arum.

“Tapi mengapa.
Mereka menolak mencatumkan agama Islam di kolom KTP kami?
Menurut petugas, Ahmadiyah itu bukan Islam.
Akibatnya, banyak tak punya KTP.”

Dokumen tak lengkap,
anak-anak Ahmadiyah sulit diterima di sekolah.

“Akan jadi apa anak-anak Ahamdiyah jika tak sekolah?” Keluh Arum.

Natan acap membantu.
Ia pernah ikut mengurus KTP orang Ahmadiyah.

Natan juga kerap membantu akte kelahiran bayi Ahmadiyah.

Natan punya jalur khusus.
Ayahnya banyak koneksi.

-000-

Pernah Ayah Arum bertanya.
“Natan, apa yang membuatmu berbeda?
Mengapa kau menolong kami, warga Ahamdiyah?

Natan pun bercerita soal Ayahnya.
Sang Ayah hidup lama di Wonosobo, Jawa Tengah.
Di sana, penganut Islam Sunni dan paham Ahmadiyah rukun-rukun saja. (2)

Ujar Natan: “Ada Masjid Baitul Islam.
Masjid berkusen jendela warna hijau.
Berukuran 6 x 10 meter .

Mesjid berdiri di gigir Gunung Pakuwojo.

Itulah mesjid jamaah Ahmadiyah. Mereka penduduk Dusun Wonosari.
Desa Wonokampir.
Kecamatan Watumalang.

Yang istimewa,
hanya 100 meter dari Masjid Baitul Islam,
berdiri Masjid Baitul Huda.
Ini masjid warga Nahdlatul Ulama.

Dua mesjid ini berdampingan.
Tapi tak hanya mesjid yang berdekatan.
Ahmadiyah dan warga NU juga berdampingan.
Hidup damai, di sana, di Wonosobo.

Banyak kegiatan mereka kerjakan bersama.
Kerja bakti.
Tahlilan.

Ketika warga meninggal, mereka saling mengunjungi, saling memakamkan.
NU dan Ahmadiyah.

Dalam acara perkawinan, tokoh NU menjadi tukang seserahan.
Penerima seserahan tokoh Ahmadiyah.
Begitu pula sebaliknya. Mubalik Ahmadiyah ikut menyusun kurikulum sekolah.

Dalam pertemuan tahunan, Ahmadiyah mengundang Ketua NU dan Ketua Ansor Wonosobo.

Arum terpana.
Ia bertanya:
“Natan, apa yang membuat
Wonosobo berbeda?
Mengapa di sana mereka bisa rukun dengan Ahmadiyah?”

Ujar Natan, “itu sikap tegas bupati Wonosobo.”

“Bupati di sana hebat.
Ia menjiwai prinsip toleransi.
Juga berani ambil resiko. (3)

Bupati membentuk forum bersama sekabupaten Wonosobo.
Itu untuk komunikasi umat beragama.

Apapun agamanya.
Paham agamanya.
Kepercayaanya.
Ayo duduk bersama.
Diskusikan solusi.

Toleransi dibicarakan di sana.
Dipompa dari sana.”

Ujar Natan, “Ayahku kawan akrab bupati Wonosobo itu.
Aku dididik Ayahku untuk berani bersikap,
membela hak-hak beragama kaum minoritas.

Arum mengeluh:
“Mengapa di Ketapang, di Mataram berbeda ya?
Banyak guru mendiskriminasi kami.
Banyak aparat Pemda diam saja ketika kekerasan menimpa kami.”

-000-

Natan tak hanya hebat berkelahi.
Ia juga banyak membaca.
Suka membuat puisi.
Dalam percakapan, Natan banyak mengutip Jalaluddin Rumi.

Arum dan Natan pun menikah.
Itulah momen yang sangat indah bagi Arum.
Langit dipenuhi buah dan bunga.

Natan memberikan Arum kutipan Rumi.
“Sambutlah duka sebagai tamu yang agung.
Ia membawa pesan Tuhan.”

Untuk kasus lain, Arum menyetujui kutipan itu.
Derita didiskriminasi ternyata membuat Arum lebih kuat.

Arum berjumpa banyak donatur, membantu sekolah anak-anak Ahmadiyah.

Tapi kutipan Rumi tak berlaku untuk satu kasus: kematian Natan.
ini derita yang berbeda.

Tahun itu, 2021, Natan terpapar Covid-19.
Lalu mati.

Arum menangis.
Protes.
Minta jarum jam kembali ke belakang.
Agar ia bisa jumpa Natan lagi.

Teriak Arum di hati:
“Ya, Allah yang kau ambil itu tak hanya suamiku.
Ia ranting bagi daunku.
Ia batang bagi rantingku.
Ia akar bagi batangku.”

“Aku tak bisa menerima derita ini, derita kematian suamiku, sebagai tamu yang agung.

“Tidak ya Allah. Tidak. Derita kematian suamiku bukan tamu agung.”

“‘Matahariku tenggelam.”

Terus saja Arum meraung.

Malam itu, di kota Mataram,
bulan menangis.
Tapi tak hanya bulan yang menangis.***

Agustus 2022.

CATATAN

1. Anak- anak Ahmadiyah di sekolah di NTB mengalami diskriminasi

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/08/130802_anak_ahmadiyah.amp

2. Di Wonosobo, penganut Islam dan paham Ahmadiyah rukun- rukun saja.

https://www.kompasiana.com/amp/katedrarajawen/mengapa-syiah-ahmadiyah-nu-dan-lainnya-bisa-damai-di-wonosobo_5528cb846ea83424518b4599

3. Bupati Wonosobo tegas melindungi Ahmadiyah

https://nasional.tempo.co/amp/506151/cara-bupati-wonosobo-kholiq-redam-konflik-agama

-000-

000-

# Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku dayak versus madura di Sampit (2001), Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang Bali dan penduduk Asli di Lampung (2012).**