MENGAPA SALING BUNUH DI MALUKU ?

272 dibaca

▪︎Oleh: Denny JA

Makam itu tetap bersih.
Rapih.
Hening.
Dua puluh tiga tahun sudah berlalu.

Di batu nisan itu tetap jelas terbaca: Bille Wattimena.
Wafat 16 desember 1999.

Bille mati bersama ribuan nyawa, dalam kerusuhan primordial paling berdarah, di era reformasi: Konflik Maluku, 1999-2002.

Sore itu
tak bisa membuang duka,
tak bisa menghapuskan luka.

Duduk di samping makam, lesu, sedih, muram:
Eva Subarkah.
Setiap kali pulang kampung,
ia sempatkan ke makam.

“Bille sayangku,
Ini Patimura,
anak kita,
24 tahun sudah usia.

Waktu kau pergi,
perang terbuka itu,
usianya masih setahun.
Ia tak ingat wajahmu,
wajah Ayahnya sendiri.”

“Dua puluh tahun sudah kutinggalkan Ambon, ke Jakarta.

Aku tak kuat Bille.
Tinggal di sini,
hatiku menjerit.
Selalu.
Tapi kau memanggil.
Selalu.
Kusempatkan datang.
Selalu.
Kubawa putra kita.
Selalu.”

Angin sore meniup.
Daun- daun berterbangan.
Air mata Eva menetes,
menjadi selokan yang mengalir,
menjelma hujan,
mencipta telaga,
menjadi samudera.

Patimura memeluk Ibunya.
Tapi ia tak bisa rindu pada Ayahnya.

-000-

Eva masih ingat hari itu.
Hari kematian Bille.

Mereka pasangan muda.
Baru 2 tahun menikah.
Maluku terbakar.
Badai amarah mengepung desa dan kota.
Naga raksasa semburkan api bencana.
Hari itu, cinta kalah di Maluku.

Ujar Bille:
“Sayangku, aku sekarang ikut Agus Wattimena. (1)
Ia membentuk pasukan Kristus.

Kawan seagama kita,
dibunuh orang Muslim.
Kita akan serang kawasan Muslim di Batu Merah.
Pasukan dari desa Mardika sesama pasukan Kristus, siap jiwa raga.”

Bille sudah mengasah parang, sudah sialkan banyak pisau.
Tajam sekali.

Eva menangis.
Dipeluknya Bille:
“Bille, jangan pergi.
Jangan kita ikut- ikutan.
Anakmu masih bayi.
Di Batu merah,
juga tinggal banyak keluarga besar kita sendiri.”

“Tenang Eva, sayangku.
Aku tak kan mati.
Kau tahu aku hebat berkelahi.
Agus Wattimena, pemimpin kita.
Ia banyak jasa padaku.
Tak kubiarkan ia menyerang seorang diri.
Tenang sayangku,
cintaku, buah hati beta.”

Eva terus menahannya,
agar tak pergi, dengan segala cara.

Tapi Bille lebih perkasa.
Ia sudah bertekad.
“Jaga Patimura,”
pesan Bille sambil cium kening Eva.

Ternyata, itulah saat terakhir,
Eva melihat Bille hidup.

Subuh itu,
Subuh yang celaka.
Pintu rumah Eva digedor kencang sekali.
Empat orang membopong tubuh Bille.
Penuh darah.
Tak lagi bernafas.

Eva menangis.
Kencang sekali.
Menjerit, melengking.
Menembus langit.
Menembus gelap.
Menembus ruang dan waktu.

“ Billeeeee…
Billeee, jangan tinggalkan aku.
Anakmu masih bayi.
Billeeee..”

-000-

Saat itu, tahun 2005.
Empat tahun sudah Eva pindah ke Jakarta.

Konflik Maluku selalu terbawa.
Dicobanya mengerti.
Apa sesungguh terjadi?
Mengapa Maluku menjadi gila?
Membunuh sesama?
Maluku membunuh Maluku?

Ia mendengar kabar.
Konflik Maluku digerakkan dari Jakarta.
Ada pasukan Jakarta dikirim ke Maluku.
Agama hanya digunakan untuk memperparah konflik. (2)
Maluku harus rusuh.
Harus gaduh.
Harus berdarah.

Eva tak tahu seberapa ini benar?
Dan untuk apa?
Mengapa?

Ia juga mendengar.
Bersama suaminya,
terbunuh pula 8.000-9.000 nyawa,
29.000 rumah terbakar,
45 masjid hancur,
47 gereja dirusak,
719 toko dijarah,
38 gedung pemerintahan diserang,
4 bank hancur. (3)

“Ampun,” tanya Eva.
“Apa yang sesungguhnya terjadi?”

Mengapa Bille, suaminya,
seorang yang penuh kasih,
penuh sayang,
tapi hari itu, berubah menjadi monster, berubah menjadi buas, mengasah parang, membunuh atau dibunuh?

Di makam itu,
Eva bersihkan batu nisan,
dengan hatinya,
dengan jiwanya.

“Bille, cintaku.
Aku selalu rindu.”

Gelap mulai datang.
Tapi lebih gelap hati Eva,
yang tak mengerti,
yang terus bertanya,
mengapa di saat itu,
Maluku menjadi gila?***

Juli 2022

CATATAN

1. Dalam konflik Maluku itu, Agus Wattimena mendirikan Pasukan Kristus menghimpun kekuatan penduduk Kristen melawan penduduk Muslim

https://www.faktakini.info/2021/01/investigasi-tempo-tentang-laskar.html?m=1

2. Berbagai analisa menghubungkan konflik Maluku dengan kepentingan elit Jakarta

https://sejarahlengkap.com/indonesia/penyebab-perang-ambon/amp

3. Data kematian dan kerusakan akibat Konflik Agama di Maluku 1999-2002

Deretan Konflik Antar Agama di Indonesia Pasca Reformasi

-000-

# Puisi Esai Mini ini bagian dari buku “JERITAN SETELAH KEBEBASAN” yang segera terbit (Denny JA, 2022).

Ini kumpulan kisah konflik primordial di Era Reformasi: Konflik agama di Maluku (1991-2002), Konflik suku di Sampit (2001, Konflik Rasial di di Jakarta (Mei 1998), Konflik Ahmadiyah di Mataram (2002-2017), dan konflik pendatang dan penduduk Asli di Lampung (2012).