ANTARA LAILATUL QADAR DAN MALAM SIWA RATRI KALPA

354 dibaca

▪︎Oleh : Danar S Pangeran
(Jurnalis posmo di Lamongan)

SABTU malam kemarin (30/4/2022) perjalanan Ramadhan telah memasuki malam ke-29. Termasuk malam ganjil yang diyakini oleh umat muslim yang menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu malam turunnya Lailatul Qadar. Yakni sebuah malam yang didamba oleh seorang muslim bisa dipertemukan atau meraih Lailatul Qadar.

Karenanya, malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan ini sejumlah ibadah dilakukan umat Islam, termasuk i’tikaf di masjid, surau, mushola, langgar, dsb.

Berdasarkan keterangan al-Qur’an dan al-Sunnah, disebutkan bahwa dalam bulan Ramadlan terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Malam yang indah itu disebut Lailatul Qadar atau malam kemuliaan. Bila seorang muslim mengerjakan kebaikan-kebaikan di malam itu, maka nilainya lebih baik dari mengerjakan kebaikan selama seribu bulan atau sekitar 83 atau 84 tahun.

Begitu besarnya pahala yang Alkah berikan pada hambanya yang mendapatkan Lailatul Qodar, maka tersimpul di kehidupan akhirat hamba tersebut akan masuk surga firdausi.

Lailatul Qodar disebut pula sebagai malam indah yang lebih baik dari seribu bulan. Malam penuh berkah, malam yang mulia, dan memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri.

Kata ‘al-Qadar’ diartikan juga ‘al-Syarf’ yang artinya mulia (kemuliaan dan kebesaran). Maksudnya Allah telah mengangkat kedudukan Nabi-Nya pada malam qadar itu dan memuliakannya dengan risalah dan membangkitkannya menjadi Rasul terakhir.

Mengenai hal ini diisyaratkan dalam surat al-Qadar. Sesungguhnya Aku telah menurunkan Al-Qur’an pada lailatul qadar. Tahukah kamu apa itu lailatul qadar?, Lailatul qadar adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan ruh qudus (malaikat Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Baqarah,97: 1-5)

Dari ayat tersebut, maka jelaslah lailatul qadar adalah malam yang memiliki keistimewaannya sediri dibanding dengan malam-malam yang selainnya. Dan apabila malam itu digunakan untuk ibadah kepada Allah SWT, maka akan mendapatkan pahala berlibat ganda satu berbanding seribu amal kebajikan (ibadah) yang dilakukan di selain lailatul qadar.

**
Lain halnya dalam khasanah Hindu, maka terdapatlah sebuah kisah yang secara historis menjadi konsepsi perayaan Siwaratri sehingga muncul kisah Malam Siswa Ratri Kalpa.

Literatur yang dicuplik penulis, ada pada Weda terutama dalam purana, baik di Skanda Purana, Garuda Purana, termasuk dalam Utara Kanda, banyak dipaparkan kisah bagaimana seseorang atau umat hindu melaksanakan hari Siwaratri. Dicontohkan pada kisah Nisadha (seorang pemburu), yang di Bali disebut Lubdaka.

Sedangkan dalam teks Kakawin Siwaratri Kalpa gubahan Empu Tanakung pada masa Kerajaan Majapahit akhir mengungkapkan konsep anugraha. Seorang pemburu bernama Lubdhaka mendapatkan anugraha dari Bhatara Siwa berkat brata utama yang dilakukan pada saat Siwaratri.

Jelasnya Malam Siswa Ratri Kalpa, berkisah seorang pemburu bernama Lubdaka yang ke kemalaman di hutan, untuk menghindari binatang buas, sehingga ia harus naik ke sebuah pohon di tepi danau (telaga).

Semalaman ia tidak tidur dan memetik daun-daun yang dijatuhkannya ke telaga itu. Ternyata di dasar telaga bersemayam lingga Siwa, sehingga apa yang dilakukan oleh Lubdaka sebagai persembahan pada Dewa Siwa sehingga mendapat anugraha (anugrah).

Dalam versi lain diceritakan, Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan buruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pulang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan. Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil itu. Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh bila ia tertidur, ia melawan kantuk dengan memetik daun maja satu-satu, lalu dijatuhkannya ke permukaan telaga untuk menyaksikan bulan yang terpantul di air itu seperti tersenyum kepada bumi. Adapun di danau itu ada sepotong batu panjang yang tegak, dan daun-daun itu sesekali jatuh di pucuknya. Itulah yang ia lihat di waktu pagi. Yang tak ia ketahui, Dewa Syiwa yang di kuil-kuil dilambangkan dengan sebuah lingga sangat senang melihat perbuatan Lubdaka. Syiwa mencatat si pemburu sebagai calon penghuni surga.

***
Dua topik antara Lailatul Qodar dan Malam Siwa Ratri Kalpa itu sama-sama berakhir dengan sebuah tujuan kehidupan manusia kelak setelah mati yakni untuk bisa masuk Surga (Islam), atau Nirwana (Hindu). Meski cara dan kehidupan yang dilakoninya berbeda.

Namun pandangan penulis terhadap keyakinan untuk mencapai Surga dari dua perbuatan yang dilakoni manusia ternyata ada keidentikan. Meski hal tersebut perlu kajian lebih mendalam.

Referensi yang dicuplik dari beberapa pengajian KH. Muhammad Muafiq (Gus Muafiq), dai kondang asal Lamongan yang kini tinggal di Yogyakarta memaparkan bagaimana asal usul manusia sehingga menjadi berbangsa-bangsa berasal dari Nabi Adam dan Hawa.

Tempat turunnya Adam ini menurut Gus Muafiq dijadikan sebuah situs yang kemudian kembali ditemukan oleh Nabi Ibrahim dan ditandai dengan bangunan suci yang kini disebut Ka’bah. Tempat pertemuan Adam dan Hawa disebut Jabal Rahmah, dll.

Rasi Nabi Ibrahim kemudian menyebar ke seluruh dunia menjadi bangsa-bangsa dengan ciri khas karena menyesuaikan kondisi alam dan geografisnya. Namun hakikatnya bersumber pada satu rumpun yakni sebagai anak cucu Bapak Adam dan Ibu Hawa.

Kemasyuran Nabi Ibrahim AS inilah oleh bangsa-bangsa lain menyebutnya dalam penamaan berbeda, ada yang menyebut Abraham. Sedangkan di India (Hindu) juga memunculkan kata Brahma.

Jika di Islam ada Ka’bah, di India juga memiliki Stupa. Lalu, Jabal Rohmah diidentikan sebagai Lingga Yoni, ada Air Zam-zam, di India ada air suci Gangga-Yamuna. Perjalanan suci haji, umat Islam memakai pakaian berselempang putih sedangkan di India saat ritual Tirta Yatra, dll selalu berpakaian berselempang kuning.

Selesai perjalanan suci, naik haji atau umroh umat Islam mencukur rambutnya yang disebut Tahalul, sedangkan umat Hindu di India juga menggunduli rambutnya. Lalu di saat itu Islam ada ritual memotong hewan Qurban. Sedangkan di India juga ada tradisi ritual Gadri. Sungguhpun keidentikan ini perlu penelitian dan pengkajian yang mendalam, namun yang bisa dicatat bahwa banyak agama yang menyakini kehidupan yang kekal abadi di surga. Aamiin.