Sensus Penduduk Dilakukan Sejak Zaman Kerajaan Majapahit

132 dibaca

• Pakai Istilah Cacah Desa dan Cacah Jiwa

PELAKSANAAN sensus penduduk ternyata sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Kebijakan tersebut diterapkan disalah satu daerah kekuasaan Majapahit. Hal itu dilakukan dengan tujuan pemetaan masyarakat dan kesejahteraannya.

Seperti dikutip dari buku “Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit”, tulisan Slamet Muljana. Dua kebijakan Hayam Wuruk yakni sensus penduduk dan penarikan pajak atau yang lebih dikenal dengan upeti.

Sensus penduduk yang dilakukan oleh pemerintah rutin setiap 10 tahun terakhir, ternyata pernah dilakukan jauh di masa pemerintahan Kerajaan Majapahit. Tercatat saat itu istilah sensus penduduk menggunakan “cacah desa” dan “cacah jiwa”.

Dimana saat itu, Wengker Wijayarajasa sebagai Dewan Pertimbangan Agung Majapahit, memerintahkan untuk mencatat semua desa yang ada di wilayah Kerajaan Majapahit dan menguraikan keadannya. Perintah itu dilakukan untuk mencatat isi rumah hingga penghuninya.

Tujuannya tentu untuk mengetahui keadaan daerah masing-masing dengan seksama. Hal ini memudahkan pengawasan pemerintah pusat kepada pelaksanaan perintah Sri Nata Singasari Kereta Wardana yang, menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung.

Konon dikarenakan ada pengawasan inilah, penduduk pun takut untuk melanggar karena adanya aturan undang – undang, akibatnya hidup pun teratur menurut anjuran raja.

Tak hanya itu, Kerajaan Majapahit juga memerintahkan wilayah – wilayah untuk menyetorkan pajak atau upeti kepada pemerintah pusat. Guna melancarkan pembayaran pajak ini, Sri Nata Singasari mengirimkan utusan bujangga dan mantri, atau seperti pegawai ke tanah jajahan untuk menarik pajak. Uang pajak itu digunakan untuk membiayai usaha Raja Hayam Wuruk memelihara kesejahteraan umum rakyatnya.

Bagi seorang bujangga yang dikirim ke tanah jajahan atau pulau lain, adalah larangan besar untuk mencari keuntungan sendiri atau menjalankan dagang, sehingga mengabaikan tugasnya. Perintah sri nata harus diutamakan dan dilaksanakan, di samping mempertinggi ajaran agama Siwa, agar jangan menyimpang dari ajaran yang seharusnya.

Tak heran, bila petugas pajak ini biasanya juga menjabat sebagai pendeta, untuk menyebarkan ajaran Siwa. Para pendeta ini mendapat kepercayaan untuk memungut pajak dan di samping memperluas daerah agamanya. Bagi semua utusan larangan besar untuk berdagang atau mencari keuntungan sendiri, larangan itu dinyatakan tegas dengan sanksinya.**(okz)