Bawa Sapu Lidi, Warga Banyuwangi Usir “Pagebluk”

262 dibaca

Berbagai cara ritual dilakukan masyarakat desa di wilayah Jawa Timur, untuk mengusir wabah corona. Begitu juga mantra-mantra pengusir wabah pagebluk ini dikumandangkan.

Di singping menggelar ritual pembacaan mantra, masyarakat di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur, juga menggelar selamatan. Dengan ritual tersebut, diharapkan wabah corona di negeri ini segera berakhir.

Korban COVID-19 di Banyuwangi terus berjatuhan. Wabah virus corona ini pun dianggap sebagai “pagebluk”, karena telah memakan banyak korban jiwa.

Di antaranya dilakukan masyarakat Using (suku asli Banyuwangi) ritual “Pelkudukan” dengan cara membakar kayu di halaman rumah saat malam tiba.

Cahaya api dari kayu bakar pun terlihat menyala terang di sepanjang jalan pedesaan di tengah pemadaman LPJU saat PPKM Darurat.

Tradisi ini dipercaya masyarakat dapat menolak “balak” sehingga terhindar dari mala petaka. Termasuk salah satunya “pagebluk” COVID-19.

Ritual Sodo Lanang

Belakangan beredar video viral di medsos, tentang ritual pengusiran wabah corona di wilayah Banyuwangi. Dalam video tersebut tidak disebutkan ritual itu dilakukan di desa mana. Namun, ratusan orang dan anak-anak membawa sapu lidi.

Dikomando oleh seorang tokoh agama di wilayah itu. Ratusan orang dewasa dan anak-añak yang membawa sapu lidi itu diacung-acungkan ke udara. Mereka juga sambil menirukan mantra yang dikumandangkan oleh sang pemimpin ritual. Mantra itu merupakan Ajian Sodo Lanang. Berikut bunyi mantera tersebut:

“Bismillah….sun amatek…ajiku cemetiku sodo lanang…Saka pertapan kendalisada…
Dak sabetake segara asat…
Dak sabetake bumi bengkah…
Dak sabetake watu pecah…
Dak antemke corona minggat…
Dak antemke penyakit corona muleh minggat…
Minggat nang negoromu dewe…
Pitulungane Gusti Allah…
Allahuakbar…
Allahuakbar…
Allahuakbar…

Padahal mantra Ajian Sodo Lanang tersebut biasanya dipakai mantra pengasihan. Setelah pembacaan mantra, para peserta ritual bubar dan mengambil makanan yang sudah ditaruh di kotak kardus kecil.

Ritual Pelkudukan Using

Beda dengan ritual pengusiran wabah corona yang dilakukan masyarakat Using (suku asli Banyuwangi). Mereka melakukan ritual “Pelkudukan” dengan cara membakar kayu di halaman rumah saat malam tiba.

Menurut Slamet Supriyadi, tokoh masyarakat Kelurahan Boyolangu, Kecamatan Giri, tradisi Pelkudukan sama dengan tradisi Daleman yang sering dilakukan oleh orang Jawa dulu.

Kayu dibakar saat waktu magrib tiba, dan dibiarkan begitu saja sampai mati dengan sendirinya pada esok hari.

“Zaman dulu pagebluk bisa hilang dengan cara Pelkudukan ini. Kita berikhtiar bersama, selain penerapan prokes, kita juga mencoba tradisi yang dulu pernah ada,” kata Slamet.

Diakui Slamet, saat ini memang sudah sangat jarang dijumpai tradisi Pelkudukan karena tergerus modernisasi. Namun, adanya pandemi COVID-19, mengingatkan kembali masyarakat akan tradisi yang hampir punah ini.

Kini masyarakat Boyolangu nguri-uri tradisi yang dulu sudah pernah dilakukan. Selain untuk mengusir pagebluk, tradisi ini sekaligus melestarikan warisan budaya nenek moyang.

Ritual Tolak Balak Ngoyak Seblang

Warga Kampung Dukuh Desa Glagah Kecamatan Glagah Banyuwangi menggelar Ritual Tolak Balak Ngoyak Seblang sebagai salah satu cara menghilangkan wabah COVID-19 dari Indonesia khususnya di Kampung Dukuh yang mayoritas warganya komunitas Osing.

Menurut Sanusi Marhaedi yang dikenal julukan Usik Prabu, salah seorang tokoh adat Kampung Desa Glagah, istilah Ngoyak bagi warga Dukuh diartikan Nggesuh atau Nggertak  atau mengusir.
Sedangkan Seblang merupakan akronim dari Sengkala Balak Ilang (Seblang).

“Termasuk Virus Corona bagi masyarakat Osing merupakan balak yang menimpa manusia dunia. Sehingga membutuhkan ritual adat sebagai salah satu cara mengusir sengkala balak supaya hilang dari lingkungan Kampung Dukuh, Desa Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jatim bahkan Indonesia serta dunia,” jelasnya.

Usik menambahkan ritual Ngoyak Seblang seperti yang dilakukan merupakan warisan para leluhur yang dilaksanakan masyarakat Dukuh secara turun temurun tanpa diketahui pasti kapan ritual tersebut dimulai.

Acara dimulai dengan menghidupkan api dengan memanfaatkan daun kelapa kering yang dimaknai sebagai bukti dan simbol adanya kehidupan di suatu tempat. Dan warga Kampung Dukuh hampir semua rumah menyalakan api di halamannya.

Selanjutnya api oleh para sesepuh dan tokoh adat dibawa keliling kampung. Di setiap api, tokoh adat menaburkan garam dan disertai mantra dan doa sebagai simbol (Nggusah atau mengusir ) sengkala balak dari Kampung Dukuh.

Setelah keliling kampung, lanjut Usik dilanjutkan dengan pembacaan doa dan tumpengan serta buka puasa bersama.
Tumpeng merupakan Tuntunan Muji Pengeran. Cara masyarakat Osing memuji kebesaran Sang Maha Kuasa. Lalu, ada
Serakat (serah tirakat)  kepada Sang Pencipta. Di bawah tumpeng diselipkan rumput alang-alang.

“Bagi masyarakat Kampung Dukuh ‘kembang lalang kembang opo-opo ‘maksudnya biar tidak ada halangan apa-apa,” imbuhnya.

Kemudian ada daun pisang atau godhong gedhang sebagai perlambang warga bersama-sama menghilangkan segala kotoran agar semuanya bersih dan terang.

“Jadi ubo rampe ritual adat Ngoyak Seblang tidak dihias dengan namun sangat sederhana. Yang terpenting bagaimana filosofi bisa disampaikan dan diturunkan kepada anak cucu,” jelas Kang Usik.**(za/win)