Bajak Laut Wanita Penakluk Perairan Laut Cina Selatan

353 dibaca

“Pada puncaknya, Ching Shih memimpin sekitar 1.800 kapal dan 70.000 perompak, menjadikannya bajak laut tersukses sepanjang masa.” (David Cordingly)

Sejarah bajak laut didominasi oleh laki-laki. Sebut saja Edward Teach atau Blackbeard, Henry Every, dan Bartholomew Roberts. Mereka dikenal mampu memimpin ratusan awak yang tergabung dalam puluhan kapal.

Namun, angka tersebut masih kecil jika dibandingkan dengan perompak terbesar dan tersukses sepanjang sejarah. Perompak itu adalah Ching Shih, janda yang mendominasi Laut Cina Selatan pada 1807 hingga 1810.

Dilansir dari laman Nationalgeographic.co.id pada puncak kejayaannya, Ching Shih memimpin lebih dari 1.800 kapal dan 70.000 perompak. Sosoknya begitu menakutkan bagi angkatan laut Dinasti Qing, dan bahkan para pelaut Barat yang berbasis di Makau.

Ching Shih terlahir sebagai Shi Yang di Kanton (sekarang Guangdong) tahun 1775. Di usianya yang masih muda, ia menjadi pelacur di salah satu dari “perahu-perahu kembang”.

Dilansir dari History of Yesterday, perahu kembang ini merupakan bordil apung yang tersebar di perairan Guangdong. Pada masanya, bercumbu di perahu menjadi suatu pengalaman yang lebih bergairah bagi para pria berhidung belang di sana. Kemiskinan dan budaya patriarki yang kuat memaksa para perempuan muda untuk menjajakan diri untuk membantu pendapatan keluarga.

Di perahu kembang itu, Shi Yang mempelajari sedikit demi sedikit bisnis dunia gelap, seperti dilansir dari The Vintage News. Mengambil alias Shi Xianggu, ia banyak mendengarkan rahasia dari orang-orang penting, dari pegawai pemerintah hingga para saudagar. Kecantikan dan kepiawaiannya dalam menjajakan informasi menjadi daya tarik bagi pelanggan-pelanggan besar, termasuk seorang bos perompak bernama Zheng Yi.

Zheng Yi merupakan perompak besar di Guangdong. Ia memimpin sekitar 300 kapal dan 20.000 perompak, yang tergabung dalam panji Armada Bendera Merah.
Zheng Yi merupakan salah satu dari banyak bajak laut di Laut Cina Selatan saat itu.

Menurut sejarawan Dian Murray, maraknya perompak Tiongkok tidak lepas dari dukungan Kerajaan Vietnam, yang saat itu berada di bawah Dinasti Tay Son. Dinasti ini merengkuh kekuasaan melalui pemberontakan terhadap Wangsa Nguyen dan Trinh yang berlangsung selama tiga puluh tahun.

Akibat kondisi Vietnam yang tidak stabil, dinasti ini banyak memperkerjakan perompak Tiongkok sebagai tentara bayaran. Jumlah perompak pun meledak, khususnya di Guangdong. Mereka saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan penuh atas Laut Cina Selatan, termasuk Zheng Yi.

Sang bos perompak menaruh hatinya pada Shi Yang, dan melamarnya pada tahun 1801. Cerita cinta dari kedua insan ini masih terbilang simpang siur, seperti dilansir dari Ancient Origins.

Sumber yang satu mengatakan bahwa Zheng Yi menculik Shi Yang dan membakar bordil tempat ia bekerja. Adapun sumber lain melihat bahwa Zheng Yi hanya sekadar datang dan melamarnya begitu saja.

Namun semua sumber setuju bahwa Shi Yang tidak mau dimadu begitu saja. Sebagai salah satu syarat, Shi Yang menginginkan kontrol atas 50 persen armada kapal dan keuntungan dari Zheng Yi. Entah terbutakan cinta atau tertarik dengan kecerdikan Shi Yang, Zheng Yi mengiyakan tawaran tersebut. Keduanya resmi menikah, dan bersama-sama menjadi pimpinan armada ratusan kapal.

Shi Yang kemudian dikenal dengan nama Zheng Yi Sao atau Zheng Shi, yang berarti “istri dari Zheng Yi”. Oleh orang Barat, nama ini kemudian menjadi Ching Shih yang lebih populer dipakai saat ini.

Pemberontakan Tay Son diredam pada 1802. Pasangan suami istri ini memanfaatkan situasi tersebut untuk menghimpun kekuasaan. Sebagai salah satu kelompok terkuat, Armada Bendera Merah mulai menyatukan kelompok perompak yang tercecer di Laut Cina Selatan. D

ilansir dari Hypotheses, Zheng Yi dan Ching Shih mampu meyakinkan para bajak laut untuk bersatu dalam rangka meningkatkan profit. Persatuan ini kemudian dikenal sebagai Konfederasi Bajak Laut Guangdong.

Menurut Dian Murray, Ching Shih lebih banyak bekerja di balik layar. “Zheng Yi menjadi sosok penyatu dan pemimpin, sementara istrinya lebih menjadi konsolidator dan pengurus keuangan,” ujarnya.

Di bawah kepemimpinan mereka, Armada Bendera Merah mampu menghimpun 400 kapal jung dan 70.000 perompak pada 1804. “Mereka membagi armada mereka menjadi enam skuadron, yakni Skuadron Bendera Merah, Hitam, Putih, Hijau, Biru, dan Kuning,” jelas Murray.

Masing-masing skuadron memiiki pemimpinnya sendiri-sendiri, yang memiliki utang budi kepada Zheng Yi dan Ching Shih. Saking kuatnya, Armada Bendera Merah mampu membunuh pemimpin militer provinsi Guangdong, Jenderal Huang Si Harimau Tua.

Di saat yang sama, mereka mulai mengadopsi Cheung Po, seorang anak nelayan yang diculik Zheng Yi pada 1798. Cheung Po dikenal memiliki karisma dan kelihaian dalam memimpin, dan sudah lama menjadi murid Zheng Yi. Cheung Po juga kemudian dipercayai sebagai pemimpin Skuadron Merah. Skuadron ini merupakan skuadron terbesar, yang memiliki 300 jung dan 20.000-40.000 perompak.

Sayangnya, Zheng Yi kemudian tewas pada 1807, enam tahun setelah pernikahannya dengan Ching Shih. Kapalnya terhantam badai dan karam di perairan Vietnam.

Dibanding pensiun dan hidup miskin sebagai janda, Ching Shih lebih memilih untuk meningkatkan kekuasaannya. Ia mampu menyeimbangkan kekuatan antarfaksi dan menghimpun dukungan dari seluruh tetua dan pemimpin skuadron.

Selain itu, Ching Shih juga mengangkat Cheung Po selaku pemimpin skuadron terbesar sebagai tangan kanannya. Dengan ini, Ching Shih akhirnya mampu menjadi pemimpin Armada Bendera Merah.

Untuk menghindari pengkhianatan, Ching Shih menerapkan kode bajak laut yang sangat ketat. Hukuman potong telinga juga diberlakukan bagi mereka yang membelot dari armada. Selain itu, ia juga tidak segan menerapkan hukuman mati.

“Siapapun yang tertangkap memberikan komando [selain Ching Shih] dan tidak menaati atasannya akan dipancung saat itu juga,” ungkap Murray.

Hukuman pancung juga berlaku bagi perompak yang korupsi dan bahkan mencuri dari warga desa yang memberikan upeti.

“Pemerkosaan dan seks di luar nikah juga dikenai hukuman pancung,” ujar Murray.

Adapun Ching Shih juga memiliki aturan yang unik terkait tawanan perempuan, seperti dilansir dari South China Morning Post. Jika tawanannya dianggap jelek, maka ia segera dilepaskan. Namun apabila tawanannya dianggap cantik, maka seorang perompak dapat memilih untuk menikahinya.

“Setiap perompak yang telah memiliki istri harus setia kepada pasangannya,” tambah Murray. Jika tidak, maka sang perompak akan dipancung.

Namun, hal ini berbeda berlaku untuk tawanan laki-laki. Mereka dapat memilih antara bergabung dengan armada, atau dipaku di geladak dan dihantam sampai mati. Tidak heran, banyak lelaki yang bergabung dan menjadi perompak baru.

Kode ini diterapkan dengan tegas dan efektif. “Para pelaut Barat yang menjadi tawanan melihat banyak perompak yang dicambuk, ditancap besi panas, atau dikunci dalam penjara kapal,” katanya.

Selain itu, setiap hasil jarahan harus dilaporkan seluruhnya kepada Ching Shih. Ia menerapkan sistem bagi hasil, 20 persen jarahan diberikan kepada kapal yang menjarah, dan 80 persennya diserahkan kepada kas bersama.

Berkat kode etik yang tegas dan sistem bagi hasil yang jelas, Armada Bendera Merah menjadi perompak yang paling terorganisir dan ditakuti di Laut Cina Selatan. Mereka mampu melakukan penjarahan secara efektif dari Guangdong hingga koloni Portugis di Makau.

Untuk menghindari jarahan, para penduduk desa lebih memilih untuk memberikan upeti dan bahan pangan yang vital untuk aktivitas laut yang melelahkan.
Meskipun jarahan ini membuat mereka kaya raya, Armada Bendera Merah tidak semata-mata terlena.

Mereka tidak sekadar untung-untungan mencari kapal jarahan, tetapi juga menjalani bisnis tambak garam untuk penghasilan tetap. Dengan ini, perputaran uang untuk membeli suplai dan perbaikan kapal tetap mengalir mulus.

Tidak hanya di pelabuhan, armada Ching Shih juga menjadi teror di laut. Dari kapal militer hingga pedagang, semua diserang. Baik kapal Qing, Portugis, Prancis, Inggris, bahkan Amerika sekalipun mereka terjang. Para kapal yang melintas terpaksa membeli “sertifikat izin masuk” agar kapal mereka tidak dijarah.

Reputasi ini menjadi momok bagi angkatan laut Qing. Para laksamana sering kali menyauh di pelabuhan, dengan alasan “menunggu angin bagus”.

Situasi yang semakin mencekam dari waktu ke waktu membuat para kelasi lebih memilih untuk membakar kapalnya sendiri daripada mati di tangan perompak.
Kabar santer ini kemudian terdengar oleh Kaisar.

Pada 1808, Kaisar akhirnya secara langsung mengerahkan pasukan ke Guangdong. Mudah ditebak, pasukan khusus Kaisar luluh lantak di tangan Armada Bendera Merah. “Mereka berhasil menghancurkan 63 dari 135 kapal angkatan laut Guangdong,” tulis Murray.

Pelaut Qing pun ditawan, dan mereka mau tak mau memilih untuk bergabung dengan Ching Shih. Kaisar akhirnya terpaksa bernegosiasi dengan Portugis dan Inggris, musuh bebuyutan mereka sejak lama. Pada 15 September 1809, Qing membeli kapal Inggris Mercury dan meminjam enam frigat Portugis selama enam bulan.

Usaha ini gagal total, dan bahkan memaksa Inggris dan Portugis untuk bernegosiasi langsung kepada Cheung Po.

Akan tetapi, kejayaan Ching Shih dan Armada Bendera Merah tidak bertahan lama. Mereka kehilangan sejumlah komandan penting pada 1809, khususnya Liang Bao yang memimpin Skuadron Putih.

Puncaknya terjadi pada November 1809, ketika kapal Ching Shih dan Cheung Po bersauh di Teluk Tung Chung untuk perbaikan. Portugis memanfaatkan keadaan ini untuk memblokade kapal Ching Shih, yang disusul pasukan Qing dua minggu kemudian. Di saat yang sama, Ching Shih dikhianati oleh Guo Podai, pemimpin Skuadron Hitam, yang menolak memberikan bantuan di Tung Chung. Ching Shih dan Cheung Po secara beruntung lolos berkat bantuan angin laut pada 29 November.

Kekalahan dan kesulitan menangkap sang ratu perompak membuat Kaisar menyerah. Ia mulai menawarkan amnesti kepada Ching Shih di akhir tahun tersebut. Di saat yang sama, peristiwa blokade dan pengkhianatan di Tung Chung Ching Shih memikirkan ulang tawaran sang Kaisar.

Ia akhirnya mengajukan amnesti kepada Bai Ling, Gubernur Liangguang, dengan beberapa syarat. Di antaranya, Armada Bendera Merah dapat menyimpan seluruh rampasannya, dan setiap perompak dapat memilih untuk menjadi tentara Kaisar.

Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Bai Ling. Namun untuk membuktikan tekadnya, Ching Shih bersama 17 perempuan dan anak perompak berlabuh di kantor gubernur pada 17 April 1810.

Negosiasi berjalan alot selama tiga hari. Ching Shih tetap kukuh pada pendiriannya. Ia masih di atas angin, dan percaya bahwa Qing tidak akan berkutik jika ia kembali menjadi perompak.

Bai Ling tidak menemui pilihan lain, dan akhirnya menuruti seluruh kemauan Ching Shih tanpa syarat.
Sebagai permintaan terakhir, Ching Shih memohon dinikahkan kepada Cheung Po, putra angkatnya.

Dengan Bai Ling sebagai saksinya, Ching Shih dan Cheung Po akhirnya berlutut dan secara resmi menyerah kepada Qing. Di saat yang sama, ia menyerahkan seluruh armadanya yang terdiri dari 226 kapal, 1.315 meriam, dan 17.318 perompak.

Dengan demikian, berakhirlah teror dari sang ratu perompak. Ching Shih mengakhiri kariernya di puncak, waktu terbaik untuk pensiun dan menyelesaikan segalanya. Bersama dengan Cheung Po, ia akhirnya melahirkan dua orang anak.

Cheung Po bahkan bergabung dan menjadi Kolonel di angkatan laut Qing. Ia kembali ke laut dan bertarung dengan perompak yang pernah menjadi sekutunya. Sayangnya, ia kemudian gugur dalam pertempuan pada 1822.

Kembali menjanda, Ching Shih akhirnya kembali ke Guangdong. Sembari membesarkan anaknya, ia membuka sebuah usaha perjudian, yang semakin menambah pundi-pundi harta yang dimilikinya.

Tidak seperti perompak kebanyakan, Ching Shih mengakhiri hidupnya dengan tenang. Ia meninggal di rumahnya pada tahun 1844, di usia 69 tahun. **(anis)