Candi Plumbangan Tempat Tinggal para Dewa

271 dibaca

Bangunan kuno ini didirikan pada masa pemerintahan Kerajaan Majapahit. Lebih lanjut, tidak banyak informasi yang diketahui mengenai Candi Plumbangan. Lantas benarkah candi tersebut dipercaya sebagai tempat tinggal para Dewa?

Bentuk Candi Plumbangan memiliki kemiripan dengan Candi Bajangratu di Trowulan, Mojokerto. Seluruh bangunannya terbuat dari batu andesit dan berbentuk gapura paduraksa atau gapura beratap.

Seperti dilansir dari perpusnas.go.id bahwa ditilik dari bentuknya, ada dugaan bahwasanya Candi Plumbangan merupakan candi ruwatan sebagaimana Candi Bajangratu. Bentuk gapura sendiri melambangkan suatu pelepasan, atau menurut kepercayaan Syiwais diyakini sebagai tempat tinggal dewa.

Namun, hingga kini fungsi bangunan kuno berbentuk gapura paduraksa tersebut masih menjadi perdebatan. Sebagian ahli berpendapat bahwa gapura tersebut tak lain ialah tanda batas wilayah atau kompleks bangunan tertentu.

Detail Bangunan

Gapura Plumbangan menghadap timur-barat dengan sayap selebar sekitar dua meter menonjol ke utara dan selatan. Kaki Candi Plumbangan sekitar 0,5 meter dengan dua anak tangga di kedua sisinya. Ini berbeda dengan Candi Bajangratu dan Candi Wringin Lawang yang kaki-kakinya cukup tinggi.

Ketebalan Candi Plumbangan pun hanya sekitar 0,5 meter. Kemudian, pada dinding dalam dan dinding luar tidak terdapat hiasan apapun. Sementara itu, atap Candi Plumbangan berbentuk meru bersusun dengan puncak persegi empat.

Pemugaran yang dilakukan terhadap Candi Plumbangan belum menyeluruh. Di sekeliling pelataran bangunan kuno itu terdapat batu-batu beragam bentuk yang belum diketahui fungsi, letak maupun susunan aslinya.

Batu-batu tersebut banyak yang berlubang bagian atasnya. Di antaranya, terdapat beberapa bentuk yoni yang rusak.

Prasasti Plumbangan

Sekitar enam meter dari Candi Plumbangan menuju arah tenggara terdapat sebuah prasasti. Prasasti Plumbangan itu telah dibuatkan tatakan dari semen dan diberi atap seng.

Tidak diketahui apakah letak Prasasti Plumbangan semula memang di tempat tersebut. Sementara tulisan yang terpahat pada prasasti sangat tipis hingga nyaris tak terbaca. Tidak ada informasi yang didapat mengenai prasasti tersebut.**(mdk/zub)