Rambu Solo’ Nyaris Lenyap Diterpa Modernisasi

258 dibaca

Mengurai Agama Aluk Todolo Peninggalan Leluhur Suku Toraja (2)

“Ritual Rambu Solo’ masyarakat Toraja mendapat penekanan sangat menonjol dari ajaran Aluk Todolo. Filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”.

DALAM hal kepercayaan, penduduk Suku Toraja percaya kepada Sang Pencipta, disebut Puang Matua. Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, sang pencipta ini.

Untuk menjalankan ritualnya, Aluk Todolo memiliki dua macam upacara yaitu upacara berduka disebut Rambu Solo’ dan Rambu Tuka sebagai upacara kegembiraan. Upacara Rambu Solo’ meliputi tujuh tahapan, yaitu Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, Todi Tanaan.

Upacara Rambu Tuka juga meliputi tujuh tahapan diantaranya Tananan Bua, Tokonang Tedong, Surasang Tallang, Remesan Para, Tangkeuan Suru, Kapuran Pangguan.

Aluk Todolo sendiri menjadi tali pengikat masyarakat Toraja yang begitu kuat, bahkan menjadi landasan kesatuan sang torayan yang sangat kokoh sehingga ke manapun orang Toraja pergi, mereka akan selalu teringat dengan kampung halaman, dan rindu untuk kembali kesana. Ikatan batin yang begitu kokoh tentu saja adalah buah-buah hasil dari tempaan Aluk Todolo itu. Karena itu memprihatinkan bila Aluk Todolo kini nyaris lenyap diterpa arus dunia modern.

Rambu Solo’

Upacara Rambu Solo’ dalam masyarakat Toraja mendapat penekanan yang sangat menonjol dari ajaran Aluk Todolo. Pengamatan modern yang sering mengatakan bahwa filsafat hidup orang Toraja adalah “hidup untuk mati”, di satu sisi ada kebenarannya, apalagi jika hanya diamati sepintas dan dianalisis hanya berdasarkan observasi dari luar tanpa partisipasi namun dari pihak yang lain dapat disimpulkan bahwa tradisi orang Toraja penuh dengan upacara-upacara religius.

Pengorbanan dalam Rambu Solo’ mempunyai fungsi eskatologis mistis dalam artian bahwa kehidupan akhir (di alam mistis transenden) menentukan dan memberi corak kepada kehidupan di dunia dan sebaliknya.

Fungsi pengorbanan dalam Rambu Solo’ adalah dout des yang artinya “saya memberi agar engkau memberi” yaitu dalam hubungan dengan yang ilah/dewa atau arwah-arwah mereka memberi sambil mengharapkan imbalan yang lebih besar.

Dalam ajaran Aluk Todolo, orang yang sudah meninggal dunia tetapi belum dilakukan upacara untuknya masih dikategorikan sebagai tomakula’ (makula’ berarti panas, sakit). Ia tetap dilayani oleh keluarganya layaknya melayani orang yang masih hidup. Ia masih diberi makan, minum, rokok, sirih dan lain-lain.

Menjelang upacara puncak pemakamannya barulah ia dianggap “sungguh-sungguh” telah meninggal dunia. Beberapa hari sebelum pelaksanaan upacara ia dibaringkan dengan arah utara-selatan dengan kepala menghadap ke selatan, sebelumnya ia dibaringkan ke arah timur-barat dengan kepala menghadap ke barat.

Karena upacara Rambu Solo’ adalah bagian dari aluk (lesoan aluk), sehingga pelaksanaannya harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan yang ditetapkan untuk itu. Salah satu faktor yang menjadi dasar pelaksanaan upacara Rambu Solo’ adalah stratifikasi sosial yang dalam masyarat Toraja dan stratifikasi sosial masyarakat toraja tersebut dibagi ke dalam empat kelompok berikut:

Tana’ Bulaan (tana’ berarti patokan, bulaan berarti emas) yaitu kasta bangsawan tinggi.

Tana’ Bassi (bassi berarti besi) yaitu golongan bangsawan menengah.

Tana’ Karurung (karurung berarti batang enau) yaitu golongan orang-orang merdeka.

Tana’ Kua-kua (kua-kua merupakan sebangsa rerumputan) yaitu golongan hamba atau budak (kaunan).

Dari pembagian kelompok di atas dapat diketahui bahwa status sosial seseorang sangat menentukan bentuk dan tingkatan upacara Rambu Solo’. Untuk lebih jelasnya, maka di bawah ini diuraikan secara sepintas urut-urutan pelaksanaan upacara Rambu Solo’ khususnya untuk golongan menengah ke atas.

Urutan-urutan ini merupakan pola umum upacara Rambu Solo’ di seluruh wilayah adat Toraja. Pada prinsipnya upacara Rambu Solo’ khususnya yang dirapa’i dapat dibagi dalam dua bagian. Kedua bagian ini ialah upacara yang dilaksanakan di sekitar rumah tongkonan (dikenal dengan istilah dialuk pia) dan yang dilaksanakan di rante atau lapangan upacara.
**(zubairi indro)