Cakar Misterius Ditemukan Berusia 3.300 Tahun

189 dibaca

Hampir tiga dekade lalu sekelompok arkeolog melakukan menemukan objek yang menakutkan dan tidak biasa dari dalam gua di Gunung Owen di Selandia Baru.

Dalam kondisi gua yang gelap, mereka bertanya-tanya apakah mata mereka tak salah lihat karena mereka tidak dapat memahami apa yang ada di hadapan mereka —cakar besar seperti dinosaurus dengan daging dan kulit bersisik yang masih utuh. Cakar itu sangat terawat sehingga tampaknya berasal dari sesuatu yang baru saja mati.

Seperti dilansir laman Nationalgeographic.co.id bahwa tim arkeolog tersebut dengan bersemangat mengambil cakar itu dan membawanya untuk dianalisis. Hasilnya mencengangkan, cakar misterius itu ditemukan sebagai sisa mumi berusia 3.300 tahun dari moa dataran tinggi, seekor burung prasejarah besar yang telah punah berabad-abad sebelumnya.

Ancient Origins memaparkan, moa dataran tinggi (Megalapteryx didinus) merupakan jenis burung moa endemik Selandia Baru. Hasil analisis DNA yang diterbitkan dalam Prosiding National Academy of Sciences menunjukkan bahwa moa pertama muncul sekitar 18,5 juta tahun lalu dan setidaknya ada sepuluh spesies dari jenis mereka. Namun mereka telah lenyap “dalam kepunahan megafauna paling cepat akibat ulah manusia” yang terdokumentasikan saat ini.

Penemuan pertama moa terjadi pada tahun 1839 ketika John W. Harris, seorang pedagang rami dan penggemar sejarah alam, diberi tulang fosil yang tidak biasa oleh seorang anggota suku asli Māori. Anggota suku itu mengatakan bahwa dia menemukan tulang itu di tepi sungai.

Tulang itu kemudian dikirim ke Sir Richard Owen yang bekerja di Hunterian Museum di Royal College of Surgeons di London. Owen bingung dengan tulang itu. Selama empat tahun ia menganalisis tulang tersebut, tapi tidak cocok dengan tulang-tulang lain yang dia temukan.

Akhirnya, Owen sampai pada kesimpulan bahwa tulang itu milik burung raksasa yang sama sekali tidak pernah dikenali. Komunitas ilmiah mengolok-olok teori Owen, tetapi dia kemudian terbukti benar dengan penemuan banyak spesimen tulang yang memungkinkan rekonstruksi lengkap kerangka moa.

Sejak penemuan pertama tulang moa, ribuan tulang lainnya lagi telah ditemukan bersama dengan beberapa sisa mumi yang luar biasa, seperti cakar yang tampak menakutkan di Gunung Owen. Beberapa dari sampel ini masih menunjukkan jaringan lunak dengan otot, kulit, dan bahkan bulu.

Sebagian besar sisa-sisa fosil telah ditemukan di bukit pasir, rawa, dan gua, di mana burung-burung itu mungkin masuk ke sarang atau untuk menghindari cuaca buruk. Burung-burung itu kemudian mati di sana dan tubuh mereka terawetkan secara alami karena mati di tempat yang kering.

Ketika orang-orang Polinesia pertama kali bermigrasi ke Selandia Baru pada pertengahan abad ke-13, populasi moa berkembang pesat. Mereka adalah fauna herbivora dominan di hutan, semak, dan ekosistem subalpine Selandia Baru selama ribuan tahun, dan hanya memiliki satu predator, yakni elang Haast.

Namun, ketika manusia pertama tiba di Selandia Baru, moa dengan cepat menjadi terancam punah karena perburuan berlebihan dan perusakan habitat.

“Karena mereka mencapai kematangan yang sangat lambat, [mereka] tidak akan mampu bereproduksi cukup cepat untuk mempertahankan populasinya, mereka jadi rentan terhadap kepunahan,” tulis Natural History Museum, London.

“Semua moa punah pada saat orang-orang Eropa tiba di Selandia Baru pada tahun 1760-an.”

Moa sering disebutkan sebagai kandidat satwa yang akan dihidupkan kembali melalui proses kloning karena banyak sisa-sisa tubuh hewan itu yang terawetkan dengan baik sehingga DNA mereka dapat diekstraksi. Selain itu, karena baru punah beberapa abad yang lalu, banyak tumbuhan yang menjadi makanan moa masih tumbuh hingga saat ini.

Ahli genetika Jepang Ankoh Yasuyuki Shirota telah melakukan pekerjaan pendahuluan untuk mencapai tujuan ini dengan mengekstraksi DNA dari sisa-sisa moa, yang rencananya akan ia masukkan ke dalam embrio ayam.

Ketertarikan pada upaya menghidupkan kembali burung purba ini mendapatkan dukungan lebih lanjut di pertengahan tahun 2020 ketika Trevor Mallard, anggota parlemen di Selandia Baru, menyarankan bahwa upaya menghidupkan kembali moa dalam 50 tahun ke depan adalah ide yang bagus.**(zi)