Tafakur, Konsepsi Islam Jalan Menuju Tuhan (13)

191 dibaca
Wewarah bab ilmu tasawuf ini merupakan kelanjutan tampilan terdahulu. Yaitu ke 12, mengenai maqam ar-ruh. Disebutkan, ada 300 orang pilihan, ada 40 orang saringan, ada 7 orang khusus, ada 5 orang khusus dari yang khusus, ada 3 orang utama, dan ada seorang Sulthon (pemimpin), mereka memiliki derajat khusus di sisi Allah.
Bagi tiga ratus orang, empat puluh orang, tujuh, lima, tiga, dan yang seorang, memiliki kelebihan jauh dari manusia biasa. Ia tidak pernah sakit. Mereka mampu berpindah-pindah tidak hanya pada alam spiritual, tetapi alam semesta yang lain bisa dijangkau. Tidak seorangpun yang mampu mengganggu mereka. Siapapun orangnya. Sebab, orang seperti ini kebal terhadap kesulitan dan penderitaan dunia.
Pada umumnya, seseorang tidak akan diterima kedalam golongan syeikh sampai dia mencapai maqam ar-ruh atau yang lebih tinggi darinya. Penerimaan oleh para pengikut jalan kesufian, pemegang tugas-tugas yang dibebankan pada syeikh, diformulasikan dalam suatu upacara inisiasi khusus, yang disebut baiat (pelantikan).

Sejarah Baiat
Baiat banyak jenisnya. Setiap jam’iyah tharekat, khususnya yang keruhaniannya sudah menginjak kejalan kemakrifatan, selalu ada upacara baiat. Dan, pelantikan itu ada tingkatannya. Diantaranya, yang pertama adalah baiat Jahar, kemudian Sirri, ada yang dinamakan Tabib Tujuh, dan seterusnya.
Yang menjadi pertanyaan, apakah perlu dan harus ada baiat? Hal ini tentunya tidak terlepas dari sejarahnya. Awal mula baiat adalah berasal dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dalam keruhanian, beliau pertama kali membaiat sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Namanya baiat Jahar. Ali diberi zikir membaca kalimat tauhid ‘La ilaha illallah’, yang dibaca dengan suara (keras).
Pembaiatan terhadap Ali RA tersebut, diketahui oleh Abu Bakar Assidiq RA. Lalu Abu Bakar RA minta pembaiatan jahar itu dari Syayidina Ali RA, termasuk kalimat zikirnya. Hal tersebut diketahui oleh Nabi SAW, sehingga beliau memanggil Abu Bakar RA. Karena Abu Bakar RA sudah mendapat baiat Jahar, maka Nabi SAW membaiatnya dengan baiat Sirri (samar). Zikirnya dalam hati, menyebut Allah…Allah…Allah. Syayidina Ali RA mengetahui hal tersebut, lalu beliau bertanya pada Abu Bakar RA, dan meminta dibaiat. Itulah awal mula pembaiatan, sehingga menjadi tradisi dikalangan sufi.

Tujuan Baiat

Apa tujuan pembaiatan itu? Pelopor orde Chishti di India, Hazrat Khwaja Mu’inuddin ra, menerima tanggung jawab pembaiatan dari gurunya Syeikh ‘Utsman Haruni ra, mengabarkan pembaiatan pada dirinya yang berlangsung pada tahun 561 H. Ia memperoleh pembaiatan setelah menghabiskan waktunya selama 12 tahun untuk belajar dan melayani syeikhnya. Orang suci tersebut menggambarkan pembaiatan pada dirinya sebagai berikut:
Saya mendapat kehormatan untuk tampil dihadapan syeikh saya, Hazrat ‘Utsman, dengan hadirnya beberapa tokoh spiritual lainnya. Saya membungkuk memberi salam pada orang suci itu. Hazrat “Utsman menyuruh saya melakukan salat 2 rakaat. Saya melakukannya. Kemudian beliau menyuruh saya menghadap Ka’bah di Mekkah.
Beliau kemudian menyuruh saya membaca Al-Qur’an surat Al-Baqarah. Saya melakukannya. Beliau menyuruh saya megulang-ulang doa dan salawat untuk Rasulullah SAW dan keluarganya 21 kali dan mengucapkaan Subhanallah 60 kali, saya melakukannya. Setelah itu beliau bangkit, menggenggam tangan saya dan memandang ke arah langit, dan berkata, “Mari kuperlihatkan engkau kepada Allah”.Setelah itu, beliau memotong rambut saya dengan sebuah gunting dan kemudian meletakkan sebuah penutup kepala khusus (kolah chabar tarki) di kepala saya dan menyuruh saya duduk. Kemudian beliau menyuruh saya membaca surat Al-Ikhlas seribu kali, saya melakukannya. Kemudian beliau berkata, “Diantara para pengikutku hanya ada satu hari satu malam masa percobaan (mujahadah), karena itu pergilah dan lakukanlah hal itu hari ini. “Sesuai petunjuk beliau saya menghabiskan waktu satu hari satu malam untuk melakukan shalat terus menerus dan muncul kembali setelah itu.
Beliau menyuruh saya duduk dan membaca surat al-Ikhlas 1000 kali lagi, saya lakukan. Kemudian beliau menyuruh saya, “Pandanglah ke langit.” Sewaktu saya pandangkan mata ke arah langit, beliau bertanya, “Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Sampai ke al’arsyal-muala (puncak singgasana suci). Kemudian beliau berkata, “Lihatlah ke bawah”. Saya lakukan itu. Beliau bertanya,”Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Kebawah tahtats-tsara (ke dasar neraka).
Beliau lantas menyuruh saya duduk dan membaca al-Ikhlas 1000 kali, saya melakukannya. Beliau berkata kepada saya, “Pandanglah ke arah langit”. Sewaktu saya memandang, beliau bertanya, “Seberapa jauh engkau melihat?” Saya berkata, “Sampai ke Azmat (Kilauan Keagungan Allah). Beliau kemudian berkata, “Tutuplah matamu.” Saya lakukan itu, dan setelah itu beliau berkata, “Bukalah matamu.” Saya lakukan itu. Beliau kemudian memegang dua jari pertama di tangan kanannya dan bertanya, “Apa yang kau lihat melalui jari-jari itu?”
Saya berkata, “Saya melihat 800 ribu dunia.” Sewaktu beliau mendengar itu, beliau berkata, “Sekarang pekerjaanmu selesai”. Beliau kemudian memandang ke arah batu bata yang terletak di dekatnya dan menyuruh saya memungutnya. Sewaktu saya melakukan hal tersebut, saya temukan beberapa koin emas dibawahnya. Beliau menyuruh saya pergi dan membagikan koin-koin itu kepada orang miskin dan orang-orang yang membutuhkannya, yang kemudian saya lakukan. Beliau kemudian menyuruh saya untuk tetap bersama beliau beberapa saat lamanya.

Syeikh Mursyid

Seorang syeikh mursyid yang bisa membimbing hingga mampu melihat kilauan Keagungan Allah, adalah ia yang seperti digambarkan oleh Syeikh Sughrawardi, seperti yang telah disinggung sebelumnya. Yaitu laksana Kibrit Ahmar (yakut merah), permata yang tergolong langka di saat itu, yang sulit dijumpai. Tetapi masih lebih sulit menemui mursyid Kamil (guru pembimbing) yang berkelayakan.
Mursyid tersebut memiliki ketajaman mata batin (bashier) yang memiliki silsilah keguruan sampai kepada Rasulullah. Berilmu (‘Aalim), menghindar dari cinta harta dan pangkat, sedikit makan, tidur dan ucapannya. Banyak shalat sunah, puasa sunah, luhur budi pekertinya, dan banyak lagi.
Apabila seseorang taat kepada Allah serta rahmat-Nya, maka jiwa berkembang dari keadaan egotisme yang tak berdaya, sampai pada penyatuan suci. Tentunya jika Allah menghendaki. Cara melakukan perjalanan dari perhentian terbawah ke perhentian lebih tinggi adalah dengan melawan dan mengendalikan dorongan nafs. Dalam usaha ini para sufi menerima latihan khusus yang ditentukan oleh Allah sendiri untuk mencapai hasil yang pasti. Paling cepat dan menyeluruh.*** Bung Yon N.