Kiai Nogo Siluman merupakan salah satu “piandel” milik Pangeran Diponegoro. Keris yang selalu menemani Pangeran Diponegoro dalam menumpas penjajah Belanda itu lenyap bagaikan ditelan bumi.
Bagaimana tidak lenyap, sebab sejak tahun 1831, Keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro dibawa Belanda. Kini, pada 2020, keris itu kembali. Ini penampakan dari dekat Kiai Naga Siluman.
Di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/3/2020), Keris Kiai Naga Siluman ditaruh di dalam kotak kaca. Posisi keris telah dilepas dari warangka (sarung) dan ditegakkan di dalam kotak kaca itu.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mengenakan setelan jas biru, melihatnya dari dekat dengan cara menundukkan badan. Di dekat Jokowi, ada Raja Belanda Willem Alexander dan Ratu Máxima.
Duta Besar Indonesia untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja, adalah orang yang sempat menyaksikan keris itu dari dekat. Dia merasa terharu saat memegang keris itu.
“Terharu dan bangga pastinya. Ada rasa optimisme Indonesia akan menjadi negara lebih besar lagi,” kata I Gusti Agung Wesaka Puja.
Terlihat, warangka alias sarung keris itu bermaterial kayu dengan kelir emas. Dedernya juga berbahan kayu. Bilahnya berwarna hitam dengan ganja (bagian pangkal yang menjorok ke luar) berornamen emas. Pamor keris ini juga terlihat punya ciri tertentu, seperti ada guratan di tengah.
Sebelumnya, sempat ada analisis yang disampaikan keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo. Dia ragu bahwa keris yang sudah dihadirkan di Istana Bogor itu adalah keris Kiai Naga Siluman. Dia melihatnya dari segi dhapur atau rancang bangun.
“Kalau melihat fisiknya, (keris yang dikembalikan pemerintah Belanda ke Indonesia) itu dhapur keris nagasasra, itu kalau bicara dhapur ya,” papar keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Roni Sodewo.
Keris Kiai Nogo Siluman
Keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro sudah tiba di Tanah Air, Kamis (5/3/2020). Setelah 189 tahun berada di tangan Belanda, ia dipulangkan lima hari jelang lawatan kenegaraan Raja Belanda Willem-Alexander ke Indonesia. Namun riwayat keris itu sendiri masih terselubung misteri.
Menurut Peter Carey, sejarawan peneliti Pangeran Diponegoro, keris Kiai Nogo Siluman merupakan satu dari sekian benda pusaka ternama peninggalan pemimpin perlawanan Perang Jawa (1825-1830) yang selama ini disebutkan hilang. Tapi bagaimana keris itu bisa dibawa negosiator ulung Kolonel Jan-Baptist Cleerens ke Belanda pada 1831 masih jadi tanda tanya.
“Diponegoro punya banyak keris. Tentu itu (Kiai Nogo Siluman) bukan satu-satunya. Tapi bagaimana Cleerens memperoleh keris itu masih belum jelas. Apakah keris itu diberikan Diponegoro sebagai bentuk kepercayaan dalam negosiasi di Banyumas, atau Cleerens diberi oleh Jenderal (Hendrik Merkus Baron) de Kock setelah Diponegoro ditangkap di Magelang,” ujar Peter Carey kepada Historia.
Pasalnya menilik Babad Diponegoro, lanjut Carey, tak pernah ada catatan bahwa keris Diponegoro dilucuti. Penyebutan tentang keris Kiai Nogo Siluman pun hanya tertera pada dua dokumen, yakni surat Sentot Prawirodirjo, salah satu panglima perang Diponegoro tertanggal 27 Mei 1830 kepada perwira kavaleri Belanda, François Delatre, dan keterangan pelukis Raden Saleh pada Januari 1831 atas permintaan Direktur Koninklijke Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) SRP van de Kasteele.
“Kiai berarti tuan. Semua yang dimiliki seorang raja memakai nama ini. Nogo adalah ular dalam dongeng dengan sebuah mahkota di kepalanya. Siluman adalah sebuah nama yang terkait dengan bakat-bakat luar biasa, semacam kemampuan untuk menghilang dan seterusnya. Karena itu, nama keris Kiai Nogo Siluman berarti raja ular penyihir, sejauh hal itu dimungkinkan untuk menerjemahkan sebuah nama yang megah,” sebut Raden Saleh dalam penilaian singkatnya, mengutip Werner Kraus dalam Raden Saleh dan Karyanya.
Dari keterangan Raden Saleh sudah terasa betapa keramat keris Kiai Nogo Siluman. Soal dari mana Diponegoro mendapatkan keris itu, Carey pun belum bisa memastikan siapa yang membuat atau apakah keris itu merupakan pemberian, sebagaimana Keris Kiai Abijoyo yang dilungsurkan dari ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwono III.
Dalam Biografi Diponegoro, The Power of Prophecy, Carey sekadar menyebut keris itu diberi nama “Siluman”, kemungkinan karena ia bersemedi di Gua Siluman dalam pengelanaannya pada 1805 dan kemudian didatangi Putri Genowati, salah satu wakil Ratu Kidul yang menguasai Pantai Selatan. Karenanya Carey mengurai “isian” keris itu mengandung makna hubungan antara manusia di dunia nyata dan makhluk-makhluk gaib di alam tak kasat mata.
“Keris Kiai Nogo Siluman itu mempunyai isi makna tentang hubungan antara manusia dan dunia gaib. Dan keris yang punya luk 13 itu sering dilempar ke laut kidul, hingga kemudian tersembur semacam pintu terbuka di atas dunia para dewa-dewi. Diponegoro sangat hafal itu dan Ratu Kidul pernah datang untuk menawarkan bantuan pasukan gaib untuk mengusir Belanda. Tapi Diponegoro bilang, ia tidak membutuhkan pertolongan dunia gaib untuk urusan duniawi,” sambung Carey.
Dari penilaian itu pula, ditambah ketiadaan catatan dalam Babad Diponegoro tentang apakah keris itu yang senantiasa dipakai Diponegoro dalam peperangannya terhadap Belanda, Carey ragu bahwa Kiai Nogo Siluman merupakan keris Diponegoro yang paling utama dan paling keramat di antara semua pusakanya.
Di antara pusaka-pusaka yang dimiliki Pangeran Diponegoro, keris Kiai Ageng Bondoyudo masih diakui sebagai yang dianggap paling utama.
Selain punya “isian” sebagai penguasa semua roh di Cilacap, keris itu pula yang menemani Diponegoro kala disemayamkan di Kampung Melayu, Makassar, saat wafatnya 8 Januari 1855.
“Keris yang paling penting adalah Kiai Ageng Bondoyudo itu. Keris paling berharga yang punya isi. Sampai ia berpesan saat (sebelum) meninggal, bahwa keris itu tidak boleh sembarangan diwariskan dan harus dikuburkan bersamanya karena di keris itulah dia punya (menyimpan) aji-aji dan kekuatan gaib yang tidak layak berada di tangan orang lain,” tandas Carey.(zub/berbagai sumber)